Sebagai gambar Allah, kata-kata kita juga punya kekuatan yang dahsyat. Kata-kata kita punya daya cipta, kekuatan untuk membuat sesuatu terjadi. Dengan kata-kata kita membangun sesuatu atau menghancurkan sesuatu. Kata-kata membentuk kehidupan kita. Konsep tentang diri kita, orang-orang atau benda-benda di sekitar kita, dibentuk oleh kata-kata yang kita dengar dan kita ucapkan.
Beberapa orang yang menyadari ini membuat buku tentang berpikir dan berkata-kata secara positif. Filosofinya adalah ‘apa yang kita katakan akan membentuk pikiran kita lalu tindakan kita, dan segalanya akan menjadi berbeda’. Walaupun ada beberapa asumsi mereka yang tidak bisa saya terima, tetapi orang-orang itu mengerti kekuatan kata-kata.
Sementara sayangnya kita orang Kristen seringkali meremehkan kekuatan kata-kata. Padahal kita memakai kata-kata di dalam memuji Tuhan, di dalam berkhotbah, di dalam menasihati, di dalam memberikan bimbingan, dan tentu saja, di dalam bercanda dan percakapan sehari-hari. Betapa berbedanya dampak yang akan terjadi kalau kita berhati-hati dalam memakai kata-kata. Kata-kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik lagi. Ia akan menjalankan tugasnya dengan kekuatan yang ada di dalamnya. Ia akan menciptakan sesuatu, membentuk sesuatu, memberikan dampak tertentu, entah membangun atau merusak.
Saya berikan beberapa contoh yang bisa kita renungkan tentang bagaimana memakai kata-kata:
- Kalau teman-teman di sekitar kita suka bercanda dengan kata-kata yang kasar dan merendahkan orang lain, coba perhatikan tanpa sadar kita juga akan menjadi terbiasa seperti demikian. Kita akan mulai bercanda dengan cara yang sama. Kita makin tidak peka apakah orang lain tersinggung atau tidak. Bahkan perlahan-lahan, di mata kita, orang yang kita rendahkan itu menjadi lebih rendah dari sebelumnya.
- Berpikir bahwa si A itu jahat lain dengan mengatakan “si A itu jahat!”. Begitu kita ucapkan, konsep itu bukan saja mempengaruhi orang lain yang mendengarnya, tetapi juga akan makin melekat di benak kita. Kita makin yakin bahwa si A itu jahat. (Anda boleh ganti kalimat itu dengan 'jelek', 'bodoh', 'nyebelin', dan lain sebagainya). Dan bayangkan juga dampak kata-kata tersebut jika terdengar oleh si A.
- Kalau kita sering mendengar tentang bagaimana mengeksploitasi alam untuk keuntungan pribadi dan tidak pernah mendengar kata-kata tentang memelihara alam, maka kita terpikir untuk ‘memelihara alam’ pun tidak. Dunia kita menjadi berat sebelah karena dibentuk oleh kata-kata yang banyak kita dengar.
- Satu orang bercanda dengan kata-kata yang kasar, yang satu lagi tersinggung. Yang mengucapkan kata-kata kasar makin terbiasa kasar dan tidak peka dengan perasaan orang yang tersinggung, maka ia makin menjadi-jadi dengan kata-katanya. Yang tersinggung menjadi makin sakit hati dan membalas dengan menjelek-jelekkan orang itu di depan orang lain. Seluruh relasi menjadi rusak dan kerusakan ini makin lama akan makin luas lingkaran pengaruhnya. Berapa banyak kehancuran yang bisa dihindarkan kalau dari awal kata-kata itu tidak diucapkan?
- Kalau kita seringkali mengatakan kalimat-kalimat seperti “hebat yah si A punya mobil begitu mewah, sukses banget” atau mungkin bercanda “saya juga mau seperti dia, mau apa aja ada, keren” atau “ada nggak anaknya yang belum menikah? boleh juga nih”. Tanpa sadar kita sedang membentuk diri kita dan orang di sekitar kita untuk berpikir bahwa itulah kesuksesan, itulah yang seharusnya diidam-idamkan, itulah enaknya menjadi manusia.
- Kalau kita suka berstrategi dengan kalimat-kalimat seperti "kita pakai dulu aja dia", "nggak apa, kita biarin dulu, nanti kita sikat lewat cara lain", atau "orang ini nggak ada gunanya buat kita", kita akan terbiasa melihat orang tidak sebagai orang tetapi sebagai benda.
- Kalau kita menemui kesulitan untuk hidup jujur, lalu kita terus berkata kepada orang lain "memang tidak mungkin", dan orang-orang di sekitar kita juga berkata "betul, memang tidak mungkin", kita akan menjadi orang yang tidak lagi bergumul "mungkinkah? bagaimanakah seharusnya?" Dan celakanya orang-orang yang tidak tahu apa-apa juga mulai berpikir "ah, memang tidak mungkin".
- Ketidaksungguhan dalam berkata-kata atau mengucapkan kata-kata kosong juga akan menimbulkan dampak yang buruk. Saya pernah datang ke dalam suatu persekutuan keluarga dalam rangka memperingati 100 hari meninggalnya salah satu anggota keluarga. Pemimpin ibadah lalu mengatakan “kita bersyukur kita boleh bertemu lagi setelah 40 hari meninggalnya almarhum”. Tiba-tiba terdengar protes dari salah satu anggota keluarga “100 hari! Bukan 40 hari!”. Apakah si pemimpin ibadah bersungguh-sungguh dengan perkataannya? Dan apakah dia sungguh bersyukur? Tidak. Dia mengucapkan kalimat itu hanya karena ingin mengajak menyanyikan lagu “Kita Bertemu Lagi”.
- Saya juga pernah mengikuti suatu perjamuan kudus dimana pendeta yang melayani berkata “saya minta rekan-rekan yang bertugas maju ke depan menolong saya membuka tutup meja perjamuan”. Pada saat dia mengucapkan kalimat itu, tahukah anda apa yang sedang terjadi?..... sudah siap? … para petugas sedang membuka tutup meja itu! Jadi apa gunanya dia mengucapkan kalimat itu? Hanya formalitas! Bayangkan pesan apa yang disampaikan lewat penggunaan kata-kata seperti ini? Si pemimpin makin terbiasa untuk menjadikan ibadah sebagai kegiatan ‘berbasa-basi’ dan bukan pelayanan dengan hati. Dan jemaat pun belajar untuk ‘berbasa-basi’ dalam pertemuan ibadah karena ibadah hanyalah suatu formalitas mingguan yang tidak usah kena mengena dengan hati.
Kalau anda perhatikan, contoh-contoh yang saya berikan di atas semuanya adalah contoh negatif, bagaimana kata-kata punya daya merusak. Alangkah besarnya kekuatan kata-kata jika dipakai untuk membangun, menguatkan, dan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan.
Saya tahu bagi siapapun mengendalikan kata-kata adalah hal yang sulit. Yakobus juga berkata “barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (Yak 3:2). Dan Yakobus juga mengatakan bahwa lidah kita yang kecil ini bisa memegahkan perkara-perkara yang besar dan juga dapat seperti api yang membakar hutan yang besar.
Ah sulitnya! Paling tidak, mari kita berusaha ingat untuk selalu berpikir dulu sebelum berkata-kata.