Wednesday, June 30, 2010

Undangan Khotbah - 1

(Saya pernah menulis tentang khotbah di dalam 2 tulisan - Mengajarkan Firman Tuhan - 1 dan Mengajarkan Firman Tuhan - 2. Kali ini saya ingin menulis lagi tentang khotbah di dalam dua seri tulisan dengan judul Undangan Khotbah, dan sebagian besar isinya saya tujukan untuk para rekan hamba Tuhan)
 
Pada waktu mulai menjadi hamba Tuhan, salah satu hal yang mengejutkan bagi saya adalah ketika menerima undangan khotbah. Saya biasa menjadi pengurus, menyambut dan menemani pengkhotbah, tapi saya belum pernah disambut dan ditemani sebagai pengkhotbah! Tiba-tiba saya mengalami loncatan status dan itu mengejutkan (sekaligus mengerikan).

Bagi banyak mahasiswa teologi dan juga mereka yang baru lulus dari sekolah teologi - adalah kebanggaan jika diundang untuk berkhotbah. Kita diundang, dikirimi surat, kita datang dan kemudian disambut sebagai pengkhotbah. Dan ketika makin lama makin banyak tempat yang mengundang, makin lama makin besar event yang mengundang, kita merasa makin bangga. Saya tahu perasaan seperti itu! Dan tanpa disadari, kerendahan hati waktu menyambut panggilan Tuhan berubah menjadi ketinggian hati.

Perasaan itu mungkin muncul karena banyak dari kita yang memberikan diri masuk ke sekolah teologi karena menyambuti panggilan Tuhan melalui seorang hamba Tuhan. Mungkin kita pernah berada dalam sebuah kebaktian besar, dihadiri banyak orang, dan di situ kita menyambuti panggilan Tuhan. Pada waktu kita masuk sekolah teologi, kita mulai membayangkan diri kita akan menjadi seperti hamba Tuhan itu, berkhotbah dengan penuh kuasa di dalam kebaktian seperti demikian. We want to be like them! 

Atau perasaan seperti itu muncul karena melihat dosen-dosen kita. Mereka mungkin pengkhotbah 'besar', mereka terkenal, diundang kemana-mana, dan kita yang sedang belajar di bawah mereka membayangkan bahwa suatu kali kita akan seperti mereka. Kita merasa bahwa sangat besar 'gengsi' menjadi pengkhotbah. Kita sering kagum dengan orang-orang yang memiliki talenta berkhotbah dan kita juga mendengar nada kekaguman itu dari orang-orang di sekitar kita. Pengkhotbah, dalam batas tertentu, seperti selebriti (maaf kalau saya berlebihan). Dan kita juga ingin dikagumi.

Tanpa sadar kita membangun khayalan dalam diri kita bahwa saya bisa seperti itu, atau saya harus seperti itu, atau saya sudah seperti itu (padahal tidak). Saya ingat ada mahasiswa sekolah teologi yang bangga sekali diundang berkhotbah dalam sebuah event yang cukup besar sehingga dia khusus mengajak adik kelasnya untuk mengambil foto saat dia berkhotbah, mengajukan tantangan dan banyak orang maju ke depan. Saya juga pernah diajak seorang rekan untuk menemani dia pergi berkhotbah supaya saya bisa melihat pelayanannya yang besar dan 'belajar dari dia' (it made me feel uncomfortable!). Saya juga pernah mendengar mahasiswa sekolah teologi yang iri karena rekannya dikirim berkhotbah ke tempat pelayanan yang 'bergengsi'.

Tidak perlu panjang lebar, saya kira kita tahu bahwa di balik semua itu ada dosa. Dosa ingin membanggakan diri, dosa ingin mencari signifikansi diri dengan 'prestasi', dosa mengukur diri dengan ukuran dunia, dan dosa memakai mimbar untuk memuliakan diri.

Khotbah memang pelayanan yang mulia. Kita boleh menginginkan pelayanan yang mulia, kita boleh ingin dipakai Tuhan, kita boleh bahkan harus berusaha memperbaiki diri dalam berkhotbah, tapi semua itu tujuannya haruslah untuk Tuhan, for the greater glory of God. "Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil" (Yoh 3:30) Coba lihat ulang hati kita masing-masing!