Friday, May 20, 2011

Sibuk?

Di zaman sekarang, siapa yang tidak sibuk? Khususnya bagi yang hidup dan bekerja di Singapore, kota yang modern, transportasi yang mudah, koneksi internet yang cepat, membuat kehidupan seringkali justru lebih sibuk.

Uniknya kesibukan tidak hanya menjadi symptom, tetapi menjadi simbol status bahkan kebanggaan. Di satu sisi kita tidak senang sibuk, tetapi di sisi lain kita tidak suka disebut ‘tidak sibuk’, atau ‘kurang kerjaan’. Di satu sisi kita mengeluh ketika sibuk, tetapi di sisi lain kita bangga bahwa kita orang sibuk. Sebagian orang perlahan-lahan mulai menikmati kesibukannya. Baginya hidup adalah sibuk dan dia tidak suka hidupnya tidak ada sesuatu yang dikerjakan.

Bagaimana hamba Tuhan harus hidup di tengah jemaat yang kebanyakan sibuk dan suka untuk sibuk ini? Apakah juga harus menjadi “busy pastor”? Sepertinya itu yang diharapkan sebagian jemaat dan itu yang juga ‘dipamerkan’ oleh sebagian hamba Tuhan. Kalau tidak sibuk, malu rasanya, jemaat semua sibuk kok hamba Tuhan nganggur?

Kalimat Eugene Peterson di dalam bukunya “The Contemplative Pastor” sangat mengejutkan:

I’m not arguing the accuracy of the adjective [busy]; I am, though, contesting the way it’s used to flatter and express sympathy… But the word busy is the symptom not of commitment but of betrayal. It is not devotion but defection. the adjective busy set as a modifier to pastor should sound to our ears like adulterous to characterize a wife or embezzling to describe a banker.

Terjemahan bebasnya:

Saya tidak mempermasalahkan ketepatan kata sifat sibuk itu; tetapi saya mempertanyakan cara kata itu digunakan untuk memuji atau menyatakan simpati… Tetapi kata sibuk bukanlah tanda komitmen tapi pengkhianatan. Itu bukan pengabdian tapi ketidaksetiaan. Kata sifat sibuk yang dikenakan kepada hamba Tuhan di telinga kita harus berbunyi seperti berzinah dikenakan kepada istri atau korupsi dikenakan kepada bankir.

Saya kira sibuk adalah musuh setiap orang, bukan hanya hamba Tuhan. Kalau saya boleh definisikan ulang: sibuk berarti mengerjakan banyak hal tapi mengabaikan yang esensial dalam hidup dan panggilan kita. Dan bagi setiap orang ‘yang esensial’ ini berbeda.

Bagi saya, ‘yang esensial’ itu berarti membaca Alkitab, lebih banyak berdoa, membaca buku, mempersiapkan khotbah dengan baik,punya waktu untuk ngobrol dengan sebanyak mungkin jemaat, bisa merenung dan memikirkan strategi pelayanan dengan lebih baik, punya waktu ngobrol dan jalan-jalan dengan istri, bisa belajar banyak hal dengan banyak cara (belajar keindahan manusia, keindahan alam, belajar penderitaan manusia, dsb), berolah raga, bisa pulang teratur menengok orang tua dan mertua saya, kira2 seperti itu. Kalau saya sibuk (baca: tidak mengerjakan ‘yang esensial’ itu) maka saya sedang mengkhianati hidup dan panggilan saya.

Bagi anda apa ‘yang esensial’ itu? Sebagai orang Kristen, qpakah anda punya waktu untuk berdoa, membaca Alkitab, membaca buku rohani? Sebagai anggota keluarga, apakah anda punya waktu yang berkualitas untuk keluarga? Sebagai anggota gereja, apa yang anda lakukan? Dan sebagai manusia dengan karunia dan panggilan dari Tuhan, apa yang esensial? Apakah hanya bekerja? Apakah hanya pergi dan meeting ke sana sini? Kalau ‘yang esensial’ itu yang tidak dikerjakan, maka sangat mungkin itu berarti anda sibuk, dan itu sama sekali tidak membanggakan.

Dengan malu saya harus mengaku bahwa saya pun seringkali sibuk! Tapi saya berjuang – dan akan terus berjuang - untuk tidak sibuk. Saya tidak mau disebut busy pastor! Dan jangan mau disebut sebagai suami sibuk, istri sibuk, orang tua sibuk, orang Kristen sibuk, anak sibuk, dan yang lain2nya. Sekali lagi, karena ketika orang mengatakan kita sibuk, itu mungkin karena ada ‘yang esensial’ yang kita abaikan. Mari sama2 berjuang untuk tidak sibuk.