Salah satu “gambar” yang saya tangkap dengan kuat waktu sekolah teologi dulu adalah
gambaran
pengkhotbah keliling. Menjadi hamba Tuhan yang berkhotbah kemana-mana,
diundang kemana-mana, mengadakan KKR, seminar, dan berkhotbah dalam kebaktian di
banyak gereja, kota dan negara. "Gambar" itu, jujur, membentuk saya.
Saya menikmati ketika diundang berkhotbah ke berbagai gereja, persekutuan,
pergi ke berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Saya menikmati melihat
berbagai hal yang berbeda di banyak gereja dan kota itu dan belajar banyak hal
melaluinya. Saya menikmati berkenalan dengan banyak orang, pemuda, majelis,
hamba Tuhan di berbagai tempat itu. Saya menikmati “the feeling”.
Terlepas dari dosa yang mungkin masuk (senang dengan popularitas,
“celebrity-like” feeling, dan berbagai kenyamanan lainnya), tapi menjadi
pengkhotbah keliling memang banyak nilai positif nya. Saya ingat seorang dosen
saya berkata bahwa jika ingin memberikan pengaruh yang besar pada kekristenan di
Indonesia, saya harus menjadi pengkhotbah keliling. Makin sering saya
berkhotbah, makin banyak tempat yang saya kunjungi, maka saya akan makin
terkenal (tentu dengan catatan kalau khotbahnya bagus). Dan keterkenalan itu
bukan untuk diri saya sendiri tetapi supaya saya makin bisa memberikan pengaruh
positif kepada kekristenan di Indonesia (tentu dengan catatan kalau memang
pengaruh yang saya berikan positif). Kalau orang tidak mengenal saya, bagaimana
orang akan mendengar ketika saya menyampaikan sesuatu? Kalau dipikir, benar
juga!
Maka saya dibesarkan sebagai seorang hamba Tuhan dengan “gambar” seperti itu.
Saya tidak pernah dibentuk dengan “gambar” seorang gembala. Seorang hamba Tuhan
yang mengajar jemaatnya dengan Firman Tuhan, bukan hanya melalui khotbah tetapi
juga melalui percakapan sehari-hari. Seorang hamba Tuhan yang seperti seorang tukang bangunan meletakkan
fondasi dan membangun jemaatnya, seperti seorang tukang kebun yang menabur dan
menyirami kebun hati jemaatnya. “Gambar” itu tidak pernah diajarkan dan
dibicarakan kepada saya. Tapi entah darimana, perlahan-lahan, “gambar” gembala
itu yang menjadi lebih kuat bagi saya daripada “gambar” pengkhotbah keliling. Itu berarti, ada yang harus saya tinggalkan.
Maka saya ingat waktu itu, setelah beberapa tahun saya berkhotbah keliling ke berbagai tempat, perlahan-lahan saya
mulai menguranginya. Bukan hanya saya lelah, tapi saya merasa
mengabaikan jemaat yang Tuhan percayakan kepada saya. Ada banyak hal, terlalu
banyak hal, yang harus saya lakukan kepada dan bersama dengan mereka. Hati saya jauh lebih rindu melayani sekelompok jemaat dengan Firman Tuhan, dan itu artinya berkhotbah berulang-ulang kepada mereka (membawakan 1 khotbah di banyak tempat, sangat berbeda dengan membawakan khotbah yang terus berbeda di 1 tempat),
memberi waktu lebih banyak untuk mereka, mendengar keluhan mereka,
mempersiapkan hati mereka supaya Firman Tuhan bisa bertumbuh di dalamnya –
daripada menabur terus menerus benih Firman Tuhan di banyak tempat.
Ketika bicara soal pelayanan “penggembalaan” banyak orang hanya berpikir
tentang pergi membesuk dan mendoakan. Atau memberikan konseling, menghibur dan
menguatkan. Tapi saya kira penggembalaan jauh lebih besar dari itu. Setiap
manusia, dengan pengalaman yang berbeda, bentukan keluarga yang berbeda,
karakter yang berbeda, punya benteng yang berbeda menghalangi pengenalan akan
Tuhan. Penggembalaan adalah usaha mendobrak benteng itu supaya Firman Tuhan bisa
menerobos masuk. Penggembalaan adalah menggemburkan tanah yang berbatu dan
kering supaya Firman Tuhan bisa bertumbuh di situ. Itu artinya bukan hanya
menghibur dan menguatkan, tapi menegur, menasihati, mengarahkan, menunjukkan
kesalahan, memberikan pujian, mendoakan, melatih, bercerita tentang pekerjaan
Tuhan, memberikan teladan, menyatakan kasih sayang, dst..dst.. Berapa banyaknya waktu, tenaga, usaha, harus dicurahkan untuk itu? Kadang semua
dilakukan seperti tanpa hasil, tapi perlahan-lahan, tanah itu mulai gembur dan
tanpa kita tahu benih Firman Tuhan itu sudah bertumbuh. Hati saya ada di situ.
Ada orang yang bingung kenapa saya sering menolak undangan khotbah, kenapa
saya nggak mau diundang ke negara itu, kenapa saya kurang “terkenal” (padahal ya iya lah... hehehe…). Ada yang menasihati saya supaya berani bermimpi lebih besar dan bukan hanya jadi "jago kandang" - maksudnya hanya dikenal di kalangan terbatas. Saya melatih diri untuk terus bermimpi, and believe it or not, mimpi saya lumayan besar. Hanya saja caranya yang mungkin berbeda dari yang biasa dilakukan orang.
Tetapi saya rindu bisa berkata seperti Paulus, “bahwa aku,…siang malam,
dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan
air mata” (Kis 20:31). Siang malam, tiada hentinya, menjadikan diri sebagai lilin yang terus terbakar. Siang malam, tiada hentinya, menggembalakan domba Tuhan. Saya masih jauuuuhhhh…. dari Paulus, jauh dari apa yang dia lakukan itu, apalagi
dari sempurna… Tapi saya rindu melalui pekerjaan kecil yang saya lakukan ada hal besar yang terjadi. Pernah dengar "Think globally, act locally"? :-)
Sekarang ini saya sedang dalam masa studi, jelas saya berhenti khotbah
keliling karena panggilan utama saat ini adalah studi. Tapi saya tidak
berhenti berusaha menggembalakan orang-orang di sekitar saya di GKY Singapore dan GKY Green Ville, walaupun pasti dengan sangat terbatas dan penuh
kekurangan.
Disclaimer:
(1) Tidak ada yang salah dengan pelayanan pengkhotbah keliling - tiap minggu ke tempat yang berbeda. Betapa banyaknya berkat yang
diterima oleh orang Kristen, khususnya di daerah-daerah tertentu, melalui
pelayanan pengkhotbah keliling. Diberkatilah mereka yang melakukannya! Saya
hanya merasa bukan itu panggilan saya untuk sementara ini. Entah nanti.
(2) Saya yakin saya masih harus terus berkhotbah keliling. Berkhotbah keliling, bukan saja menjadi berkat bagi
kelompok orang-orang Kristen lain, tetapi juga akan terus membuka pikiran saya
dalam belajar banyak hal. Maka ya, ini tetap pelayanan yang akan saya
kerjakan, walaupun dengan frekuensi yang terbatas.
Satu hal yang ingin saya tekankan adalah: Panggilan Tuhan bagi kita sering
menjadi tidak jelas karena berbagai tawaran menarik dan juga karena keinginan
kita –yang disusupi dosa- untuk hidup semau kita. Kita tidak lagi bertanya apa panggilan Tuhan bagi saya saat ini. Sebaliknya, kita mendengar berbagai tawaran yang menarik, mungkin popularitas, uang, kenyamanan, gengsi, dan kita membiarkan hidup kita disetir dengan itu semua. Pernahkah kita bertanya mengapa saya ingin menjadi ini atau itu? Mengapa saya ingin mengerjakan ini atau itu? Betulkah karena panggilan Tuhan?
Mari gumulkan baik-baik
panggilan Tuhan bagi kita masing-masing. Bagian setiap kita adalah
mengerjakan panggilan Tuhan yang saat ini. Nanti mungkin lain, tapi saat ini apa panggilan Tuhan? Gumulkan, doakan, kerjakan dengan
sungguh-sungguh. Kalau gagal, tidak apa.. siapa sih yang nggak pernah gagal…
tapi kembali lagi, coba lagi, sungguh-sungguh lagi. Jangan biarkan hidup kita
hanya diatur oleh apa yang “menarik” bagi kita.
NB: Saya juga pernah menulis mengenai pelayanan penggembalaan di sini dengan judul "Pastoring is Not for the Faint-Hearted."