Wednesday, July 23, 2008

Sense of Belonging


Di dalam salah satu buku yang sedang saya baca (Komunitas Alternatif: Hidup Bersama Menebarkan sense of belonging, penerjemah buku tersebut memberikan catatan kaki: “Biasanya sense of belonging diterjemahkan secara keliru dengan rasa memiliki. Sebenarnya, sense of belonging adalah rasa dimiliki, artinya seseorang merasa dirinya diterima dalam dan diakui sebagai bagian dari suatu komunitas hidup”.
Kasih, Penerbit Kanisius), ketika sampai pada kalimat

Secara terjemahan, memang itulah terjemahan yang tepat! Hal yang saya tidak mengerti adalah mengapa selama ini setiap kali melihat kata sense of belonging, yang langsung terpikir oleh kita adalah rasa memiliki? Darimana ide itu muncul?

Saya sangat tertarik dengan catatan kaki dari penerjemah tersebut karena terjemahan yang berbeda itu akan merubah cara berpikir kita.

Seringkali ketika membicarakan tentang komunitas atau persekutuan, kita menyebut istilah rasa memiliki. Maksudnya adalah perasaan mengasihi persekutuan tersebut, perasaan bahwa dia punya tanggung jawab atas persekutuan tersebut, perasaan bahwa dia tidak rela persekutuan itu hancur. Karena apa? Karena dia punya rasa memiliki. Maka kita ingin supaya orang-orang dalam persekutuan punya rasa memiliki persekutuan tersebut supaya mereka mau berjuang untuk persekutuan itu. Bagaimana caranya? Entahlah. Mungkin kita melibatkan mereka dalam berbagai aktifitas (supaya mereka merasakan berjuang untuk persekutuan itu), mungkin melibatkan mereka dalam acara kebersamaan (supaya mereka akrab dan senang dengan persekutuan itu) atau mungkin mengajak mereka berdoa untuk persekutuan itu (supaya persekutuan itu lekat dalam hati mereka). Pada intinya kita berjuang supaya mereka menjadikan persekutuan itu sebagai milik mereka.

Tetapi ketika kita mengubah terjemahan sense of belonging menjadi rasa dimiliki. Seluruh arti menjadi berbeda. Kita bukan berjuang supaya setiap orang dalam persekutuan merasa memiliki persekutuan, tetapi supaya mereka merasa dimiliki oleh persekutuan itu. Mereka merasa dianggap bagian dari persekutuan itu, merasa dikasihi, merasa dijadikan anggota keluarga.

Mungkin kegiatan yang kita lakukan tetap sama, tetapi seluruh arah akan menjadi berbeda.

Monday, July 21, 2008

Yang Penting Tuhan Mau - 1


Dari sejak remaja, saya sering mendengar orang berkata “pelayanan yang penting mau bukan
mampu”. Kalimat ini seringkali diucapkan pada waktu mendorong (kadang memaksa) seseorang untuk ambil bagian dalam pelayanan. Maksudnya jelas, asalkan kita mau kita pasti bisa dipakai oleh Tuhan. Kemampuan itu dari Tuhan maka yang penting, sekali lagi, adalah kita mau.

Setiap kita memang tidak ada yang mampu mengerjakan pekerjaan Tuhan. Sesungguhnya terlalu agung, terlalu besar, terlalu impossible bagi siapapun untuk membantu pekerjaan Tuhan! Itu yang pernah diungkapkan Paulus di dalam surat 2 Korintus. Setelah dia menyatakan peran yang sangat mulia dari seorang pelayan Tuhan yaitu “menyebarkan bau yang harum dari Kristus” (2 Kor 2:15), dia bertanya “Tetapi siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian?” (2 Kor 2:16). Dan jawabannya “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah” (2 Kor 3:5).

Maka kita mungkin bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang terlihat seperti pekerjaan Tuhan. Kita bisa mengorganisir suatu acara, membuat desain untuk publikasi, memasak, memainkan musik atau bahkan berkhotbah, tetapi semua itu mungkin bukan pekerjaan Tuhan. Tidak ada dari kita yang mampu menyebarkan bau yang harum dari Kritus, itu adalah pekerjaan Allah. Dengan kekuatan sendiri, kita hanya mampu melakukan christian work dan bukan pekerjaan Tuhan.

Tetapi apakah betul “pelayanan yang penting mau bukan mampu?” Saya kira juga tidak terlalu tepat. Bukankah Tuhan memberikan tempat bagi masing-masing anggota tubuh? Bukankah Tuhan memberikan talenta yang berbeda bagi pelayan-pelayanNya?

Dalam konteks praktis, apakah kita perlu membujuk orang yang suaranya agak ‘lari’ untuk ikut paduan suara (karena paduan suara kekurangan anggota) dengan alasan “pelayanan yang penting mau”? Saya kira tidak. Atau apakah karena kita kekurangan guru sekolah minggu, maka siapa saja kita bujuk untuk menjadi guru sekolah mingu dengan alasan “pelayanan yang penting mau”? Lebih parah lagi, apakah kita harus membiarkan seseorang menempati jabatan tertentu dalam pelayanan hanya karena “dia mau”?

Banyak kekacauan dalam gereja karena banyak orang Kristen yang ingin mengambil tempat yang bukan bagiannya. Dan juga ada banyak kelemahan dalam pelayanan karena banyak orang yang ambil bagian di dalamnya hanya karena merasa bersalah jika dia tidak mau. Konsep bukankah “yang penting mau” membuat banyak orang merasa keterlaluan jika tidak mau. Padahal tiap anggota tubuh harus berada pada tempatnya, bukan sekedar mau berada di mana.

Mungkin lebih baik kita katakan “pelayanan yang penting adalah Tuhan mau”. Kalau pelayanan bukan kesanggupan kita tetapi Tuhan, maka biar Tuhan yang menunjukkan apa yang harus kita lakukan. Talenta yang Tuhan berikan kepada kita bisa menjadi petunjuk bagi kita. Situasi pelayanan di hadapan kita juga bisa menjadi petunjuk bagi kita. Pada intinya, masing-masing kita harus dengan hati yang jujur bertanya kepada Tuhan, apa yang Tuhan mau kita lakukan. Kalau Tuhan mau, walaupun kita tidak mampu (dan memang kita tidak akan mampu), Tuhan akan pakai kita. Sebaliknya, sekalipun kita mau, kalau Tuhan tidak mau (bukan tempatnya kita), kita hanya akan mengerjakan christian work dan bukan pekerjaan Tuhan.

Tuesday, July 15, 2008

Pengalaman Bersama Tuhan


Saya mengamati bahwa sebagian besar gereja-gereja dari kalangan Injili di Indonesia, entah
mengapa, menganggap tabu atau paling tidak menghindari pembicaraan mengenai perasaan-perasaan bersama dengan Tuhan atau pengalaman-pengalaman rohani.

Begitu ada orang yang bicara tentang perasaan-perasaan atau pengalaman seperti demikian, banyak orang yang langsung merasa ‘anti’ atau paling tidak waspada. Misalnya jika ada orang berkata:

“Saya merasa Tuhan menyentuh saya”
“Tiba-tiba saya merasa sangat damai dan ada perasaan hangat di dalam hati”
“Saya melihat seperti ada cahaya dan tiba-tiba saya menangis”
“Saya seperti mendengar Tuhan berkata…”

Kalimat-kalimat itu langsung membuat ‘radar teologi’ kita naik ke atas dan kita siap untuk membom jatuh ‘pesawat musuh’. Mungkin radar anda sekarang juga mulai naik ke atas dan anda siap untuk membom saya?

Saya sangat mengerti ‘bahaya’nya kalimat-kalimat seperti di atas, dan saya sangat tahu penyimpangan-penyimpangan yang selama ini dilakukan oleh orang-orang dengan kalimat-kalimat seperti di atas. Tetapi kalau kemudian kita tabu dengan hal tersebut, kita anti dengan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan seperti itu, saya kira kita "membuang air dalam baskom sekaligus dengan bayi di dalamnya"!

Iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus adalah pusat dari kehidupan rohani kita. Dan kalau iman kita adalah iman kepada Tuhan yang hidup, maka kita pasti mengalami perasaan dan pengalaman bersama dengan Dia. Kita tidak berhubungan dengan Tuhan yang hanya jauh di sana, tetapi Tuhan yang juga dekat dengan kita. Tiap hari Dia bersama kita, dan tiap saat ada yang Dia lakukan terhadap kehidupan kita. Tidak mungkin tidak ada perasaan dan pengalaman bersama dengan Dia.

Di sisi lain, iblis memang bisa menyamar menjadi malaikat terang. Artinya iblis bisa meniru berbagai hal yang dikerjakan oleh Allah sedemikian rupa sehingga orang mengira itu adalah pekerjaan Allah. Maka Iblis bisa meniru dengan memberikan perasaan dan pengalaman yang mirip seperti yang bisa diberikan Allah kepada kita. Dia bisa memberikan perasaan seperti damai, perasaan seperti adanya kehadiran Tuhan, bahkan pengalaman-pengalaman ‘rohani’ yang sangat personal.

Tetapi karena iblis bisa meniru, apakah kalau begitu kita boleh anti dengan perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman yang memang diberikan oleh Tuhan? Bukankah Tuhan memang berbicara kepada kita? Bukankah Tuhan memang menjamah hidup kita? Bukankah kehadiranNya memang seringkali bisa dirasakan dengan jelas oleh anak-anakNya? Lalu mengapa kita anti dengan semua itu? Bukankah seharusnya kita bahkan mengingini pengalaman bersama dengan Tuhan? Itu yang diingini oleh Musa (melihat kemuliaan Tuhan), itu juga yang Elisa doakan supaya bujangnya alami (melihat ada tentara malaikat Tuhan), itu juga yang diberikan Yesus kepada para rasul (memperlihatkan kemuliaanNya dengan berubah rupa bersama dengan kehadiran Musa dan Elia), dan itu juga yang dialami oleh orang-orang percaya di sepanjang Alkitab!

Saya tahu sebagian orang akan berkata “kami tidak anti, tetapi kami selalu harus menguji berdasarkan Firman”. Saya 100% setuju dengan kalimat itu. Tetapi mari kita jujur, apakah selama ini kita memang ‘menguji’ atau sebetulnya cenderung takut dan akhirnya tidak peduli apakah kita mengalami Tuhan atau tidak?

Mengapa kita hanya ‘belajar’ tentang Tuhan dan ‘bekerja’ untuk Dia tetapi kita miskin ‘pengalaman’ bersama dengan Dia?