Punya sedikit disayang-sayang, punya banyak dibuang-buang. Kalimat itu mungkin melukiskan mentalitas kita.
Ketika listrik padam dan pompa air di rumah saya tidak berfungsi, itu berarti jika air di bak tampung di atas rumah saya sudah habis maka saya harus mulai menimba air dari bak tampung yang ada di depan rumah. Saat itu, otomatis saya menjadi berhati-hati dalam memakai air. Sebisa mungkin saya berhemat, baik dalam mencuci tangan, menyiram toilet, ataupun mandi. Keran dibuka sekecil mungkin dan secepat-cepatnya ditutup lagi. Ini berbeda dengan sikap saya ketika air seperti ‘tidak terbatas’.
Saya yakin banyak dari kita yang punya pengalaman serupa. Entah itu dalam hal air, atau minuman, atau makanan, atau uang, atau apa saja.
Sikap ini sebetulnya sangat salah. Dalam contoh peristiwa di atas, pertanyaan sederhana saja: “Apakah kalau listrik di rumah tidak padam dan air bisa terus mengalir tanpa harus merepotkan saya menimba, maka saya berhak memakai air semau saya?” Jelas tidak! Ini bukan masalah saya mampu membayar tagihan air atau tidak, tetapi masalah tanggung jawab terhadap lingkungan. Ini masalah kepedulian kepada dunia ciptaan Tuhan karena air bersih bukan tidak terbatas. Saya tidak teruskan dulu topik ini.
Saya ingin menyoroti masalah mentalitasnya saja karena ternyata mentalitas yang sama juga berlaku di dalam pelayanan kita.
Dalam gereja yang jumlah jemaatnya sangat sedikit, setiap orang akan dikenal namanya dan diketahui kondisinya. Jika beberapa orang tidak datang, suasana kebaktian akan langsung terasa lebih sepi. Dan dalam suasana seperti itu juga, jika tiba-tiba datang 1 orang yang baru pertama kali datang ke gereja, dia akan disambut dengan sukacita. Saya pernah melayani di suatu persekutuan yang jumlah kehadirannya rata-rata adalah 8-12 orang. Kehadiran setiap orang rasanya begitu penting.
Bandingkan jika kita berada di gereja yang besar. Ketidakhadiran beberapa orang tidak akan terasa, apalagi jika itu adalah orang-orang yang tidak menyenangkan untuk kita. Dan kalau ada di antara mereka yang membutuhkan sesuatu, seringkali kita tidak bersikap melayani tetapi birokratis. Alasannya? Jemaat banyak, sibuk, biar mereka yang berusaha mencari kita. Ini mentalitas ‘punya banyak dibuang-buang’!
Bukankah Firman Tuhan tidak mengajarkan begitu? Baik dalam hal harta milik, dalam hal lingkungan maupun dalam pelayanan kepada jiwa-jiwa, kita harus bertanggung jawab kepada Tuhan. Jumlah berapapun adalah milik Tuhan dan Tuhan minta kita setia atas semuanya itu.
Seharusnya bukan punya sedikit disayang-sayang, punya banyak dibuang-buang. Kalau punya sedikit maka kita sayang-sayang, mungkin itu cuma mentalitas egois. Kalau punya banyak dibuang-buang, jelas kita tidak berhak lakukan itu. Maka seharusnya punya berapapun disayang-sayang dan dipertanggungjwabkan di hadapan Tuhan!