Wednesday, April 23, 2008

Ketulusan

Ketulusan dari dulu adalah karakter yang sangat disukai. Kita tidak suka kepada orang yang ‘ada udang di balik batu’ (bahkan ungkapan ini pun sudah lama sekali muncul), orang yang berbelok-belok untuk menyembunyikan maksudnya, orang yang menjebak, pendek kata kita tidak suka orang yang tidak tulus. Walaupun demikian, kita seringkali memaafkan ketidaktulusan. Kita tidak terlalu merasa terganggu dengan ketidaktulusan yang dilakukan orang di sekitar kita.

Tetapi di zaman sekarang keadaan sudah berubah. Kepekaan akan ada tidaknya ketulusan ini menjadi lebih tajam. Bukan berarti orang-orang zaman sekarang lebih tulus (bagaimanapun orang tetap berdosa), tetapi mereka lebih peka, curiga dan tidak suka dengan ketidaktulusan.

Saya ambil contoh praktis saja dari dunia pemasaran. Dulu para agen asuransi diajarkan oleh perusahaan supaya ketika menawarkan asuransi, sebisa mungkin jangan katakan bahwa produk yang dijual adalah asuransi. Alasannya? Banyak orang yang belum mengerti asuransi tetapi langsung antipati ketika mendapat penawaran asuransi. Maka para agen asuransi akan ‘putar-putar’ dulu ketika bicara, baru ujungnya berkata “nah inilah yang saya jual”.

Demikian pula dalam sistem pemasaran multi level (MLM) yang sangat booming sejak hampir 20 tahun yang lalu. Ketika ingin mengajak orang untuk bergabung, mereka diajarkan untuk tidak ‘straight to the point’. Maka mereka mungkin akan mulai dengan mengajak orang itu berpikir apa yang diinginkannya (seringkali yang digali adalah ketamakan dan kemalasan orang itu, seperti ingin punya mobil mewah, penghasilan ratusan juta, tanpa bekerja pula). Bahkan ketika ingin mulai bicara pun, mereka tidak akan katakan ingin membicarakan hal itu. Mereka mungkin katakan ingin datang main ke rumah, ingin bicarakan bisnis, atau bahkan sekedar ‘membesuk’. Setelah ‘putar-putar’, baru mereka menjelaskan maksud sebenarnya.

Cara-cara pemasaran seperti ini terbukti sukses, tapi itu dulu. Sekarang ini, cara-cara yang saya sebutkan di atas masih dilakukan, tetapi saya makin banyak mendengar suara-suara miring dari orang-orang yang menjadi ‘korban’ pemasaran dengan cara tersebut. Mereka merasa ditipu, menjadi objek, diganggu, dan yang paling menyedihkan adalah itu dilakukan oleh orang-orang yang mereka kenal. Artinya ada relasi yang terluka di situ.

Saya pernah mengalaminya. Suatu kali ada teman lama yang tiba-tiba menelpon. Wah, saya sangat senang karena memang sudah lama tidak bertemu. Tetapi setelah basa-basi sejenak, kemudian dia mengatakan ingin menawarkan bisnis. Ketika saya tanya bisnis apa, dia mencoba menyembunyikannya dan mengatakan akan menjelaskannya ketika nanti bertemu saya. Di otak saya langsung muncul 3 huruf yang berkedip-kedip “M-L-M” (Multi Level Marketing). Akhirnya dia memang mengaku, dan dengan sopan saya menolak karena sayatidak tertarik. Setelah telpon ditutup, saya merasa sakit hati. Saya tahu teman saya itu pasti mencoba memikirkan setiap nama yang bisa di ‘prospek’ dan di situlah baru dia teringat nama saya. Sejak hari itu, dia juga tidak pernah menelpon saya lagi. Saya sangat merasa dimanfaatkan dan tidak suka dengan ketidaktulusannya.

Saya juga pernah terjebak, duduk dan harus mendengarkan presentasi yang ‘putar-putar’ dulu itu, yang padahal dari awal saya sudah tahu ujungnya akan seperti apa. Pertanyaan seperti “apa yang anda cita-citakan?” untuk menggali ketamakan saya, membuat saya muak.

Ada 1 cerita lagi, suatu kali seorang teman mengirim SMS menanyakan kapan saya ada waktu karena dia ingin mampir dan ngobrol. Pengalaman saya (bukan cuma sekali dalam peristiwa yang saya ceritakan di atas, tapi beberapa kali) langsung membuat alarm di atas kepala saya berbunyi. Teman ini bukan teman yang dekat, kami juga sudah tidak bertemu beberapa tahun, dan dia tidak pernah khusus ingin ngobrol dengan saya sebelumnya. Belakangan saya tahu, dia memang ingin menawarkan asuransi.

Saya perlu jelaskan dulu, saya tidak anti dengan produk asuransi atau produk yang ditawarkan melalui jaringan MLM. Produk asuransi dan MLM banyak yang bagus dan memang dibutuhkan. Saya juga mencari beberapa di antaranya dan senang membelinya. Tapi saya tidak suka dijebak. Saya lebih senang jika ada orang yang langsung katakan “saya jualan asuransi/produk A, kamu perlu nggak? Kalau mau, biar saya jelasin dulu nanti terserah putusin tertarik atau nggak”.

Saya yakin cara-cara pemasaran seperti di atas masih sukses, dan itu sebabnya masih dipakai. Tetapi saya juga yakin cara pemasaran seperti itu pasti akan makin tidak populer dalam tahun-tahun yang akan datang. Dan adalah kebodohan jika perusahaan-perusahaan masih melatih tenaga pemasarnya melakukan hal-hal seperti di atas, karena itu berarti mereka tidak peka menangkap perubahan.
Saya tidak ingin menulis panjang lebar seperti ini untuk mengkritik dunia pemasaran, tetapi yang ingin saya ajak kita lihat adalah ternyata banyak gereja juga melakukan hal yang sama. Gereja juga tidak membaca perubahan zaman.

Mungkin dulu orang Kristen merasa cara-cara pemasaran seperti di atas sukses untuk bisnis, maka mereka berpikir “wah, ini cocok juga di gereja”. Maka dibuatlah penginjilan dengan cara seperti demikian. Misalnya kita mengadakan pertemuan di rumah, kita undang tetangga dengan menyebutkan “ini acara makan-makan”, tetapi waktu mereka datang ada pengkhotbah yang menginjili mereka. Kita juga tiba-tiba menelpon kenalan lama kita, yang tidak pernah sama sekali kita hubungi dan sejujurnya tidak pernah kita ingat, hanya untuk mengajak mereka ke KKR (bayangkan perasaan mereka karena tahu nama mereka baru teringat waktu kita sedang mendaftarkan siapa yang bisa diajak untuk KKR). Atau kita tiba-tiba menyapa dengan sopan tetangga kita yang tadinya tidak pernah kita sapa (dan mungkin dia sebal dengan kita) hanya karena ingin mengajak mereka ke persekutuan di rumah kita.

Sekali lagi saya yakin cara-cara seperti di atas masih bisa dipakai dan sangat bagus kalau orang Kristen punya semangat untuk memberitakan Injil. Tetapi saya juga yakin cara-cara seperti itu akan makin membuat gereja dicela daripada dimuliakan. Mengapa? Sama seperti kasus dalam dunia pemasaran yang saya sebutkan di atas, itu sangat tidak tulus! Mengapa tidak langsung katakan “Minggu depan ada kebaktian di situ, khusus jelasin tentang kekristenan. Mau ikut nggak? Kalo mau, datang aja dengerin, nanti saya temenin”, atau “Minggu depan di rumah saya ada acara kumpul-kumpul. Yang datang beberapa teman gereja dan juga teman-teman mereka. Acaranya santai, pendeta dari gereja saya kasih khotbah singkat, setelah itu kita makan bareng dan ngobrol-ngobrol aja”. Dan akan lebih menyenangkan bagi orang yang diajak jika selama ini kita memang teman mereka, bukan tiba-tiba mau jadi teman hanya karena ingin mengajak mereka ke KKR!

Satu lagi analogi yang ingin saya tarik dari dunia pemasaran. Hal yang sangat menggelikan bagi saya adalah di dalam usaha memasarkan produknya, banyak para pemasar yang menyebut ‘keinginan menolong orang lain’ sebagai dasar motivasinya. Mereka berkata “kalau saya bisnis sendiri, saya hanya memperkaya diri sendiri, tapi saya ingin menolong orang lain dan anda juga bisa menolong orang lain dengan bergabung dengan bisnis ini”. Apakah sungguh itu motivasinya? Adakah di antara kita yang antusias “Wow, alangkah indahnya bisa menolong orang lain. Saya akan bergabung dengan bisnis ini!”? Jelas bukan itu motivasinya!

Mengajak orang untuk percaya kepada Yesus adalah hal yang sangat mulia, karena kita tahu itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi kepada seseorang. Motivasi dasarnya? Kasih! Kasih dalam hal ini boleh saya definisikan sebagai keinginan untuk orang lain memperoleh yang terbaik untuk hidupnya. Melihat orang lain punya kebutuhan rohani dan ingin menawarkan pertolongan dari Tuhan yang mampu menolong, itulah kasih! Tanpa kasih, ajakan yang mulia itu menjadi sangat tercemar. Tanpa kasih, motivasi kita mungkin hanya karena disuruh hamba Tuhan, atau tidak enak kalau persekutuan di rumah sepi, atau mengusir perasaan bersalah karena tidak menginjili. Apapun juga, jikalau bukan kasih, ajakan kita itu menggelikan. Walaupun kita katakan motivasi kita adalah kasih, tapi coba tanya pada diri sendiri apakah betul motivasinya kasih? Kalau sebenarnya bukan kasih, bau ketidaktulusan itu akan tercium.

Di zaman ini banyak orang yang sedang mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan hidupnya. Mereka merasa kering, lelah, bosan dengan hidupnya. Mereka membutuhkan Tuhan. Jika kita mengasihi mereka, pertama-tama kita tidak ingin mereka hidup seperti itu, kita ingin mereka menerima kehidupan yang sesungguhnya di dalam Yesus. Kedua, kalau memang kita punya hati seperti itu, pergilah kepada mereka, tanyakan apakah mereka mau mempertimbangkan bahwa Yesus bisa mengisi kosongnya jiwa mereka. Kita punya berita yang sangat berharga, mereka perlu itu, maka tawarkan kepada mereka! Tapi jangan lupa, lakukanlah dengan tulus dan penuh kasih!

Tuesday, April 08, 2008

1 Samuel 13 - Ketidaktaatan


Saul adalah raja pertama dari bangsa Israel. Kitab 1 Samuel pasal 9-12 mencatat hal-hal yang indah
tentang bagaimana Saul dipilih Tuhan menjadi raja, bagaimana namanya dibuat menjadi harum di antara orang Israel, sehingga Samuel pun bisa berlega hati minta diri dari bangsa Israel. Tetapi mulai 1 Samuel 13, yang diceritakan adalah kemerosotan Saul. Ketidaktaatan dan ketidak bijaksanaan Saul mulai diperlihatkan, sampai akhirnya 1 Samuel 15:35 menyimpulkan: “…Samuel berdukacita karena Saul. Dan Tuhan menyesal, karena Ia menjadikan Saul raja atas Israel”. Itulah kesimpulan akhir yang menyedihkan tentang Saul.

Selama Saul memerintah, bangsa Israel terus berada dalam kondisi peperangan dengan bangsa-bangsa lain. 1 Samuel 13-15 menceritakan kemenangan-kemenangan awal Saul atas Filistin dan juga Amalek. Maka dari sisi manusia, bisa dikatakan 1 Samuel 13 ini adalah permulaan yang baik dari pemerintahan Saul. Baru saja jadi raja, sudah menang perang terus. Dia mengawali pemerintahannya dengan menunjukkan kemampuannya melawan musuh. Tetapi justru di sini pointnya. Cerita kesuksesan Saul bercampur dengan komentar yang buruk dari Tuhan.

Dan akhirnya seluruh cerita ditutup di 1 Samuel 15 dengan kesimpulan yang menyedihkan itu tentang Saul. Sekalipun Saul bisa memenangkan peperangan dan banyak mengerjakan hal yang baik selama dia menjadi raja, tetapi dia tidak taat pada Tuhan. Kalau mau diukur dari keberhasilan, Saul sangat sukses. Tapi bukan itu yang Tuhan lihat. Tuhan tidak memuji kesuksesannya, tetapi Tuhan bersedih melihat hatinya.

Kesalahan Saul dalam 1 Samuel 13 ini adalah dalam hal mempersembahkan korban. Kesalahan Saul adalah karena ia tidak mentaati firman Tuhan yang disampaikan oleh Samuel (13:13-14).

Saul ingin segera membakar korban karena pada waktu itu rakyat mulai berserak meninggalkan dia. Tentara Israel punya sedikit sekali senjata yang layak karena mereka sama sekali tidak menguasai teknik untuk mengasah besi. Tidak ada seorang pun tukang besi di Israel, maka mereka tidak memiliki satu pun pedang atau tombak (13:19,22). Hanya Saul dan Yonatan yang punya. Yang lain pakai apa? Mungkin kapak, arit, atau alat-alat pertanian lainnya yang tidak layak dijadikan senjata berperang. Sementara itu, mempersembahkan korban sebelum berperang adalah kebiasaan bangsa-bangsa zaman itu sebagai cara mendapat perkenanan dewa mereka. Bangsa Israel juga punya konsep yang sama. Itu sebabnya dalam keadaan yang serba lemah, sementara korban belum dipersembahkan, mereka sangat takut dan mulai meninggalkan Saul. Maka Saul ingin membangkitkan semangat rakyat dengan membakar korban, seperti berkata “Lihat korban sudah dipersembahkan! Allah pasti tolong!”.

Samuel sudah memberikan perintah supaya Saul pergi dulu ke Gilgal dan menunggu dia selama 7 hari di sana sampai dia datang dan barulah mempersembahkan korban (10:8). Tetapi sesudah ditunggu 7 hari lamanya, Samuel belum datang juga sementara rakyat sudah tidak sabar. Keadaan memburuk karena musuh makin dekat mengepung dan semua sudah ketakutan, ada yang bersembunyi di gua dan ada yang melarikan diri. Maka Saul pun melanggar perintah Tuhan.

Ada 3 hal lagi yang menjadi kesalahan besar Saul:

Pertama, dia pintar beralasan. 
Kita bisa berkata bahwa tindakan Saul masuk akal. Persis seperti alasan Saul mengapa dia mempersembahkan korban tanpa menunggu Samuel: “Rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mihkmas, maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran” (13:11-12).

Kata-kata Saul hebat, alasannya tepat, semuanya masuk akal. Tetapi Saul lupa 1 hal: Tuhan lebih senang orang yang taat! Alasan apapun, sekalipun masuk akal, menjadi tidak masuk akal karena melawan perintah Tuhan.

Kalau kita lihat nanti di 1 Samuel 15, kita menemukan kisah yang mirip terulang lagi. Saul tidak taat lagi, dan ketika ditegur, dia langsung memberikan lagi alasan-alasan yang masuk akal. Ini kelemahan Saul yang paling dasar: dia pintar bicara dan mencari alasan ketika ditegur.

Kedua, Saul dikuasai oleh keadaan dan bukan oleh iman.

John Bunyan mengatakan kalimat yang agung: “Aku lebih baik berjalan di dalam gelap bersama Tuhan daripada berjalan sendirian di dalam terang”. Lebih baik di dalam gelap, tidak tahu mengapa, tidak tahu harus bagaimana, tetapi tetap bersama Tuhan, daripada seakan-akan tahu jelas apa yang harus dilakukan, tahu jalan kemenangan, tetapi sendirian karena tidak bersama Tuhan.

Tetapi pikiran Saul lain. Dan seringkali begitu jugalah kita! Ketika kita melihat keadaan tidak beres, kita sering ingin segera melakukan sesuatu. Kita tidak suka ada sesuatu yang berjalan di luar kontrol kita, kita ingin pegang kendali. Tetapi ini salah! Ini seringkali sama dengan keinginan manusia menjadi sama seperti Allah. Kita ingin mengatur hidup kita, ingin semua berada dalam kontrol kita. Padahal lebih baik lemah, seperti tidak bisa berbuat apa-apa, berada dalam kegelapan, tapi jelas menantikan Tuhan.

Terakhir, Saul menganggap Tuhan hanya seperti mainan. Ketika dia mempersembahkan korban, dia juga hanya ingin memakai Tuhan untuk memberkati peperangan. Dia ingin memakai upacara persembahan korban kepada Tuhan itu sebagai alat untuk memompa semangat prajuritnya. Ia tidak menganggap serius Tuhan.

Belajar mentaati Tuhan, belajar tetap taat sekalipun keadaan tidak memungkinkan, belajar tetap menunggu Tuhan sekalipun seperti tidak bisa ditunggu, itu adalah pelajaran-pelajaran penting dalam kehidupan. Saul melakukan kewajiban agama, Saul bicara tentang Allah, Saul juga melakukan pekerjaan Allah. Semua itu dia lakukan, tetapi itu tidak cukup. Masalahnya adalah hati, 'The heart of the matter is a matter of the heart' (Inti dari masalahnya adalah masalah hati). Allah tidak ingin semua itu tanpa hati yang merindukan dan mentaati Dia.

Bagaimana hati anda?

Monday, April 07, 2008

Perubahan


Akhir-akhir ini di dalam beberapa kesempatan, saya bertemu beberapa orang teman lama, teman-teman semasa SMA dulu. Surprise memang, ada yang masih saya kenal, ada yang hanya saya ingat wajahnya tapi lupa namanya, ada juga yang setelah kenalan baru saya tahu ternyata itu teman SMA! Biasanya yang terakhir itu adalah mereka yang memang waktu masa SMA dulu hanya tahu-sama-tahu dengan saya.

Masing-masing sudah berubah, saya berubah dan mereka juga berubah. Perubahan kami bukan sekedar pada fisik, yang biasanya terlihat dengan tubuh yang makin ‘besar’, rambut yang makin jarang, dan wajah yang makin tua, tetapi juga pada kehidupan.

Dulu semua sama-sama ‘anak SMA’, seragam kami sama, putih abu-abu dan dan sepatu hitam, pergumulan hidup kami juga mirip yaitu PR, ulangan, ujian, les dan masalah dengan guru.

Sekarang semua punya kehidupan yang berbeda. Ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang belum. Ada yang bekerja sebagai karyawan, dosen atau guru, ada yang wirausaha dan ada juga yang menjadi profesional seperti dokter. Ada yang ekonominya maju dan serba berkecukupan dan ada juga yang biasa-biasa saja. Daftar ini masih bisa ditambah terus.

Yang menarik adalah tidak semua kondisi-kondisi di atas sudah bisa diprediksi sejak dulu. Banyak juga yang ‘dulunya sama sekali tidak terbayang dia bisa jadi begitu’. Saya kira teman-teman SMA saya juga dulu tidak ada yang menduga kalau akhirnya sekarang saya menjadi hamba Tuhan penuh waktu di gereja. Jangankan mereka, sayapun tidak menduga!

Dan saya juga menemukan beberapa hal yang menarik, walaupun kebanyakan perubahan-perubahan itu hanya sekedar status pernikahan, pekerjaan, kondisi ekonomi, atau segala 'embel-embel' lain di permukaan, tetapi ada juga perubahan yang terjadi pada ‘orang’nya. Ada yang dulunya seperti apa tetapi sekarang seperti apa. Ada yang dulunya sangat aktif pelayanan, sekarang sekedar ke gereja. Ada juga yang dulunya tidak percaya Tuhan sekarang jadi orang yang sangat bertumbuh. Ada yang dulu ‘agak aneh’, sekarang berubah walaupun ada juga yang berubahnya menjadi makin parah.
Saya jadi merenung lagi tentang kehidupan saya. Saya yang sekarang juga sudah berbeda dengan saya yang dulu. Mengenai 'embel-embel', pasti banyak perubahan. Tapi mengenai 'orang'nya, mungkin dalam beberapa hal saya tidak berubah (ini menyedihkan saya), dalam beberapa hal lain mungkin saya menjadi makin buruk (walaupun saya harap tidak seperti itu), dan dalam beberapa hal lain mungkin saya makin baik. Tetapi yang membuat saya bersyukur adalah, dengan segala kekurangan yang ada, saya bisa mengatakan saya bertumbuh. Ini membuat saya sangat bersyukur. Walaupun lambat dan cacat di sana-sini, saya bertumbuh!

Dan saya berpikir apa yang menyebabkan saya menjadi seperti sekarang ini? Jawaban saya bisa bermacam-macam: karena orang tua, karena lingkungan, karena teman-teman, atau karena keputusan-keputusan tertentu dalam hidup saya. Tetapi saya sadar di atas semua itu adalah: karena kasih karunia Tuhan dan respon saya atas kasih karunia itu. Tuhan, dengan terus menerus, tidak bosan-bosan, pantang menyerah, berusaha menggarap hidup saya untuk mengubah saya, dan saya berubah juga walaupun respon saya sering lamban dan bebal (Ah, andaikata saya tidak begini bebal dan lamban!).

Ada perubahan-perubahan dalam hidup saya yang waktu SMA dulu, atau bahkan waktu kuliah dulu, sama sekali tidak terpikir oleh saya. Saya tidak terbayang akan menjadi seperti apa adanya sekarang ini. Saya tahu saya masih sangat super jauh dari baik. Tapi saya bisa menyaksikan bagaimana kasih karunia Tuhan itu beroperasi dalam hidup saya dan bagaimana respon saya yang bebal dan lamban itu, walaupun seperti membuka pintu dengan pelit kepada Tuhan, ternyata sudah membuat anugrahNya menerobos masuk. Maka sekarang ini, kalau melihat ke belakang, saya bisa berkata “Oh, betapa manisnya perubahan itu, betapa manisnya karya Tuhan dalam hidup saya!”.

Lalu saya lihat lagi keadaan diri saya sekarang ini. Jujur saya tidak puas, bahkan sangat tidak puas, dengan diri saya yang sekarang. Bukan saya tidak puas dengan anugrah Tuhan. Saya tidak puas karena saya tahu Tuhan ingin saya lebih dari sekarang tapi saya masih terlalu pelit membuka pintu itu. Dan saya memandang ke depan untuk perubahan lagi.

Suatu kali, ketika saya sedang sangat kesal, saya berkata kepada teman saya “saya sudah tidak bisa berubah lagi, sudah mentok!”. Teman saya kemudian memberikan nasihat bijak yang terus saya ingat “jangan batasi perubahan yang ingin dikerjakan Tuhan!”.

Hidup saya hari ini belum tentu menunjukkan besok akan seperti apa. Sekali lagi maksud saya bukan sekedar kondisi ekonomi, jenis pekerjaan atau segala embel-embel lain tetapi diri saya sendiri. Dan sampai berapa jauh saya bisa berubah? Alkitab memberitahu: Sampai seperti Kristus! Sampai hidup dalam kemuliaan bersama Tuhan dan malaikat-malaikatNya di surga! (2 Kor 3:18, Kol 3:4).

Menanti saat itu membuat saya terharu dan tidak sabar. Saya ingin ada disana dan bisa menoleh ke belakang dan dengan lebih berani lagi berkata “Oh, betapa manisnya perubahan itu, betapa manisnya karya Tuhan dalam hidup saya”. Saat itu pasti akan tiba!