(Tulisan di bawah ini saya buat sebagai bahan saat teduh untuk Retreat GKY Green Ville "Invitation to A Journey" 21-23 Juni 2007)
Mengikut Yesus adalah sebuah pilihan hidup. Makin lama mengikut Yesus kita akan makin sadar hal itu.
Dalam percakapan dengan beberapa orang yang sedang bergumul untuk menjadi hamba Tuhan, saya sering mendengar bahwa masalah yang memberatkan mereka adalah "menjadi hamba Tuhan berarti tidak menjadi kaya dalam materi".
Ada dua hal yang sangat mengganjal bagi saya. Pertama, mengapa perlu bergumul berat untuk hal itu? Bukankah aneh mengikut Tuhan harus ditimbang dengan materi? Kedua, mengapa pergumulan ini sepertinya khas pergumulan ‘menjadi hamba Tuhan’? Bukankah Yesus memanggil SETIAP ORANG yang mau mengikut Dia untuk menyangkal diri dan memikul salib? Bukankah Yesus memanggil SETIAP ORANG yang mau mengikut Dia untuk membayar harga mengikut Dia sekalipun sampai kehilangan nyawa? Dan bukankah SETIAP ORANG itu berarti SEMUA!? Lalu mengapa hanya pergumulan menjadi hamba Tuhan yang identik dengan pergumulan untuk hidup sederhana, hidup kudus, menderita, taat kemanapun Tuhan suruh, sementara menjadi pengusaha, karyawan, profesional dan lain-lain tidak harus bergumul seperti demikian?
Tidak heran banyak orang Kristen yang merasa bisa sembarangan mengikut Yesus, kecuali menjadi hamba Tuhan. Dan banyak hamba Tuhan juga merasa bisa sembarangan mengikut Yesus karena sekedar sudah menjadi hamba Tuhan.
Mau tidak mau harus kita akui bahwa kita banyak dibesarkan dengan nilai-nilai dunia. Dan bahkan sampai saat ini, promosi nilai-nilai dunia itu terus membombardir kita:
“Hidup yang baik itu adalah kaya, mapan, terhormat”
“Bangga sekali kalau punya simbol-simbol kesuksesan seperti: mobil mewah, rumah mewah, gaya hidup glamour”
atau bahkan dalam pelayanan sekalipun:
“Dipuji orang, dibutuhkan, punya jabatan, itulah pelayanan yang diberkati”
Darimana kita belajar itu? Dari dunia! Maka sebenarnya bukan Firman Tuhan tetapi nilai-nilai dunia yang membentuk kita. Dan yang sangat menyedihkan, berapapun seringnya kita mendengar Firman Tuhan, nilai-nilai dunia itu terus kita simpan di tempat yang aman dalam hati kita. Kita lindungi itu. Kita tidak membiarkan bagian itu disentuh dan diubah oleh Tuhan. Kita mengatakan bahwa kita percaya kepada Tuhan, mengasihi Tuhan, ingin menyenangkan Tuhan, tapi dalam hati tetap mengatakan:
“Saya mau ini Tuhan”
“Aduh enaknya kalau begitu Tuhan”
“Jangan berikan itu Tuhan!”
“Jangan sampai saya kehilangan ini Tuhan”
Maka kapan sebetulnya kita sungguh mengikut Yesus? Itulah sebabnya banyak orang Kristen hidup tidak ada bedanya dengan orang yang bukan Kristen.
"Memiliki hidup dalam segala kelimpahannya" adalah janji Tuhan Yesus bagi mereka yang mengikuti Dia. Tetapi mengikut Yesus bukan hanya menjadi orang Kristen dan sekedar ‘lumayan’ dan ‘kadang-kadang’ taat. Mengikut Yesus adalah mengarahkan mata kepada Dia dan membutakan diri terhadap yang lain, mengarahkan telinga kepada suaraNya dan menulikan diri terhadap suara lain, dan itu kita lakukan setiap hari. Bukankah Dia adalah Tuhan, Mesias dari Allah, bagi kita?
Saya akan mengakhiri dengan sebuah doa yang saya cuplik dari doa Henry Nouwen:
Pilihan untuk mengikuti jalanMu harus kubuat setiap saat dalam hidupku. Aku harus memilih pikiran yang adalah pikiranMu, kata-kata yang adalah sabdaMu, tindakan-tindakan yang adalah karyaMu. Tidak ada tempat dan waktu tanpa pilihan.
Aku sungguh ingin mengikutiMu, tetapi juga mau mengikuti keinginan-keinginanku sendiri dan senang mendengarkan suara-suara yang berbicara mengenai kedudukan, keberhasilan, kehormatan, kesenangan, kekuasaan dan pengaruh. Bantulah aku, agar aku menjadi tuli terhadap suara-suara seperti itu dan semakin peka mendengarkan suaraMu yang memanggil aku…
Apakah itu juga adalah doa kita? Dengarlah kalimat Yesus: “Setiap orang yang mau mengikut AKu, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya”.
Wednesday, June 27, 2007
Saturday, June 16, 2007
Lukas 8:4-15
Tulisan di bawah ini saya buat sebagai bahan saat teduh untuk Retreat GKY Green Ville "Invitation to A Journey" 21-23 Juni 2007
Mungkin sudah bertahun-tahun kita menjadi orang Kristen. Entah sudah berapa banyak ayat Alkitab yang kita baca dan entah berapa ratus atau bahkan berapa ribu penjelasannya (khotbah) yang kita dengar. Tetapi seperti perumpamaan yang disampaikan Yesus, semua benih yang ditabur itu akan menjadi percuma kalau tidak jatuh pada tanah yang baik.
Kita sering mendengar orang mengatakan bahwa masalah paling utama bukanlah berapa banyak yang didengar tapi berapa banyak yang dilakukan. Saya setuju! Tetapi cara berpikir seperti ini juga seringkali membuat kita hanya menekankan ‘tindakan melakukan’ Firman Tuhan. Dan ini bisa berdampak serius.
Misalnya ketika kita membaca ‘kasih itu sabar, kasih itu murah hati…’. Kita akan berjuang untuk terlihat sabar sekalipun marah, dan berjuang untuk terlihat murah hati walaupun tidak rela. Lalu kita rasa kita sudah melakukan Firman Tuhan.
Demikian pula kita akan menghitung apakah kita sudah berdoa, ke gereja, pelayanan, memberikan persembahan, dll. Dan kalau kita sudah melakukannya, kita akan merasa puas, merasa sudah bertumbuh. Padahal kita tidak pernah bertumbuh.
Dalam hal ‘tindakan melakukan’, yang paling hebat mungkin adalah orang Farisi. Tetapi jangan lupa, mereka justru ditegur Yesus! Mereka tidak bertumbuh sekalipun melakukan semuanya. Mereka hanya memasang kuk yang tidak enak dan beban yang berat atas pundak mereka dan orang lain.
Seperti berbuah adalah keharusan, melakukan Firman adalah keharusan. Tetapi jangan lupa ada proses dari benih sampai menjadi buah: benih itu harus ‘masuk’ benar ke tanah, berakar perlahan ke bawah dan bertumbuh perlahan ke atas. Demikian pula ada proses dari ‘mendengar’ Firman ke ‘melakukan’ Firman.
Dengan menggunakan analogi yang sama, minimal ada 3 hal yang harus kita perhatikan:
Firman yang didengar itu harus ‘masuk’ benar ke dalam kita. Bagaimana caranya? Mungkin ilustrasi berikut dari Eugene Peterson bisa membantu. Seekor anjing yang mendapat tulang akan menggigitnya, mengunyahnya, menjilatnya dan kadang menggeram dengan puas. Dia menikmatinya dan tidak terburu-buru menghabiskannya. Yes 31:4 memakai gambaran yang sama: “Seperti seekor singa…menggeram untuk mempertahankan mangsanya”. Istilah menggeram di situ menggambarkan singa yang sedang menikmati mangsanya. Dan yang menarik adalah, istilah yang sama dipakai dalam Mzm 1 dan diterjemahkan ‘merenung’. “Berbahagialah orang" yang “kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan merenungkannya siang dan malam”.
Bayangkan seperti seekor anjing yang begitu menikmati tulang, menggigit, mengunyah, menjilat, dan kadang menggeram dengan puas, atau seperti singa yang begitu menikmati mangsanya, demikianlah kita menikmati Firman Tuhan! Apakah itu yang kita alami waktu mendengar dan membaca Firman?
Kita harus membersihkan tanah itu dari batu dan semak duri. Ini sama sekali bukan pekerjaan yang gampang. Ada dosa, kekhawatiran, kekerasan hati, kepahitan, semua itu satu-persatu harus kita bawa kepada Tuhan untuk dibersihkan. Kita menyediakan tanah yang subur untuk benih itu bertumbuh.
Dan akhirnya, sabar membiarkan Tuhan bekerja. Tidak ada pertumbuhan yang bisa dipercepat. Satu-satunya yang bisa kita lakukan dengan lebih cepat adalah merusak pertumbuhan itu sendiri. Kita hanya membiarkan Tuhan bekerja dalam diri kita. Dan maksud saya adalah sungguh-sungguh MEMBIARKAN Tuhan bekerja. Jangan halangi dengan dosa, jangan halangi dengan ketidak taatan kita, jangan halangi dengan kemalasan kita!
Kita akan melihat buah itu keluar. Melakukan Firman Tuhan bukan lagi sebagai beban tetapi mengalir keluar dari hidup kita. Sebagaimana pohonnya sudah menjadi pohon yang baik, demikianlah buahnya akan baik.
Itu sebabnya Yesus mengatakan “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepadaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan”.
Wednesday, June 13, 2007
Menulis
Menulis bagi saya adalah salah satu disiplin rohani.
Setiap hari ada banyak peristiwa yang kita alami, hal-hal yang kita lihat dan kalimat-kalimat yang kita dengar. Kalau kita menerima semuanya secara biasa saja, maka peristiwa yang kita alami, hal-hal yang kita lihat dan kalimat-kalimat yang kita dengar itu, hanya akan menjadi bagian yang ‘lewat’ begitu saja dalam hidup kita.
Bagi kita yang mengenal Tuhan, gaya hidup seperti ini mungkin adalah gaya hidup yang skizofrenik. Sekalipun Firman Tuhan kita dengar dan pelajari tapi ketika berhadapan dengan berbagai hal dalam kehidupan, pikiran dan perasaan yang seharusnya sudah dipengaruhi Firman Tuhan itu tidak bekerja atau lebih tepatnya tidak diusahakan untuk bekerja.
Cara hidup seperti ini membuat kita tidak bertumbuh. Pikiran kita dan perasaan kita yang seharusnya makin tajam dibentuk oleh Firman, justru kita latih untuk tumpul dan apatis. Dan lebih buruk lagi, karena benteng pikiran dan perasaan kita menjadi tumpul, tanpa kita sadari banyak pengaruh dari luar masuk kepada kita.
Maka selalu bergumul adalah sesuatu yang sangat penting. Ketika kita melihat orang sakit yang bertanya “dimana Tuhan?”, apakah kita secara gampang langsung memberikan jawab “aduh orang ini kurang beriman” atau kita ikut bergumul dengan dia? Ketika kita mengalami peristiwa yang tidak enak dan kita marah, apakah kita hanya merasa “sudah seharusnya saya marah” atau bergumul “mengapa saya marah”? Ketika kita melihat berbagai peristiwa dalam gereja, apakah kita menganggapnya biasa saja, atau mengurut dada saja, atau kita jadi menggumuli kehendak Tuhan? Ketika kita mendengar kalimat-kalimat yang salah atau indah, apakah kita membandingkannya dengan Firman Tuhan?
Saya mencoba bergumul dengan peristiwa yang saya alami, hal-hal yang saya lihat, kalimat-kalimat yang saya dengar. Tidak selalu berhasil karena tidak selalu saya cukup peka dan cukup rajin untuk bergumul. Tetapi saya menemukan bahwa ternyata menulis itu mendorong saya untuk mengingat, mengevaluasi dan merenungkan semua itu dari kacamata Firman Tuhan.
Maka menulis adalah salah satu disiplin rohani untuk melatih pikiran dan perasaan kita bekerja dan bereaksi sesuai dengan Firman Tuhan.
Yuk, latihan menulis! Paling tidak bisa kita lakukan dengan menulis jurnal pribadi, yang isinya bukan hanya catatan kegiatan kita, juga bukan hanya luapan emosi kita, tetapi pergumulan mengerti Firman, pergumulan untuk hidup sesuai dengan Firman Tuhan, dan kesadaran akan anugrah Tuhan yang bekerja dalam hidup kita dan orang-orang di sekitar kita.
Setiap hari ada banyak peristiwa yang kita alami, hal-hal yang kita lihat dan kalimat-kalimat yang kita dengar. Kalau kita menerima semuanya secara biasa saja, maka peristiwa yang kita alami, hal-hal yang kita lihat dan kalimat-kalimat yang kita dengar itu, hanya akan menjadi bagian yang ‘lewat’ begitu saja dalam hidup kita.
Bagi kita yang mengenal Tuhan, gaya hidup seperti ini mungkin adalah gaya hidup yang skizofrenik. Sekalipun Firman Tuhan kita dengar dan pelajari tapi ketika berhadapan dengan berbagai hal dalam kehidupan, pikiran dan perasaan yang seharusnya sudah dipengaruhi Firman Tuhan itu tidak bekerja atau lebih tepatnya tidak diusahakan untuk bekerja.
Cara hidup seperti ini membuat kita tidak bertumbuh. Pikiran kita dan perasaan kita yang seharusnya makin tajam dibentuk oleh Firman, justru kita latih untuk tumpul dan apatis. Dan lebih buruk lagi, karena benteng pikiran dan perasaan kita menjadi tumpul, tanpa kita sadari banyak pengaruh dari luar masuk kepada kita.
Maka selalu bergumul adalah sesuatu yang sangat penting. Ketika kita melihat orang sakit yang bertanya “dimana Tuhan?”, apakah kita secara gampang langsung memberikan jawab “aduh orang ini kurang beriman” atau kita ikut bergumul dengan dia? Ketika kita mengalami peristiwa yang tidak enak dan kita marah, apakah kita hanya merasa “sudah seharusnya saya marah” atau bergumul “mengapa saya marah”? Ketika kita melihat berbagai peristiwa dalam gereja, apakah kita menganggapnya biasa saja, atau mengurut dada saja, atau kita jadi menggumuli kehendak Tuhan? Ketika kita mendengar kalimat-kalimat yang salah atau indah, apakah kita membandingkannya dengan Firman Tuhan?
Saya mencoba bergumul dengan peristiwa yang saya alami, hal-hal yang saya lihat, kalimat-kalimat yang saya dengar. Tidak selalu berhasil karena tidak selalu saya cukup peka dan cukup rajin untuk bergumul. Tetapi saya menemukan bahwa ternyata menulis itu mendorong saya untuk mengingat, mengevaluasi dan merenungkan semua itu dari kacamata Firman Tuhan.
Maka menulis adalah salah satu disiplin rohani untuk melatih pikiran dan perasaan kita bekerja dan bereaksi sesuai dengan Firman Tuhan.
Yuk, latihan menulis! Paling tidak bisa kita lakukan dengan menulis jurnal pribadi, yang isinya bukan hanya catatan kegiatan kita, juga bukan hanya luapan emosi kita, tetapi pergumulan mengerti Firman, pergumulan untuk hidup sesuai dengan Firman Tuhan, dan kesadaran akan anugrah Tuhan yang bekerja dalam hidup kita dan orang-orang di sekitar kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)