Tulisan ini menyambung tulisan saya di post sebelumnya disini. Berikut ini adalah beberapa hal yang membuat saya berpikir bolak-balik, apakah saya harus mengambil studi D.Th?
Kontra: Senada seperti peringatan dari Piper, beberapa orang memperingatkan saya bahwa studi D.Th/Ph.D tidak ada gunanya untuk penggembalaan. Beberapa orang yang mendengar rencana saya untuk studi D.Th langsung bertanya apakah saya yakin ingin menjadi dosen di sekolah teologi? Pertimbangannya, kalau tidak maka untuk apa?
Pro: Sebagian orang mendorong saya untuk go ahead karena berbagai hal. Ada yang melihat ‘kesukaan’ saya belajar (padahal rasanya saya nggak suka2 amat dibanding orang lain). Ada yang melihat ‘kemampuan’ saya (ini apalagi, dari dulu saya bahkan yakin saya tidak mampu kuliah doktoral karena saya bukan scholar type). Ada juga yang melihat kebutuhan pelayanan di masa depan dan berpikir bahwa M.Th tidak akan cukup, maka kalau bisa, sekali lagi kalau bisa, teruskan sampai D.Th.
Ada dua kalimat dari dua orang dosen berbeda di TTC yang menambah ‘ramai’ pergumulan saya:
Ketika saya bertanya perlukah saya studi D.Th jika hanya melayani di gereja dan bukan seminari? Dia menjawab: “Kamu tidak akan pernah too qualified for the church of God. Kalau memang bisa, teruskan sampai di ujung (sampai D.Th).” Kalimat itu terngiang2 di telinga, GR banget berpikir kalau D.Th over qualified untuk ‘sekedar’ di gereja!
Dalam percakapan santai, seorang dosen lain berkata (tanpa ditanya): “Kalau kamu suka belajar walaupun sudah di ladang pelayanan. Kalau kamu suka untuk memikirkan hal2 yang akademis. Jangan tanya saya apakah studi lanjut adalah kehendak Tuhan, karena itu pasti kehendak Tuhan! Dari sekian banyak hamba Tuhan, tidak banyak yang suka untuk terus belajar dan memikirkan hal2 yang akademis, apalagi setelah sekian tahun melayani. Kalau kamu seperti itu, pergi studi”
Saya tetap optimis bahwa apa yang akan saya pelajari dalam studi D.Th berguna untuk pelayanan baik di sekolah teologi maupun gereja. Dan saya berpikir kalaupun andaikata jikalau… apa yang saya pelajari dalam studi D.Th itu tidak terlalu relevan dengan kehidupan penggembalaan, maka pola berpikir kritis, teologis, akademis, yang terbentuk karena studi itu pasti akan berguna.
Kontra: Tapi kemudian dosen yang sama bercerita tentang seorang Ph.D yang dia kenal. Menurut dia orang itu sama sekali tidak kelihatan ‘Ph.D’ nya. Cara berpikirnya, cara berkhotbahnya, semua tidak menunjukkan dia pernah kuliah Ph.D. Maka orang itu, menurut dia, hanya kuliah demi selembar kertas. Artinya adalah mungkin untuk kuliah Ph.D tanpa guna!
Dan kemudian saya mendengar cerita serupa dari seorang dosen sebuah seminari di Indonesia. Ada orang dengan Ph.D dari universitas terkemuka, tidak kelihatan sama sekali sisa2 ‘Ph.D’nya! Lalu apa gunanya dulu dia kuliah Ph.D? Confirmed, ternyata mungkin untuk kuliah Ph.D tanpa guna.
Pro: Saya berpikir, “tapi itu kan mereka”. Saya sudah merasakan manfaatnya kuliah M.Th, bukan soal pengetahuan tapi cara berpikir. Maka saya pikir saya tidak akan kuliah D.Th tanpa guna dan rasanya bisa.
Kontra: Mengapa tidak ambil D.Min saja? M.Th sudah memberi bekal pola akademis, maka sekarang cukup D.Min sebagai refleksi ulang seluruh pelayanan dan konsep teologi. M.Th + D.Min adalah kombinasi yang baik, bahkan berguna karena lebih ‘siap pakai’ untuk pelayanan. Waktu studi tidak terlalu panjang, beban tidak terlalu berat, dan saya bisa terus self-study dalam hal yang akademis.
Pro: Mungkinkah terbalik? Saya seharusnya studi yang akademis, lalu self-study mengenai bagaimana penerapannya.
Sudah selesai pikir bolak-baliknya? Belum!
Kontra: Beberapa kali dalam waktu dekat ini saya bertemu atau mendengar tentang orang2 yang meninggal pada usia yang cukup muda. Pengalaman itu membuat saya bertanya2, kalau saya tahu waktu saya tinggal sebentar lagi apakah saya masih mau studi? Saya yakin tidak. Dalam hati, saya lebih ingin meninggal di tengah pelayanan dan bukan di tengah studi. Banyak cerita tentang orang yang selesai studi Ph.D tidak lama kemudian meninggal. Maka ada yang berkata Ph.D = Permanent Head Damage. Dan Th.D = Thoroughly Dumb :-)
Pro: Tapi saya pikir balik lagi, saya bukan Tuhan. Saya tidak tahu umur saya. Maka dalam ketidaktahuan ini, yang harus saya lakukan adalah memilih yang terbaik yang saya tahu. Kalau saya tahu umur tidak panjang lagi, maka yang terbaik adalah tidak perlu studi. Untuk apa studi? Tapi karena saya tidak tahu, MUNGKIN yang terbaik adalah studi untuk mempersiapkan diri bagi pelayanan masa depan.
Masih banyak pikiran lain: Saya mulai lelah dengan proses studi, mampukah saya untuk meneruskannya? Saya ingin cepat bisa kembali ke Indonesia. Saya juga memikirkan keluarga. Tapi saya juga melihat bahwa betul kebutuhan pelayanan akan makin besar, dan mungkin saya perlu studi D.Th. Lagipula kesempatan studi ini now or never untuk saya. Tapi bagaimana kalau saya tidak mampu? Atau mungkin saya mampu tapi sudah lelah? Atau jangan2 lelah karena sekarang ini studi sambil pelayanan dan akan beda kalau hanya studi saja. Dan seterusnya… dan seterusnya…
Pergumulan belum selesai dan kisah saya juga belum selesai :-) Saya kira setiap kita akan bergumul pro dan kontra untuk setiap keputusan besar yang akan kita jalani. Dan rekan-rekan yang memutuskan untuk mengambil atau tidak mengambil D.Th/Ph.D mungkin bergumul yang sama seperti saya. Ada masukan lagi untuk menambah ramai pergumulan saya? Adakah yang belum saya pikirkan?