Monday, November 14, 2016

Glittering Vices - Rebecca Konyndyk DeYoung

Rebecca Konyndyk DeYoung, Glittering Vices: A New Look at the Seven Deadly Sins And Their Remedies (Grand Rapids: Brazos Press, 2009), 205 pages.


Secara tidak sengaja, saya melihat buku ini dijual sangat murah di sebuah perpustakaan sekolah teologi. Saya lihat topiknya, penulisnya, dan karena murahnya, saya putuskan untuk membelinya. Di luar dugaan, buku ini sangat bagus.

Buku ini membahas apa yang sering disebut sebagai “Tujuh Dosa Maut (Seven Deadly Sins)”. DeYoung sebetulnya lebih setuju dengan istilah capital vices daripada deadly sins. Ada dua alasan: Pertama, “vice”menunjukkan kebiasaan (habit) atau tipe karakter (character trait). Artinya bukan sekedar perbuatan dosa tetapi sebuah kebiasaan dosa di dalam diri kita yang sudah lama kita kembangkan dan sudah mengakar. Kedua, “capital” artinya adalah “kepala” atau “sumber”. Dari tujuh vices inilah muncul berbagai vices yang lain, dan itulah sebabnya mereka disebut “deadly”.

DeYoung memulai pembahasannya dengan menjelaskan asal usul pemahaman akan capital vices itu dalam tradisi Kristen mulai dari zaman “the desert fathers” (sekitar abad ke-3 dan ke-4). Banyak penjelasannya juga diambil dari Thomas Aquinas (abad ke-13). Lalu dia menjelaskan mengapa tujuh vices ini yang dimasukkan dan mengapa mereka begitu kuat mempengaruhi hidup manusia.

Dengan sangat baik, dia kemudian menjelaskan satu persatu “Seven Capital Vices” itu:

Envy: Feeling Bitter When Others Have It Better
Vainglory: Image Is Everything
Sloth: Resistance to the Demands of Love
Avarice: I Want It All
Anger: Holy Emotion or Hellish Passion
Gluttony: Feeding Your Face and Starving Your Heart
Lust: Smoke, Fire, and Ashes

Buku ini bukan hanya mengajak kita mengerti arti setiap vice, tetapi dengan tajam memperlihatkan bagaimana vice itu mungkin ada di dalam hati kita. Kemudian di setiap akhir pembahasan salah satu vice, dia akan mengusulkan sebuah disiplin rohani untuk mengubah kebiasaan dosa itu. Karena vice bersifat kebiasaan, maka kita perlu mematahkan kebiasaan itu dan menggantinya dengan kebiasaan lain, begitu rupa, sampai itu mengakar dalam diri kita. Maka dari vice berganti menjadi virtue.

Berikut adalah beberapa kutipan dari buku ini:

“If we think about the people we envy, and we envy them in particular, a pattern emerges. Enviers don’t usually envy those who are far removed from their lives and lifestyles, or who are vastly more talented or successful than they are. They tend to envy people to whom they might actually be compared unfavorably, that is, those who are just like them – only better.” (p.49).

“If we step back for a moment, it is disconcerting to think how much of our lives are spent keeping up appearances to impress lots of other people on the basis of qualities that we don’t have or that don’t really matter.” (p.65).

“Acedia’s (Sloth) greatest temptations are escapism and despair – when we don’t feel like being godly or loving anymore, to abandon ship and give up, to drift away inwardly or outwardly toward something more comfortable or immediately comforting… Thus, its greatest remedy is to resist the urge to get out or give up, and instead to stay the course, stick to one’s commitments, and persevere.” (p.97).

Buku ini bukanlah buku yang “berat” tetapi juga bukan buku yang “ringan”. Dia tidak menulis buku ini untuk kalangan akademis maka istilah-istilah yang dipergunakan juga sederhana dan bukan teknis teologis. Tetapi, buku ini bukan buku yang bisa dibaca dengan cepat dan sambil lalu. Perlu ketelitian dan ketenangan untuk membacanya. Kita perlu membacanya dengan cermat sambil memeriksa diri – satu kali. Lalu, sambil bergumul dengan kehidupan, kita perlu membacanya lagi dan memeriksa diri lagi.

Highly recommended!