Wednesday, June 25, 2014

The Only Thing

“The only thing that can hinder a Christian’s progress is the Christian himself” - A.W. Tozer

Tozer kemudian melanjutkan bahwa anak Tuhan yang sejati bisa bertumbuh dalam keadaan apa saja bahkan yang paling buruk sekalipun. Tuhan mengatur begitu rupa sehingga anak-anakNya bisa bertumbuh sama baiknya di tengah padang pasir ataupun di tanah yang subur. Anugrah Tuhan bekerja tanpa pertolongan dari keadaan di dunia. Maka satu-satunya yang menghalangi seorang Kristen untuk maju adalah DIRINYA SENDIRI!

Saya sangat setuju dengan Tozer!

Kita yang malas untuk melakukan disiplin rohani. Kita yang tidak sungguh-sungguh mencari wajah Tuhan. Kita yang tidak mau disiplin menggunakan waktu. Kita yang tidak berdoa. Kita yang diatur keadaan: sibuk, cape, panas, nggak mood. Kita yang menginginkan yang salah: orang yang salah, benda yang salah, status yang salah. Kita yang ditekan oleh kesepian dan lupa punya Tuhan. Kita yang melakukan dosa!!!

Kita yang menghalangi diri kita sendiri untuk maju. Kita yang menghalangi diri kita sendiri untuk bertumbuh. Oh Tuhan…ampunilah kami!

Friday, June 13, 2014

A Resting Place - Retreat

Warning: Cukup panjang! Sebaiknya dibaca waktu tenang :-)
Tulisan ini adalah cuplikan khotbah saya di Persekutuan Doa GKY Green Ville tahun 2013 untuk persiapan Retreat ALife.
 
Henri Nouwen menggambarkan kehidupan orang modern dengan dua kata:

1. Filled (penuh).
Hidup kita penuuhhh… dengan kesibukan: bertemu orang, menyelesaikan proyek, menulis email, menelpon, rapat, kuliah, kerja, masalah, stress, dan seterusnya. Ironisnya bagaimanapun sibuknya, kita merasa selalu ada yang belum dikerjakan, janji yang belum dipenuhi, komitmen yang batal, hal-hal yang harus diingat, orang yang harus ditemui, dan seterusnya. Maka sebetulnya kita bukan lagi sibuk, tapi panik. Terlalu banyak yang harus kita lakukan. Kita penuh, kita panik.

Dampak sampingnya adalah kita menjadi penuh kekhawatiran. Kita selalu berpikir ‘bagaimana kalau’. Bagaimana kalau nanti ada masalah, bagaimana kalau dia begini dan begitu, bagaimana kalau terjadi sesuatu, dan seterusnya.

Dan di tengah zaman yang sangat mementingkan pandangan orang lain, kita selalu berpikir apa yang orang lain lihat tentang kita. Bagaimana penampilan saya, apa yang orang katakan, bagaimana prestasi saya, bagaimana pekerjaan saya, status saya. Kita khawatir bagaimana orang melihat kita.

Di tengah hidup seperti ini, bagaimana kita bisa mendengar suara Tuhan? Bagaimana kita bisa menemukan apa yang Tuhan mau? Kita hanya terus terseret dengan berbagai hal… dan tidak ada lagi waktu untuk mendengar suara Tuhan. Itu hidup kita.

2. Unfulfilled (tidak puas atau hampa)
Di dalam kesibukan begitu rupa, banyak orang bertanya untuk apa semua yang dia lakukan. Walaupun hidupnya seperti baik-baik saja, ada pekerjaan, ada uang, ada status, ada keluarga, semua ada, tapi dia kehilangan arti dari semuanya. Hidup kita seperti roda yang berputar terus dengan cepat. Hari ini kerja, besok harus kerja lagi. Hari ini urus masalah, besok juga urus masalah lagi. Putaran terus berjalan, dan kita harus ikut terus, seringkali tanpa kita tahu buat apa semuanya. Makin ikut, makin lama makin merasa kosong.

Dampaknya banyak orang hari ini hidup kesepian. Kesepian bukan karena tidak ada orang. Tapi kesepian karena makin renggangnya hubungan antar manusia. Antara suami dan istri, orang tua dan anak, rekan2 kerja, teman2 gereja. Masing2 kita hidup dalam dunia sendiri, sibuk sendiri, banyak orang di sekitar kita, tapi kita kesepian. Kita mungkin hang out, jalan2, pergi persekutuan, pelayanan, tapi tetap kita kesepian. Hidup seperti ini sangat terasa kosong. Ada kegelisahan dalam diri kita, merasa ini tidak benar, merasa ada sesuatu yang lain yang kita inginkan, tapi tidak tahu apa dan bagaimana. Hidup kita restless.

3. Saya tambahkan ciri yang ke-3 dari hidup orang modern: hidup kita penuh dengan luka.
Kita makhluk yang selalu bereaksi. Ketika ditekan, kita bereaksi. Mungkin dengan marah - kita melawan dan membalas. Atau mungkin hanya dengan memendam kemarahan, atau dengan menangis, atau dengan ketakutan. Reaksi apapun yang kita lakukan, hasilnya adalah kita terluka.

Ketika kita merasa hidup kita kosong, kesepian, kita akan bereaksi. Mungkin dengan mencari kenikmatan apa saja, cari teman2 hang out sampai larut malam, pergi ke pesta demi pesta. Atau mungkin kita beli barang lebih banyak, makan lebih banyak, apa saja yang kita pikir bisa membuat kita puas.

Lebih parahnya, salah satu pelarian kita adalah dosa. Setan tahu sekali bagaimana menggunakan kelemahan kita. Waktu kita terlalu penuh dengan kesibukan, kepanikan, khawatir, tidak bisa mendengar suara Tuhan, di situ dia bersuara. Ketika kita rasa tidak puas, hampa, kosong, di situ dia tawarkan sesuatu yang terlihat bermakna, memberi kepuasan. Ketika kita sedang banyak luka, di situ dia tawarkan obat membalut luka kita dengan racun yang lebih menyakitkan. Maka kita jatuh dalam dosa. Dan makin kita berdosa, makin kita rasa kosong. Makin rasa kosong, makin mudah kita jatuh lagi dalam dosa. Putarannya terus seperti itu.

Apa yang harus kita lakukan dengan hidup seperti ini? Maka salah satu disiplin rohani untuk menolong diri kita adalah Retreat.

Retreat artinya mundur. Kita keluar dulu dari putaran hidup yang cepat ini, Keluar dulu dari hidup yang terlalu penuh. Keluar dulu dari hidup yang terasa kosong. Keluar dulu membawa luka2 kita. Maka saya kira gambaran yang tepat untuk Retreat adalah “A Resting Place” - tempat istirahat.

Hidup kita sehari2 adalah medan perang, dimana kita tegang, panik, dihajar kiri kanan, ditembaki terus. Maka ketika kita sudah sangat lelah, butek, tidak tahu lagi harus berbuat apa, tidak tahu bahkan harus menembak kemana, sementara tubuh sudah lemah dan penuh dengan luka, di saat itulah yang perlu kita lakukan adalah kembali ke markas. Di situ kita mengalami ketenangan. Kita diobati dulu lukanya. Kita diajak memikirkan ulang strategi, diajak melihat dari perspektif yang benar bagaimana berperang. That’s a resting place, tempat istirahat.

Atau pakai gambaran lain. Hidup kita sehari2 adalah padang gurun. Kita seperti seorang musafir yang berjalan melewati padang gurun itu, di situ kita kepanasan, kelelahan, kurang minum dan makan, kita bertemu dengan binatang buas, kita mengalami luka2. Sekarang kita sampai di sebuah tempat yang indah, di pinggir sungai yang tenang. Di situ kita mandi, makan, diobati lukanya, tidur di tempat yang tenang, ranjang yang empuk, cuaca yang sejuk. That’s a resting place, tempat istirahat.

Harusnya kita merindukan tempat istirahat itu. Kita orang yang kelelahan, kita orang yang penuh luka, dan merindukan tempat istirahat. Dan Retreat, tempat istirahat itu, bukan sekedar seperti markas tentara, bukan sekedar tempat penginapan yang enak bagi musafir, tapi tempat istirahat itu adalah di pelukan Yesus.

Seorang penulis mengatakan begini: Tuhan bisa merawat kita atau Dia bukan Tuhan sama sekali. Apakah Tuhan hanya Tuhan pada waktu yang baik dan bukan Tuhan di lembah kekelaman? Apakah Dia hanya menjadi Tuhan ketika kita merasa semuanya baik, penuh anugrah, ada tongkatnya nyata, dan kalau kita perang langsung menang dan ada pesta di medan perang? Kita hanya percaya Tuhan yang adalah Tukang Sulap agung (Great Magician) dan bukan Tabib yang Agung (Great Physician).

Hidup kita mengikut Tuhan tidak lepas dari masalah. Kita tidak bisa harapkan, ikut Tuhan semua beres. Ini dunia berdosa dan kita lemah. Maka kita bisa kelelahan, hilang arah, luka. Kita bisa marah, kita bisa berdosa, kita bisa menyerah. Tapi Tuhan mau merawat kita, menolong kita, menyembuhkan kita, di pelukanNya.

Tetapi seringkali kita, orang yang sudah sangat cape dan penuh luka ini, hanya datang ke Tuhan untuk cepat2 ambil air cuci muka, lalu balik lagi. Kita baca cepat2 Alkitab, doa cepat2, dengar Tuhan bicara cepat2, semua serba cepat seperti itu. Tuhan tidak sempat mengobati kita, menyembuhkan kita, merawat kita. Kapan kita biarkan Dia merawat kita?

Itu sebabnya waktu di Indonesia, saya dan istri mendisiplin diri untuk setiap bulan 1X pergi Retreat pribadi (biasanya hanya 1 malam saja). Kami pergi ke rumah doa di Lembang (Saya pernah menulis review tentang rumah doa di Lembang itu di sini).

Kami hanya lakukan beberapa hal di sana: Pertama, baca buku. Kami membawa 1 buku sebagai bahan perenungan (saya suka membaca buku A.W. Tozer atau Marva Dawn atau Eugene Peterson), lalu kami baca dengan perlahan sambil direnungkan. Tidak harus baca habis, hanya baca lalu renungkan, sambil bercermin, sambil berdoa bertanya apa yang Tuhan katakan.

Kedua, kami masuk ke kamar doa dan berdoa. Kadang sambil membaca Alkitab, mendengar suara Tuhan, kadang sambil menyanyi, atau kadang sambil menulis saya mengevaluasi hidup dan berdoa minta Tuhan tunjukkan dimana yang salah, lalu kemana saya harus melangkah, dsb.

Ketiga, ngobrol tentang berbagai hal dalam kehidupan rohani. Kami duduk ngobrol sambil minum kopi di tengah udara yang sejuk. Kadang kami ngobrol sambil  jalan2 keluar, sambil perhatikan alam, perhatikan yang kecil2, lihat keindahan, sambil bersyukur kepada Tuhan.

Ketika kami rasa cukup, mulai lagi baca lagi, doa lagi, lalu ngobrol lagi.

Terus seperti demikian. Waktu2 seperti itu sangat meneduhkan dan memberi kekuatan. Itulah Retreat. Itulah a resting place, di pelukan Yesus.

Beberapa saran saya:
1. Disipinkan diri untuk Retreat pribadi. Alangkah baiknya jika ada tempat retreat yang cukup dekat. Tetap pergi walaupun sedang tidak ingin pergi. Tetap pergi waktu kita merasa semua baik-baik saja.
2. Kalau kita tidak punya kesempatan atau tidak ada tempat retreat yang cukup dekat, pakai waktu seminggu sekali atau sebulan sekali khusus untuk ambil waktu yang panjang - sediakan waktu misalnya 4-5 jam supaya tidak terburu-buru. Bisa di rumah, bisa di taman, bisa di café, tapi sediakan waktu tenang yang cukup panjang. Waktu itu diisi dengan membaca Alkitab, membaca buku perenungan, berdoa, menulis jurnal, dan mengevaluasi kehidupan.

Kita semua butuh itu. Biarkan Tuhan merawat kita di resting place, di pelukan-Nya.

Monday, June 09, 2014

Pengkhotbah Keliling dan Gembala

 Salah satu “gambar” yang saya tangkap dengan kuat waktu sekolah teologi dulu adalah gambaran

pengkhotbah keliling. Menjadi hamba Tuhan yang berkhotbah kemana-mana, diundang kemana-mana, mengadakan KKR, seminar, dan berkhotbah dalam kebaktian di banyak gereja, kota dan negara. "Gambar" itu, jujur, membentuk saya.

Saya menikmati ketika diundang berkhotbah ke berbagai gereja, persekutuan, pergi ke berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Saya menikmati melihat berbagai hal yang berbeda di banyak gereja dan kota itu dan belajar banyak hal melaluinya. Saya menikmati berkenalan dengan banyak orang, pemuda, majelis, hamba Tuhan di berbagai tempat itu. Saya menikmati “the feeling”.

Terlepas dari dosa yang mungkin masuk (senang dengan popularitas, “celebrity-like” feeling, dan berbagai kenyamanan lainnya), tapi menjadi pengkhotbah keliling memang banyak nilai positif nya. Saya ingat seorang dosen saya berkata bahwa jika ingin memberikan pengaruh yang besar pada kekristenan di Indonesia, saya harus menjadi pengkhotbah keliling. Makin sering saya berkhotbah, makin banyak tempat yang saya kunjungi, maka saya akan makin terkenal (tentu dengan catatan kalau khotbahnya bagus). Dan keterkenalan itu bukan untuk diri saya sendiri tetapi supaya saya makin bisa memberikan pengaruh positif kepada kekristenan di Indonesia (tentu dengan catatan kalau memang pengaruh yang saya berikan positif). Kalau orang tidak mengenal saya, bagaimana orang akan mendengar ketika saya menyampaikan sesuatu? Kalau dipikir, benar juga!

Maka saya dibesarkan sebagai seorang hamba Tuhan dengan “gambar” seperti itu. Saya tidak pernah dibentuk dengan “gambar” seorang gembala. Seorang hamba Tuhan yang mengajar jemaatnya dengan Firman Tuhan, bukan hanya melalui khotbah tetapi juga melalui percakapan sehari-hari. Seorang hamba Tuhan yang seperti seorang tukang bangunan meletakkan fondasi dan membangun jemaatnya, seperti seorang tukang kebun yang menabur dan menyirami kebun hati jemaatnya. “Gambar” itu tidak pernah diajarkan dan dibicarakan kepada saya. Tapi entah darimana, perlahan-lahan, “gambar” gembala itu yang menjadi lebih kuat bagi saya daripada “gambar” pengkhotbah keliling. Itu berarti, ada yang harus saya tinggalkan.

Maka saya ingat waktu itu, setelah beberapa tahun saya berkhotbah keliling ke berbagai tempat, perlahan-lahan saya mulai menguranginya. Bukan hanya saya lelah, tapi saya merasa mengabaikan jemaat yang Tuhan percayakan kepada saya. Ada banyak hal, terlalu banyak hal, yang harus saya lakukan kepada dan bersama dengan mereka. Hati saya jauh lebih rindu melayani sekelompok jemaat dengan Firman Tuhan, dan itu artinya berkhotbah berulang-ulang kepada mereka (membawakan 1 khotbah di banyak tempat, sangat berbeda dengan membawakan khotbah yang terus berbeda di 1 tempat), memberi waktu lebih banyak untuk mereka, mendengar keluhan mereka, mempersiapkan hati mereka supaya Firman Tuhan bisa bertumbuh di dalamnya – daripada menabur terus menerus benih Firman Tuhan di banyak tempat.

Ketika bicara soal pelayanan “penggembalaan” banyak orang hanya berpikir tentang pergi membesuk dan mendoakan. Atau memberikan konseling, menghibur dan menguatkan. Tapi saya kira penggembalaan jauh lebih besar dari itu. Setiap manusia, dengan pengalaman yang berbeda, bentukan keluarga yang berbeda, karakter yang berbeda, punya benteng yang berbeda menghalangi pengenalan akan Tuhan. Penggembalaan adalah usaha mendobrak benteng itu supaya Firman Tuhan bisa menerobos masuk. Penggembalaan adalah menggemburkan tanah yang berbatu dan kering supaya Firman Tuhan bisa bertumbuh di situ. Itu artinya bukan hanya menghibur dan menguatkan, tapi menegur, menasihati, mengarahkan, menunjukkan kesalahan, memberikan pujian, mendoakan, melatih, bercerita tentang pekerjaan Tuhan, memberikan teladan, menyatakan kasih sayang, dst..dst.. Berapa banyaknya waktu, tenaga, usaha, harus dicurahkan untuk itu? Kadang semua dilakukan seperti tanpa hasil, tapi perlahan-lahan, tanah itu mulai gembur dan tanpa kita tahu benih Firman Tuhan itu sudah bertumbuh. Hati saya ada di situ.

Ada orang yang bingung kenapa saya sering menolak undangan khotbah, kenapa saya nggak mau diundang ke negara itu, kenapa saya kurang “terkenal” (padahal ya iya lah... hehehe…). Ada yang menasihati saya supaya berani bermimpi lebih besar dan bukan hanya jadi "jago kandang" - maksudnya hanya dikenal di kalangan terbatas. Saya melatih diri untuk terus bermimpi, and believe it or not, mimpi saya lumayan besar. Hanya saja caranya yang mungkin berbeda dari yang biasa dilakukan orang.

Tetapi saya rindu bisa berkata seperti Paulus, “bahwa aku,…siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata” (Kis 20:31). Siang malam, tiada hentinya, menjadikan diri sebagai lilin yang terus terbakar. Siang malam, tiada hentinya, menggembalakan domba Tuhan. Saya masih jauuuuhhhh…. dari Paulus, jauh dari apa yang dia lakukan itu, apalagi dari sempurna… Tapi saya rindu melalui pekerjaan kecil yang saya lakukan ada hal besar yang terjadi. Pernah dengar "Think globally, act locally"? :-)

Sekarang ini saya sedang dalam masa studi, jelas saya berhenti khotbah keliling karena panggilan utama saat ini adalah studi. Tapi saya tidak berhenti berusaha menggembalakan orang-orang di sekitar saya di GKY Singapore dan GKY Green Ville, walaupun pasti dengan sangat terbatas dan penuh kekurangan.

Disclaimer:
(1) Tidak ada yang salah dengan pelayanan pengkhotbah keliling - tiap minggu ke tempat yang berbeda. Betapa banyaknya berkat yang diterima oleh orang Kristen, khususnya di daerah-daerah tertentu, melalui pelayanan pengkhotbah keliling. Diberkatilah mereka yang melakukannya! Saya hanya merasa bukan itu panggilan saya untuk sementara ini. Entah nanti.
(2) Saya yakin saya masih harus terus berkhotbah keliling. Berkhotbah keliling, bukan saja menjadi berkat bagi kelompok orang-orang Kristen lain, tetapi juga akan terus membuka pikiran saya dalam belajar banyak hal. Maka ya, ini tetap pelayanan yang akan saya kerjakan, walaupun dengan frekuensi yang terbatas.

Satu hal yang ingin saya tekankan adalah: Panggilan Tuhan bagi kita sering menjadi tidak jelas karena berbagai tawaran menarik dan juga karena keinginan kita –yang disusupi dosa- untuk hidup semau kita. Kita tidak lagi bertanya apa panggilan Tuhan bagi saya saat ini. Sebaliknya, kita mendengar berbagai tawaran yang menarik, mungkin popularitas, uang, kenyamanan, gengsi, dan kita membiarkan hidup kita disetir dengan itu semua. Pernahkah kita bertanya mengapa saya ingin menjadi ini atau itu? Mengapa saya ingin mengerjakan ini atau itu? Betulkah karena panggilan Tuhan?

Mari gumulkan baik-baik panggilan Tuhan bagi kita masing-masing. Bagian setiap kita adalah mengerjakan panggilan Tuhan yang saat ini. Nanti mungkin lain, tapi saat ini apa panggilan Tuhan? Gumulkan, doakan, kerjakan dengan sungguh-sungguh. Kalau gagal, tidak apa.. siapa sih yang nggak pernah gagal… tapi kembali lagi, coba lagi, sungguh-sungguh lagi. Jangan biarkan hidup kita hanya diatur oleh apa yang “menarik” bagi kita.

NB: Saya juga pernah menulis mengenai pelayanan penggembalaan di sini dengan judul "Pastoring is Not for the Faint-Hearted."