Tuesday, September 23, 2014

Natal Sebelum/Sesudah 25 Desember?

Natal masih tiga bulan lagi. Tapi justru karena itulah saya menulis ini. Mudah-mudahan belum
terlambat untuk menjadi bahan pertimbangan.

Banyak gereja dan persekutuan yang mengadakan kebaktian dan perayaan Natal jauh sebelum atau jauh sesudah tanggal 25 Desember. Mungkin di awal Desember atau bahkan di akhir November, mungkin di Januari atau bahkan di Februari! Alasannya? Sangat praktis.

Ada yang beralasan biasanya tanggal 25 Desember banyak jemaat yang tidak berada di tempat. Bagi gereja di luar negeri, mungkin banyak jemaatnya yang pulang ke Indonesia. Bagi gereja di dalam negeri, mungkin banyak jemaatnya yang pergi liburan. Maka untuk menghindari sepinya kebaktian dan perayaan Natal, solusinya adalah mengadakannya jauh lebih awal. Ada juga yang beralasan (biasanya berbagai persekutuan – persekutuan keluarga besar, daerah, suku, kantor, dsb) bahwa periode sekitar Natal semua anggotanya sedang sibuk dengan kegiatan di gereja masing-masing. Maka supaya mereka mau hadir dan tidak mengganggu kegiatan gereja, solusinya adalah mengadakannya jauh sesudah periode Natal.

Di dalam gereja sendiri, berbagai persekutuan rumah tangga dan komisi, masing-masing juga merayakan Natal. Maka di waktu-waktu sekitar Natal, kadang kita bisa bercanda: “Udah berapa kali Natal?” atau “Ini Natal yang ke berapa nih?”

Kita memang tidak tahu pasti kapan tanggal Yesus dilahirkan di bumi (dan kemungkinan besar memang bukan 25 Desember!). Yesus juga tidak pernah minta dirayakan ulang tahunnya. Lagipula, mengenang akan inkarnasi Yesus untuk menyelamatkan kita dan merenungkan kehadiran Yesus yang menjadi terang dunia, adalah sesuatu yang cocok untuk dilakukan oleh kita setiap saat. Maka tidak ada yang salah dengan merayakan Natal di bulan November, Februari atau Juli sekalipun! Tidak ada yang salah juga dengan merayakan Natal berkali-kali!

Tetapi, secara kesatuan orang percaya, saya kira ada baiknya jika semua orang Kristen fokus merayakan Natal di tanggal 25 Desember. Ada dua alasan:

Pertama, sekalipun 25 Desember bukanlah “hari ulang tahun” Yesus, tetapi sejak sekitar abad ke-4, mayoritas gereja di seluruh dunia sudah membaptis tanggal itu menjadi waktu mengingat dan merayakan kelahiran Yesus ke dalam dunia. Alangkah indahnya berbagi sukacita dengan orang-orang percaya di seluruh dunia ketika kita merayakan kelahiran Yesus pada waktu yang hampir bersamaan (hanya masalah perbedaan zona waktu).

Kedua, kalau semua gereja merayakan Natal di tanggal 25 Desember, di belahan dunia manapun seorang Kristen berada pada tanggal 25 Desember, dia akan bisa ikut merayakan Natal di situ bersama dengan orang-orang Kristen lainnya. Bayangkan kasihannya, misalnya ada seorang Kristen dari Jakarta yang harus bepergian ke Singapore pada tanggal 25 Desember. Di sana dia mencari gereja Indonesia untuk merayakan Natal dan ternyata gereja itu sudah merayakan Natal tiga minggu sebelumnya! Bayangkan juga anehnya, misalnya ada seorang Kristen dari Indonesia yang tinggal di Singapore. Gerejanya di Singapore merayakan Natal pada minggu pertama Desember. Setelah perayaan Natal disitu, dia pulang ke Jakarta dan menemukan bahwa minggu berikutnya di gerejanya di Jakarta masih minggu Advent – mempersiapkan dia menyambut Natal! Kalau dia sangat menghayati perayaan Natal di gerejanya di Singapore, maka dia akan merasa aneh sekali karena setelah merayakan Natal sekarang Advent lagi. Kalau dia tidak merasa ada yang aneh maka mungkin dia memang tidak peduli dengan semuanya. Merayakan Natal bersama di tanggal 25 Desember mencerminkan kesatuan gereja.

Bagi berbagai persekutuan yang merayakan Natal, baik sebelum atau sesudah 25 Desember, sekalipun secara teologis tidak salah, tetapi sebetulnya agak aneh. Bukankah anggota persekutuan itu akan atau sudah merayakan Natal di gereja masing-masing? Mengapa mereka harus sekali lagi mengulang semuanya – biasanya lagi-lagi lengkap dengan lagu Natal, drama Natal, candle light, dsb? Apa maknanya?

Demikian pula dengan berbagai komisi di dalam gereja yang merayakan Natal – biasanya sebelum 25 Desember. Masing-masing juga merayakannya lengkap dengan semua atribut kebaktian Natal. Lalu apa lagi maknanya perayaan Natal bersama sebagai gereja di kebaktian Natal gereja? Tidak masalah jikalau ingin menggunakan momen itu sebagai KKR atau acara khusus untuk mengundang orang belum percaya, tapi mengapa disebut sebagai kebaktian Natal dan semua atribut acaranya persis dengan perayaan Natal di gereja (umum)?

Saya mengerti kesulitan gereja-gereja di luar negeri yang banyak jemaatnya pulang liburan pada waktu Natal tetapi ingin punya waktu merayakan Natal bersama sebagai gereja. Saya usul supaya tetap menyebutnya sebagai minggu Advent saja. Silakan ada drama, liturgi khusus, berbentuk KKR, atau apa saja, tetapi tetap pertahankan itu sebagai minggu Advent. Tetap persiapkan jemaat untuk merayakan Natal di gereja manapun nanti mereka akan berada dan tetap rayakan Natal pada tanggal 25 Desember bagi jemaat yang masih tinggal di tempat dan bagi semua tamu yang datang.

Saya juga mengerti keinginan komisi di dalam gereja dan berbagai persekutuan lain untuk memanfaatkan momen Natal sebagai waktu yang khusus. Saya usul untuk menyebutnya sebagai “Persekutuan Khusus Menjelang Natal” (atau ada usulan lain yang lebih kreatif?).
Maka setiap jemaat, dipersiapkan, mengharapkan, menujukan pandangan ke tanggal 25 Desember, dimana bersama-sama sebagai gereja kita merayakan Natal.
Bagi persekutuan yang mengadakan Natal di bulan Januari atau Februari, saya usul sebaiknya tidak usah. Lebih baik adakan saja “Persekutuan Tahun Baru”.

Apa yang saya tuliskan di atas bukan “hukum mutlak” dan saya tidak anti dengan perayaan Natal sebelum/sesudah 25 Desember. Saya juga tidak anti dengan 10X merayakan Natal. Tetapi, paling tidak saya mohon supaya tulisan ini bisa dipertimbangkan di dalam konteks masing-masing. Selamat mempersiapkan Natal!

Friday, September 05, 2014

Belajar dari Eugene Peterson dan Marva Dawn

Bagi mereka yang cukup teliti mendengarkan khotbah saya, pasti tahu akan kekaguman saya pada Eugene Peterson dan Marva Dawn. Saya seringkali mengutip kalimat mereka di dalam khotbah maupun di dalam pembicaraan informal.

Saya menyukai pola berpikir Eugene Peterson, kritis, mendalam, dan mengejutkan! Tulisannya kadang tidak mudah untuk dimengerti karena dia sangat ahli menggunakan bahasa untuk membangkitkan imajinasi. Maka waktu membaca, sering saya harus berhenti dan merenung dulu baru melanjutkan. Bahkan kadang setelah lewat beberapa waktu baru semua terlihat ‘nyambung’ bagi saya.

Saya juga menyukai analisa yang tajam sekaligus pastoral dari Marva Dawn. Marva tidak
menggembalakan gereja manapun tetapi selain pelayanan menulis, mengajar dan berkhotbah, dia terlibat pelayanan secara aktif dalam gereja. Dia pernah melatih paduan suara, mengajar sekolah minggu, dan membina anak-anak remaja dan pemuda. Maka apa yang dia bicarakan dan contoh yang dia berikan sangatlah ‘membumi’.

Beberapa tahun yang lalu saya mulai menyadari bahwa sangatlah banyak (atau bahkan hampir semua) konsep-konsep penting yang saya pegang tentang pelayanan, penggembalaan, bahkan spiritualitas, ternyata berasal dari mereka. Saya tidak pernah belajar semua itu secara formal di sekolah teologi. Saya juga tidak punya role model yang cukup kuat untuk saya bisa belajar mengenai semua itu. Saya bahkan kesulitan menemukan teman diskusi yang pas untuk bicara mengenai semua itu. Tetapi, saya belajar pertama-tama justru melalui membaca banyak buku, khususnya buku mereka berdua.

Saya tidak pernah studi formal di bawah mereka. Saya tidak pernah mengenal atau bahkan bertemu dengan mereka. Tetapi, tanpa mereka tahu dan tanpa saya sadari, mereka sudah menjadi "guru" dan "teman diskusi" bagi saya. Kalau bertemu dengan mereka, saya ingin berkata: “Terima kasih” (dengan bahasa Inggris kalau ketemu di dunia atau dengan bahasa sorgawi kalau ketemu di sorga).

Belum semua buku mereka saya baca. Di bawah ini adalah daftar buku mereka yang, seingat saya, sudah saya baca habis atau paling tidak sebagian besarnya:

Eugene Peterson dan Marva Dawn
The Unnecessary Pastor: Rediscovering the Call

Eugene Peterson
The Contemplative Pastor: Returning to the Art of Spiritual Direction
Reversed Thunder: The Revelation of John and the Praying Imagination
Subversive Spirituality
A Long Obedience in the Same Direction: Discipleship in an Instant Society
Eat This Book: A Conversation in the Art of Spiritual Reading
Leap Over the Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians
Run With the Horses: The Quest for Life at Its Best
Working the Angles: The Shape of Pastoral Integrity
Where Your Treasure Is: Psalms that Summon You from Self to Community
The Pastor: A Memoir

Marva Dawn
I’m Lonely Lord – How Long?: Meditations on the Psalms
Truly the Community: Romans 12 and How to be the Church
Sexual Character: Beyond Technique to Intimacy
The Sense of the Call: A Sabbath Way of Life for Those Who Serve God, the Church and the World
Keeping the Sabbath Wholly: Ceasing, Resting, Embracing, Feasting
Reaching Out Without Dumbing Down: A Theology of Worship for This Urgent Time
Powers, Weaknesses and the Tabernacling of God

Sebetulnya belajar hanya dari membaca buku tidaklah terlalu ideal karena buku berbeda dengan teman diskusi yang hidup. Tetapi, paling tidak, setelah kita membaca buku, merenungkannya, mencoba menjalankannya, kemudian ditambah dengan menemukan di sana-sini "guru" dan "teman diskusi" yang jauh dari sempurna, we will still learn a lot of things!

NB: Btw, saya baru sadar sangat sedikit dari daftar buku-buku di atas yang sudah saya review di blog ini.