Saya baru saja selesai membaca buku ini. Kesaksian seorang wanita dari awal abad 20 yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, meninggalkan Tuhan menjadi atheis dan kembali kepada Tuhan, dan akhirnya menjadi misionaris di antara suku Lisu di provinsi Yunnan, China.
Isobel menulis dengan sangat menarik, sederhana dan jujur. Apa yang dia ceritakan adalah pengalaman sehari-hari, dia seorang muda biasa dengan ketakutan waktu melayani, kesadaran akan keterbatasannya, kekhawatiran akan masalah keuangan, kesukaan dengan hal-hal yang ceria, dan sebagainya. Tapi yang juga sangat mengesankan bagi saya adalah bagaimana hubungannya dengan Tuhan. Tidak ada yang terlalu 'istimewa', tidak ada mukjizat yang luar biasa - laut terbelah, guntur menggelegar setiap kali berdoa, orang mati dibangkitkan - tetapi dia mencari Tuhan dengan sepenuh hati dan Tuhan membimbing dia dengan caraNya yang lembut.
Satu lagi yang luar biasa, dia dikelilingi dan menemukan banyak orang saleh di dalam hidupnya. Orang-orang yang hatinya untuk Tuhan, berdoa dengan sungguh kepada Tuhan, mau menolong walaupun tidak punya uang, beriman kepada Tuhan, dan orang-orang seperti itu mewarnai hidupnya. Dia sendiri akhirnya juga menjadi orang yang seperti demikian.
Membaca kisahnya membuat saya 'kepengen', mungkin lebih tepatnya 'iri', untuk menemukan hal yang sama. Saya ingin bisa seperti itu salehnya. Dan saya ingin bisa menemukan lebih banyak orang-orang yang seperti itu salehnya di sekeliling saya. Istri saya menularkan kerinduan ini kepada saya. Dia berkata dia ingin GKY Singapore bukan hanya dipenuhi orang-orang baik tapi juga orang-orang saleh. Saya juga menginginkan itu, baik untuk saya sendiri dan istri, maupun juga banyak jemaat di GKY Singapore. Sudah beberapa hari ini - dan entah sampai kapan - ini menjadi pokok doa saya.
Isobel Kuhn mengakhiri buku ini dengan kisah keberangkatannya menjadi misionaris di China di tahun 1928. Pada waktu ia bertangis-tangisan dengan orang-orang yang selama itu dia layani, di atas kapal yang akan membawanya ke China itu dia berdoa, "Tuhan, berikan aku satu kata terakhir yang tidak akan mereka lupakan". Dan kemudian dia berteriak kepada mereka yang mengantarnya, "Let us go on!" Dia berkata terang surgawi muncul pada sebagian muka mereka di antara tangisan duniawi, dan di tengah jalan dia menerima telegram dari mereka: "We will go on!"
Terakhir dia mengingatkan kita: So - let us go on - SEARCHING. Mencari Tuhan, menjelajahi kebesaran Tuhan, mencari kehendakNya, mengenal kasihNya dan mengikuti langkahNya.
Let us go on!