Saturday, October 31, 2009

Mengajarkan Firman Tuhan - 1

Tugas hamba Tuhan adalah mengajarkan Firman Tuhan. Pada waktu berkhotbah, dia harus menguraikan dan menjelaskan Firman Tuhan dengan setia. Dia harus menggali Firman Tuhan, mengerti artinya dan merenungkannya, kemudian memikirkan cara bagaimana supaya dia bisa menyampaikannya dengan sebaik mungkin. Maka urutan logisnya adalah mengerti-merenungkan-menyampaikan.

Tanpa mengerti dan merenungkan, apa yang disampaikan? Tapi inilah kelemahan besar di dalam gereja. Coba lihat bagaimana orang Kristen menilai suatu khotbah. Ada yang merasa yang penting khotbahnya lucu, humornya segar. Sebaliknya ada yang sangat tidak senang dengan khotbah yang banyak humor karena khotbah menurut dia harus serius. Tapi yang diperhatikan hanyalah cara penyampaiannya! Lalu bagaimana isinya? Apa isinya? Apakah bagian yang akan dikhotbahkan itu sungguh dia baca, dia pikirkan, dia mengerti dan renungkan, sebelum dia sampaikan?

Khotbah yang main-main, bukanlah khotbah yang banyak humor tetapi khotbah yang tidak dipersiapkan dengan baik. Khotbah yang serius, bukanlah khotbah yang disampaikan dengan muka serius dan suara berteriak tetapi khotbah yang dipersiapkan dengan baik. Prosesnya? Mengerti-merenungkan-menyampaikan.

Mengerti - Semua orang bisa merasa mengerti padahal tidak. Firman Tuhan bisa dimengerti dalam berbagai lapisan makna, bisa sangat sederhana dan bisa sangat dalam. Sayangnya banyak yang berhenti di makna yang sederhana saja dan tidak menggali lebih dalam. Coba tanya kepada pengkhotbah yang saudara kenal, waktu yang dia pakai untuk mempersiapkan 1 khotbah? Coba tanya juga, kapan terakhir dia membaca buku teologi atau tafsiran yang baik? Buku rohani apa yang dia baca? Berapa banyak yang dia baca? Saudara mungkin akan kaget mendengar jawabannya (kalau saudara tidak kaget, mungkin karena saudara juga tidak mengerti seberat apa seharusnya tugas seorang pengkhotbah). Di sisi yang lebih ekstrim, banyak orang bahkan salah mengerti Firman, seperti para pekabar Injil kemakmuran, tetapi celakanya mereka justru sangat populer. Mereka bisa pintar bicara, contoh yang mengena, ilustrasi yang menyentuh, kutipan Firman Tuhan yang terasa tepat, maka jemaat pun mengalir datang. Tetapi mengerti Firman bukan tugas mudah.

Merenungkan - Firman Tuhan harus direnungkan oleh si pengkhotbah. Seorang pengkhotbah harus menyampaikan apa yang dia percaya adalah kebenaran dan dia gumuli di hadapan Tuhan dengan kesungguhan. Maka dia harus merenungkannya dulu.

Menyampaikan - Kalau dua hal di atas sudah baik, sangat sayang kalau di bagian ini dia kurang baik. Dia harus berpikir bagaimana pendengarnya mengerti apa yang sudah dia mengerti dan renungkan.

Ini tugas hamba Tuhan dan saya sangat sedih dengan banyaknya hamba Tuhan yang tidak lagi menjalankan tugas ini dengan baik. Saya tidak katakan saya sudah baik karena saya juga masih terus bergumul untuk tugas ini. Setiap jemaat harus mendukung hamba Tuhan, orang yang mereka pisahkan khusus untuk melayani Firman Tuhan, untuk mengajarkan Firman Tuhan dengan baik. Sayangnya, jemaat hanya puas dengan penyampaiannya atau pembawaannya yang berkharisma, atau dengan pelayanannya yang penuh perhatian, atau mungkin manajemennya yang luar biasa. Dan hamba Tuhan pun lupa tugas utamanya, mengajarkan Firman. Dan lingkaran ini akan masih terus berputar seperti ini.

Tuhan, kasihani kami!

Thursday, October 08, 2009

Tent-Maker?

Sekitar 15 tahun yang lalu, saya pertama kali mendengar istilah "tent-maker". Saya tidak tahu apa artinya, tetapi keren kedengarannya. Setelah dijelaskan, saya baru tahu bahwa istilah itu mengacu kepada Paulus yang pernah menjadi tukang kemah:

"...Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah" (Kis 18:3).

Apa artinya? Paulus adalah seorang rasul, dia pergi memberitakan Injil dan mengajarkan Firman Tuhan di banyak tempat. Tetapi di saat yang sama, dia juga adalah seorang businessman, memproduksi dan menjual kemah. Maka istilah "tent-maker" yang saya dengar itu maksudnya adalah seorang hamba Tuhan (dalam arti dia berkhotbah, melakukan penginjilan, terlibat dalam lembaga pelayanan atau bahkan menggembalakan gereja) tetapi di saat yang sama juga adalah seorang businessman.

Konsep "tent-maker" ini sempat menarik hati saya. Saya mulai sadar bahwa Tuhan memanggil saya untuk melayani Dia sepenuh waktu. Tetapi itu langkah yang terlalu besar bagi saya, maka saya mulai membayangkan alangkah indahnya konsep ini: saya bisa bekerja, bisnis, lalu tetap melayani, ok lah kalau harus berkhotbah dan bepergian selama 2 bulan setiap tahun. Tetapi itu lebih baik bagi saya!... Akhirnya Tuhan tunjukkan bukan itu yang Dia mau.

Dalam beberapa tahun ini, saya masih suka mendengar istilah ini dipakai. Dan saya makin melihat kesalahannya. Bukan Paulus yang salah menjadi tent-maker tetapi kita yang salah meniru Paulus.

Paulus melayani sebagai rasul di antara orang-orang Yunani. Dia datang ke suatu tempat, dia mulai menginjili dan kemudian mengajar mereka bagaimana menjadi murid Yesus. Ia tidak ingin orang-orang yang baru mengenal Tuhan itu menganggap dirinya sebagai pencari upah, dan dengan demikian pekerjaan Tuhan terintangi (band. 1 Kor 9:10-15). Itu sebabnya ia menjadi tukang kemah untuk menghidupi dirinya sendiri.

Di dalam 1 Korintus, Paulus berulang kali katakan bahwa dia berhak untuk terima upah, Tuhan sudah tetapkan bahwa imam yang melayani di tempat kudus mendapat penghidupannya dari situ dan Tuhan juga menetapkan bahwa mereka yang memberitakan Injil harus hidup dari pemberitaan Injil itu. Paulus tidak pakai semua hak itu karena kondisi pelayanannya yang berbeda, kalau boleh saya simpulkan: jemaat Korintus sangat bermasalah.

Sebetulnya Paulus tidak sepenuhnya hidup dari pekerjaannya sendiri (bagaimanapun mana mungkin bisnisnya bisa sukses sementara ia terus berpindah-pindah tempat), ia juga menerima tunjangan dari jemaat. Perhatikan ayat ini:

 "Jemaat-jemaat lain telah kurampok dengan menerima tunjangan dari mereka, supaya aku dapat melayani kamu!" (2 Kor 11:8).

Artinya Paulus menerima tunjangan dari jemaat lain. Tetapi ia tidak mau terima dari jemaat Korintus, walaupun dia berhak, karena kondisi jemaat Korintus. Mungkin karena ketidakdewasaan mereka atau mungkin karena berbagai masalah dalam jemaat, mengakibatkan pekerjaan Injil akan terhambat kalau Paulus menerima upah dari mereka (Itu sebabnya dia tulis soal ini kepada mereka cukup panjang dalam 1 Kor 9:10-15).

Pendek kata, saya simpulkan, Paulus menjadi "tent-maker" karena dia dipanggil menjadi rasul. Dia rela lakukan apa saja untuk panggilannya. Ketika panggilannya itu akan terhambat karena masalah uang (mungkin tidak ada yang kasih sehingga tidak ada uang atau mungkin seperti di Korintus ada yang ngomel kalau Paulus hidupnya dibiayai sehingga akhirnya Injil ditolak), maka dia akan bekerja menjadi "tent-maker". Dia lakukan itu dalam rangka menggenapi panggilannya.

Sekarang perhatikan bagaimana orang-orang Kristen hari ini menggunakan istilah "tent-maker":

1. Istilah ini dipakai ketika ada orang yang banyak melayani Tuhan (membawakan seminar, berkhotbah atau berkutat dalam pekerjaan misi) sambil tetap dalam profesi atau bisnisnya. Saya tidak bilang mereka salah, tetapi istilah ini tidak tepat. Kalau Tuhan memang tidak panggil dia untuk melayani penuh waktu, maka profesi dan bisnis adalah panggilannya. Jelas dia bukan "tent-maker", dalam arti seperti Paulus.

2. Istilah ini dipakai ketika ada orang yang mau melayani secara penuh waktu tetapi tidak rela meninggalkan profesi atau bisnisnya. Alasannya? Macam-macam. Bisa jadi karena lebih menghasilkan banyak uang (banyak pendeta di gereja besar, punya bisnis yang juga besar), bisa juga supaya tidak bergantung oleh gereja atau lembaga pelayanan (the power is in my hand, I can leave anytime).

Siapa sebenarnya "tent-maker" seperti Paulus hari ini?  Saya kira orang-orang yang melayani di pedalaman, memulai jemaat dari nol, tanpa ada lembaga misi yang mendukung, dan mereka harus berkebun sambil melayani, merekalah "tent-maker" seperti Paulus. Atau mereka adalah orang-orang yang terpaksa, karena alasan tertentu, tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka dan melayani penuh waktu padahal mereka rindu untuk itu. 

Paulus tidak bermaksud supaya dia ditiru, karena dulu dia menjadi tent-maker dalam keadaan 'darurat'. Itu bukan kebanggaan. Bukankah ketika seorang hamba Tuhan menjadi "tent-maker" seringkali itu menunjukkan ketidakdewasaan jemaat dan kurangnya kasih dan hormat kepada Tuhan dalam jemaat? 

Para hamba Tuhan yang menyebut diri "tent-maker" juga harus mempertanyakan motivasi mereka. Jujur istilah itu dulu menarik bagi saya bukan karena itu panggilan Tuhan tetapi karena "the power is still in my hand". Saya tidak perlu bergantung pada gereja, saya tidak bisa diatur-atur, saya bisa menjadi pengkhotbah keliling. Tetapi ketika Tuhan panggil kita menjadi hamba Tuhan, Tuhan mau kita menjadi "hamba". Bagi mereka yang melayani di pedalaman dan harus menjadi "tent-maker", juga harus ingat bahwa itu hanyalah keadaan darurat bukan seterusnya. Ketika keadaan berubah, mereka harus mengajar jemaat untuk menghidupi mereka. 

"Tent-maker" adalah istilah yang dulu memprihatinkan tetapi sekarang dianggap keren.