Ketulusan dari dulu adalah karakter yang sangat disukai. Kita tidak suka kepada orang yang ‘ada udang di balik batu’ (bahkan ungkapan ini pun sudah lama sekali muncul), orang yang berbelok-belok untuk menyembunyikan maksudnya, orang yang menjebak, pendek kata kita tidak suka orang yang tidak tulus. Walaupun demikian, kita seringkali memaafkan ketidaktulusan. Kita tidak terlalu merasa terganggu dengan ketidaktulusan yang dilakukan orang di sekitar kita.
Tetapi di zaman sekarang keadaan sudah berubah. Kepekaan akan ada tidaknya ketulusan ini menjadi lebih tajam. Bukan berarti orang-orang zaman sekarang lebih tulus (bagaimanapun orang tetap berdosa), tetapi mereka lebih peka, curiga dan tidak suka dengan ketidaktulusan.
Saya ambil contoh praktis saja dari dunia pemasaran. Dulu para agen asuransi diajarkan oleh perusahaan supaya ketika menawarkan asuransi, sebisa mungkin jangan katakan bahwa produk yang dijual adalah asuransi. Alasannya? Banyak orang yang belum mengerti asuransi tetapi langsung antipati ketika mendapat penawaran asuransi. Maka para agen asuransi akan ‘putar-putar’ dulu ketika bicara, baru ujungnya berkata “nah inilah yang saya jual”.
Demikian pula dalam sistem pemasaran multi level (MLM) yang sangat booming sejak hampir 20 tahun yang lalu. Ketika ingin mengajak orang untuk bergabung, mereka diajarkan untuk tidak ‘straight to the point’. Maka mereka mungkin akan mulai dengan mengajak orang itu berpikir apa yang diinginkannya (seringkali yang digali adalah ketamakan dan kemalasan orang itu, seperti ingin punya mobil mewah, penghasilan ratusan juta, tanpa bekerja pula). Bahkan ketika ingin mulai bicara pun, mereka tidak akan katakan ingin membicarakan hal itu. Mereka mungkin katakan ingin datang main ke rumah, ingin bicarakan bisnis, atau bahkan sekedar ‘membesuk’. Setelah ‘putar-putar’, baru mereka menjelaskan maksud sebenarnya.
Cara-cara pemasaran seperti ini terbukti sukses, tapi itu dulu. Sekarang ini, cara-cara yang saya sebutkan di atas masih dilakukan, tetapi saya makin banyak mendengar suara-suara miring dari orang-orang yang menjadi ‘korban’ pemasaran dengan cara tersebut. Mereka merasa ditipu, menjadi objek, diganggu, dan yang paling menyedihkan adalah itu dilakukan oleh orang-orang yang mereka kenal. Artinya ada relasi yang terluka di situ.
Saya pernah mengalaminya. Suatu kali ada teman lama yang tiba-tiba menelpon. Wah, saya sangat senang karena memang sudah lama tidak bertemu. Tetapi setelah basa-basi sejenak, kemudian dia mengatakan ingin menawarkan bisnis. Ketika saya tanya bisnis apa, dia mencoba menyembunyikannya dan mengatakan akan menjelaskannya ketika nanti bertemu saya. Di otak saya langsung muncul 3 huruf yang berkedip-kedip “M-L-M” (Multi Level Marketing). Akhirnya dia memang mengaku, dan dengan sopan saya menolak karena sayatidak tertarik. Setelah telpon ditutup, saya merasa sakit hati. Saya tahu teman saya itu pasti mencoba memikirkan setiap nama yang bisa di ‘prospek’ dan di situlah baru dia teringat nama saya. Sejak hari itu, dia juga tidak pernah menelpon saya lagi. Saya sangat merasa dimanfaatkan dan tidak suka dengan ketidaktulusannya.
Saya juga pernah terjebak, duduk dan harus mendengarkan presentasi yang ‘putar-putar’ dulu itu, yang padahal dari awal saya sudah tahu ujungnya akan seperti apa. Pertanyaan seperti “apa yang anda cita-citakan?” untuk menggali ketamakan saya, membuat saya muak.
Ada 1 cerita lagi, suatu kali seorang teman mengirim SMS menanyakan kapan saya ada waktu karena dia ingin mampir dan ngobrol. Pengalaman saya (bukan cuma sekali dalam peristiwa yang saya ceritakan di atas, tapi beberapa kali) langsung membuat alarm di atas kepala saya berbunyi. Teman ini bukan teman yang dekat, kami juga sudah tidak bertemu beberapa tahun, dan dia tidak pernah khusus ingin ngobrol dengan saya sebelumnya. Belakangan saya tahu, dia memang ingin menawarkan asuransi.
Saya perlu jelaskan dulu, saya tidak anti dengan produk asuransi atau produk yang ditawarkan melalui jaringan MLM. Produk asuransi dan MLM banyak yang bagus dan memang dibutuhkan. Saya juga mencari beberapa di antaranya dan senang membelinya. Tapi saya tidak suka dijebak. Saya lebih senang jika ada orang yang langsung katakan “saya jualan asuransi/produk A, kamu perlu nggak? Kalau mau, biar saya jelasin dulu nanti terserah putusin tertarik atau nggak”.
Saya yakin cara-cara pemasaran seperti di atas masih sukses, dan itu sebabnya masih dipakai. Tetapi saya juga yakin cara pemasaran seperti itu pasti akan makin tidak populer dalam tahun-tahun yang akan datang. Dan adalah kebodohan jika perusahaan-perusahaan masih melatih tenaga pemasarnya melakukan hal-hal seperti di atas, karena itu berarti mereka tidak peka menangkap perubahan.
Saya tidak ingin menulis panjang lebar seperti ini untuk mengkritik dunia pemasaran, tetapi yang ingin saya ajak kita lihat adalah ternyata banyak gereja juga melakukan hal yang sama. Gereja juga tidak membaca perubahan zaman.
Mungkin dulu orang Kristen merasa cara-cara pemasaran seperti di atas sukses untuk bisnis, maka mereka berpikir “wah, ini cocok juga di gereja”. Maka dibuatlah penginjilan dengan cara seperti demikian. Misalnya kita mengadakan pertemuan di rumah, kita undang tetangga dengan menyebutkan “ini acara makan-makan”, tetapi waktu mereka datang ada pengkhotbah yang menginjili mereka. Kita juga tiba-tiba menelpon kenalan lama kita, yang tidak pernah sama sekali kita hubungi dan sejujurnya tidak pernah kita ingat, hanya untuk mengajak mereka ke KKR (bayangkan perasaan mereka karena tahu nama mereka baru teringat waktu kita sedang mendaftarkan siapa yang bisa diajak untuk KKR). Atau kita tiba-tiba menyapa dengan sopan tetangga kita yang tadinya tidak pernah kita sapa (dan mungkin dia sebal dengan kita) hanya karena ingin mengajak mereka ke persekutuan di rumah kita.
Sekali lagi saya yakin cara-cara seperti di atas masih bisa dipakai dan sangat bagus kalau orang Kristen punya semangat untuk memberitakan Injil. Tetapi saya juga yakin cara-cara seperti itu akan makin membuat gereja dicela daripada dimuliakan. Mengapa? Sama seperti kasus dalam dunia pemasaran yang saya sebutkan di atas, itu sangat tidak tulus! Mengapa tidak langsung katakan “Minggu depan ada kebaktian di situ, khusus jelasin tentang kekristenan. Mau ikut nggak? Kalo mau, datang aja dengerin, nanti saya temenin”, atau “Minggu depan di rumah saya ada acara kumpul-kumpul. Yang datang beberapa teman gereja dan juga teman-teman mereka. Acaranya santai, pendeta dari gereja saya kasih khotbah singkat, setelah itu kita makan bareng dan ngobrol-ngobrol aja”. Dan akan lebih menyenangkan bagi orang yang diajak jika selama ini kita memang teman mereka, bukan tiba-tiba mau jadi teman hanya karena ingin mengajak mereka ke KKR!
Satu lagi analogi yang ingin saya tarik dari dunia pemasaran. Hal yang sangat menggelikan bagi saya adalah di dalam usaha memasarkan produknya, banyak para pemasar yang menyebut ‘keinginan menolong orang lain’ sebagai dasar motivasinya. Mereka berkata “kalau saya bisnis sendiri, saya hanya memperkaya diri sendiri, tapi saya ingin menolong orang lain dan anda juga bisa menolong orang lain dengan bergabung dengan bisnis ini”. Apakah sungguh itu motivasinya? Adakah di antara kita yang antusias “Wow, alangkah indahnya bisa menolong orang lain. Saya akan bergabung dengan bisnis ini!”? Jelas bukan itu motivasinya!
Mengajak orang untuk percaya kepada Yesus adalah hal yang sangat mulia, karena kita tahu itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi kepada seseorang. Motivasi dasarnya? Kasih! Kasih dalam hal ini boleh saya definisikan sebagai keinginan untuk orang lain memperoleh yang terbaik untuk hidupnya. Melihat orang lain punya kebutuhan rohani dan ingin menawarkan pertolongan dari Tuhan yang mampu menolong, itulah kasih! Tanpa kasih, ajakan yang mulia itu menjadi sangat tercemar. Tanpa kasih, motivasi kita mungkin hanya karena disuruh hamba Tuhan, atau tidak enak kalau persekutuan di rumah sepi, atau mengusir perasaan bersalah karena tidak menginjili. Apapun juga, jikalau bukan kasih, ajakan kita itu menggelikan. Walaupun kita katakan motivasi kita adalah kasih, tapi coba tanya pada diri sendiri apakah betul motivasinya kasih? Kalau sebenarnya bukan kasih, bau ketidaktulusan itu akan tercium.
Di zaman ini banyak orang yang sedang mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan hidupnya. Mereka merasa kering, lelah, bosan dengan hidupnya. Mereka membutuhkan Tuhan. Jika kita mengasihi mereka, pertama-tama kita tidak ingin mereka hidup seperti itu, kita ingin mereka menerima kehidupan yang sesungguhnya di dalam Yesus. Kedua, kalau memang kita punya hati seperti itu, pergilah kepada mereka, tanyakan apakah mereka mau mempertimbangkan bahwa Yesus bisa mengisi kosongnya jiwa mereka. Kita punya berita yang sangat berharga, mereka perlu itu, maka tawarkan kepada mereka! Tapi jangan lupa, lakukanlah dengan tulus dan penuh kasih!