Warning: Cukup panjang! Sebaiknya dibaca waktu tenang :-)
Tulisan ini adalah cuplikan khotbah saya di Persekutuan Doa GKY Green
Ville tahun 2013 untuk persiapan Retreat ALife.
Henri Nouwen menggambarkan kehidupan orang modern dengan dua kata:
1. Filled (penuh).
Hidup kita penuuhhh… dengan kesibukan: bertemu orang, menyelesaikan proyek,
menulis email, menelpon, rapat, kuliah, kerja, masalah, stress, dan seterusnya.
Ironisnya bagaimanapun sibuknya, kita merasa selalu ada yang belum dikerjakan,
janji yang belum dipenuhi, komitmen yang batal, hal-hal yang harus diingat,
orang yang harus ditemui, dan seterusnya. Maka sebetulnya kita bukan lagi sibuk,
tapi panik. Terlalu banyak yang harus kita lakukan. Kita penuh, kita panik.
Dampak sampingnya adalah kita menjadi penuh kekhawatiran. Kita selalu
berpikir ‘bagaimana kalau’. Bagaimana kalau nanti ada masalah, bagaimana kalau
dia begini dan begitu, bagaimana kalau terjadi sesuatu, dan seterusnya.
Dan di tengah zaman yang sangat mementingkan pandangan orang lain, kita
selalu berpikir apa yang orang lain lihat tentang kita. Bagaimana penampilan
saya, apa yang orang katakan, bagaimana prestasi saya, bagaimana pekerjaan saya,
status saya. Kita khawatir bagaimana orang melihat kita.
Di tengah hidup seperti ini, bagaimana kita bisa mendengar suara Tuhan?
Bagaimana kita bisa menemukan apa yang Tuhan mau? Kita hanya terus terseret
dengan berbagai hal… dan tidak ada lagi waktu untuk mendengar suara Tuhan. Itu
hidup kita.
2. Unfulfilled (tidak puas atau hampa)
Di dalam kesibukan begitu rupa, banyak orang bertanya untuk apa semua yang
dia lakukan. Walaupun hidupnya seperti baik-baik saja, ada pekerjaan, ada uang,
ada status, ada keluarga, semua ada, tapi dia kehilangan arti dari semuanya.
Hidup kita seperti roda yang berputar terus dengan cepat. Hari ini kerja, besok
harus kerja lagi. Hari ini urus masalah, besok juga urus masalah lagi. Putaran
terus berjalan, dan kita harus ikut terus, seringkali tanpa kita tahu buat apa
semuanya. Makin ikut, makin lama makin merasa kosong.
Dampaknya banyak orang hari ini hidup kesepian. Kesepian bukan karena tidak
ada orang. Tapi kesepian karena makin renggangnya hubungan antar manusia. Antara
suami dan istri, orang tua dan anak, rekan2 kerja, teman2 gereja. Masing2 kita
hidup dalam dunia sendiri, sibuk sendiri, banyak orang di sekitar kita, tapi
kita kesepian. Kita mungkin hang out, jalan2, pergi persekutuan,
pelayanan, tapi tetap kita kesepian. Hidup seperti ini sangat terasa kosong. Ada
kegelisahan dalam diri kita, merasa ini tidak benar, merasa ada sesuatu yang
lain yang kita inginkan, tapi tidak tahu apa dan bagaimana. Hidup kita
restless.
3. Saya tambahkan ciri yang ke-3 dari hidup orang modern: hidup kita penuh
dengan luka.
Kita makhluk yang selalu bereaksi. Ketika ditekan, kita bereaksi. Mungkin
dengan marah - kita melawan dan membalas. Atau mungkin hanya dengan memendam
kemarahan, atau dengan menangis, atau dengan ketakutan. Reaksi apapun yang kita
lakukan, hasilnya adalah kita terluka.
Ketika kita merasa hidup kita kosong, kesepian, kita akan bereaksi. Mungkin
dengan mencari kenikmatan apa saja, cari teman2 hang out sampai larut
malam, pergi ke pesta demi pesta. Atau mungkin kita beli barang lebih banyak,
makan lebih banyak, apa saja yang kita pikir bisa membuat kita puas.
Lebih parahnya, salah satu pelarian kita adalah dosa. Setan tahu sekali bagaimana
menggunakan kelemahan kita. Waktu kita terlalu penuh dengan kesibukan,
kepanikan, khawatir, tidak bisa mendengar suara Tuhan, di situ dia bersuara.
Ketika kita rasa tidak puas, hampa, kosong, di situ dia tawarkan sesuatu yang
terlihat bermakna, memberi kepuasan. Ketika kita sedang banyak luka, di situ dia
tawarkan obat membalut luka kita dengan racun yang lebih menyakitkan. Maka kita
jatuh dalam dosa. Dan makin kita berdosa, makin kita rasa kosong. Makin rasa
kosong, makin mudah kita jatuh lagi dalam dosa. Putarannya terus seperti itu.
Apa yang harus kita lakukan dengan hidup seperti ini? Maka salah satu
disiplin rohani untuk menolong diri kita adalah Retreat.
Retreat artinya mundur. Kita keluar dulu
dari putaran hidup yang cepat ini, Keluar dulu dari hidup yang terlalu penuh.
Keluar dulu dari hidup yang terasa kosong. Keluar dulu membawa luka2 kita. Maka
saya kira gambaran yang tepat untuk Retreat adalah “A Resting
Place” - tempat istirahat.
Hidup kita sehari2 adalah medan perang, dimana kita tegang, panik, dihajar
kiri kanan, ditembaki terus. Maka ketika kita sudah sangat lelah, butek, tidak
tahu lagi harus berbuat apa, tidak tahu bahkan harus menembak kemana, sementara
tubuh sudah lemah dan penuh dengan luka, di saat itulah yang perlu kita lakukan
adalah kembali ke markas. Di situ kita mengalami ketenangan. Kita diobati dulu
lukanya. Kita diajak memikirkan ulang strategi, diajak melihat dari perspektif
yang benar bagaimana berperang. That’s a resting place, tempat
istirahat.
Atau pakai gambaran lain. Hidup kita sehari2 adalah padang gurun. Kita
seperti seorang musafir yang berjalan melewati padang gurun itu, di situ kita
kepanasan, kelelahan, kurang minum dan makan, kita bertemu dengan binatang buas,
kita mengalami luka2. Sekarang kita sampai di sebuah tempat yang indah, di
pinggir sungai yang tenang. Di situ kita mandi, makan, diobati lukanya, tidur di
tempat yang tenang, ranjang yang empuk, cuaca yang sejuk. That’s a
resting place, tempat istirahat.
Harusnya kita merindukan tempat istirahat itu. Kita orang yang kelelahan,
kita orang yang penuh luka, dan merindukan tempat istirahat. Dan Retreat, tempat
istirahat itu, bukan sekedar seperti markas tentara, bukan sekedar tempat
penginapan yang enak bagi musafir, tapi tempat istirahat itu adalah di pelukan
Yesus.
Seorang penulis mengatakan begini: Tuhan bisa merawat kita atau Dia
bukan Tuhan sama sekali. Apakah Tuhan hanya Tuhan pada waktu yang baik
dan bukan Tuhan di lembah kekelaman? Apakah Dia hanya menjadi Tuhan ketika kita
merasa semuanya baik, penuh anugrah, ada tongkatnya nyata, dan kalau kita perang
langsung menang dan ada pesta di medan perang? Kita hanya percaya Tuhan yang
adalah Tukang Sulap agung (Great Magician) dan bukan Tabib yang Agung (Great
Physician).
Hidup kita mengikut Tuhan tidak lepas dari masalah. Kita tidak bisa harapkan,
ikut Tuhan semua beres. Ini dunia berdosa dan kita lemah. Maka kita bisa
kelelahan, hilang arah, luka. Kita bisa marah, kita bisa berdosa, kita bisa
menyerah. Tapi Tuhan mau merawat kita, menolong kita, menyembuhkan kita, di
pelukanNya.
Tetapi seringkali kita, orang yang sudah sangat cape dan penuh luka ini, hanya
datang ke Tuhan untuk cepat2 ambil air cuci muka, lalu balik lagi. Kita baca
cepat2 Alkitab, doa cepat2, dengar Tuhan bicara cepat2, semua serba cepat seperti itu.
Tuhan tidak sempat mengobati kita, menyembuhkan kita, merawat kita. Kapan kita
biarkan Dia merawat kita?
Itu sebabnya waktu di Indonesia, saya dan istri mendisiplin diri untuk setiap
bulan 1X pergi Retreat pribadi (biasanya hanya 1 malam saja). Kami pergi ke rumah doa di Lembang (Saya pernah menulis review tentang rumah doa di Lembang itu di sini).
Kami hanya lakukan beberapa hal di sana: Pertama, baca buku.
Kami membawa 1 buku sebagai bahan perenungan (saya suka membaca buku A.W. Tozer atau Marva Dawn atau Eugene Peterson), lalu kami baca dengan perlahan
sambil direnungkan. Tidak harus baca habis, hanya baca lalu renungkan, sambil
bercermin, sambil berdoa bertanya apa yang Tuhan katakan.
Kedua, kami masuk ke kamar doa dan berdoa. Kadang sambil
membaca Alkitab, mendengar suara Tuhan, kadang sambil menyanyi, atau kadang
sambil menulis saya mengevaluasi hidup dan berdoa minta Tuhan tunjukkan dimana
yang salah, lalu kemana saya harus melangkah, dsb.
Ketiga, ngobrol tentang berbagai hal dalam kehidupan rohani.
Kami duduk ngobrol sambil minum kopi di tengah udara yang sejuk. Kadang kami
ngobrol sambil jalan2 keluar, sambil perhatikan alam, perhatikan yang kecil2,
lihat keindahan, sambil bersyukur kepada Tuhan.
Ketika kami rasa cukup, mulai lagi baca lagi, doa lagi, lalu ngobrol lagi.
Terus seperti demikian. Waktu2 seperti itu sangat meneduhkan dan memberi
kekuatan. Itulah Retreat. Itulah a resting place, di pelukan
Yesus.
Beberapa saran saya:
1. Disipinkan diri untuk Retreat pribadi. Alangkah baiknya jika ada tempat retreat yang cukup dekat. Tetap pergi walaupun sedang tidak
ingin pergi. Tetap pergi waktu kita merasa semua baik-baik saja.
2. Kalau kita tidak punya kesempatan atau tidak ada tempat retreat yang cukup dekat, pakai waktu seminggu sekali atau
sebulan sekali khusus untuk ambil waktu yang panjang - sediakan waktu misalnya 4-5 jam supaya tidak terburu-buru. Bisa di rumah, bisa di
taman, bisa di café, tapi sediakan waktu tenang yang cukup panjang. Waktu itu diisi dengan membaca Alkitab, membaca buku
perenungan, berdoa, menulis jurnal, dan mengevaluasi kehidupan.
Kita semua butuh itu. Biarkan Tuhan merawat kita di resting place, di
pelukan-Nya.