
Bagaimanapun bagusnya, istilah itu sudah menjadi technical term untuk menunjuk suatu kegiatan. Dan celakanya kegiatan yang kita maksud biasanya adalah: membaca artikel renungan harian (baik lewat buku ataupun online)! Kita bisa lakukan itu sambil duduk di MRT (buat yang di Singapore), sambil berdiri berdesakan di bis, atau via iPhone di kantor sambil menunggu komputer start-up. Maka kalau kita ditanya, "Apakah sudah bersaat teduh?", asalkan kita sudah membaca artikel itu, kita akan berkata "Sudah!"
Beberapa hal yang perlu kita pikirkan ulang:
1. Saat teduh isinya adalah membaca Alkitab dan berdoa. Lebih dalam lagi, saat teduh adalah waktu khusus berkomunikasi dengan Tuhan. Kita berbicara kepada-Nya dan mendengar suara-Nya. Kita bersekutu dengan Dia. Mengapa lalu ini diganti dengan membaca artikel renungan? Mengapa tidak lebih baik baca 1 ayat Alkitab, meresapi ayat itu, dan kemudian berdoa kepada Tuhan? Jangan salah mengerti, saya tidak anti buku saat teduh atau artikel-artikel renungan online. Tapi apa yang ada di dalam artikel2 seperti itu adalah renungan seseorang akan ayat Alkitab. Kita boleh membacanya untuk menolong kita juga merenungkan Alkitab tapi bukan merenungkan artikelnya! Dan coba tanya ulang pertanyaan yang paling dasar di dalam saat teduh, apakah kita berkomunikasi dengan Tuhan?
2. Membaca buku renungan di bis atau artikel renungan online tidak salah. Tapi benarkah kita menemukan keteduhan? Diam, tenang, cari wajah Tuhan dan menerima damai-Nya? Benarkah itu adalah saat yang T-E-D-U-H bagi kita?
Sekali lagi, tidak apa kita memakai buku saat teduh, tapi mari pikir dulu bagaimana buku saat teduh itu atau artikel renungan online itu membantu kita berkomunikasi dengan Tuhan dan teduh di kaki-Nya.
Mari ber-saat teduh lagi! Benar-benar ber-saat teduh!
Maka lain kali waktu kita ditanya, "Apakah sudah bersaat teduh?" kita bisa menjawab dengan tersenyum, "Sudah!"