Saya membaca paper dari Prof.Takamitsu Muraoka, seorang Jepang yang adalah doktor dalam bahasa Ibrani lulusan Hebrew University of Jerusalem ((Israel) dan pernah mengajar di Manchester University (UK), Melbourne University (Australia), dan Leiden University (Belanda). Dia menyampaikan paper ini di Trinity Theological College (Singapore) tahun 2005.
Di dalamnya dia menceritakan sudut pandang dia, seorang Jepang, akan penjajahan dan kekejaman Jepang di masa lalu dan dampaknya di masa kini. Menarik bagi saya, seorang Indonesia, yang negaranya dulu juga pernah dijajah Jepang dan banyak menerima informasi hanya dari buku-buku sejarah waktu SD-SMA.
Saya tidak pernah mengalami penjajahan Jepang. Maka walaupun saya bisa membayangkan betapa menderitanya dulu orang Indonesia pada masa penjajahan, tapi saya tidak merasakan sedikitpun kebencian atau kepahitan kepada orang Jepang. Dan saya terkejut membaca kisahnya bagaimana dia menemukan kebencian atau mungkin lebih tepat kepahitan kepada bangsa Jepang masih terasa sampai sekarang.
Dia bercerita bagaimana ketika perdana menteri Jepang datang ke Belanda dan meletakkan karangan bunga di sebuah monumen di sana, keesokan harinya dia tidak bisa menemukan satupun berita tentang itu di dua koran berbahasa Jepang yang paling ternama di Belanda (padahal banyak wartawan yang hari itu ikut, tapi tidak ada yang memuatnya dalam berita)! Dia juga bertemu dengan banyak orang Belanda yang pernah disiksa Jepang di Indonesia, dan masih menyimpan kepahitan yang sangat dalam.
Dia mengakui kejamnya tentara Jepang dalam masa perang dunia kedua itu. Dia bahkan mengungkapkan beberapa kisah yang sangat mengerikan, seperti pembangunan jalur kereta yang melintasi hutan Thailand-Burma dan di Indonesia. Berapa banyaknya yang mati disitu dan berapa besarnya penderitaan orang-orang Inggris, Australia, New Zealand, India, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, tidak ada yang tahu. Di bagian-bagian yang paling sulit, dikatakan setiap kayu rel diletakkan dengan memakan 1 nyawa!
Orang-orang Jepang yang sekarang memang tidak bisa disalahkan karena pada waktu peristiwa itu terjadi mereka masih terlalu kecil untuk bertanggung jawab. Tapi satu hal yang menarik, dia berkata "history, even painful history, needs to be remembered, kept in memory, not only by those who caused such pain, but also by those who suffered it." Dia ingin orang mengingatnya bukan untuk membenci tapi mengampuni.
Ada beberapa hal yang dia lakukan:
1. Mengaku bahwa negaranya pernah menyebabkan kehancuran dan penderitaan yang sangat besar, khususnya bagi negara-negara di Asia dan Pasifik. Dia tidak mencari alasan, tapi menawarkan simpati yang tulus bagi setiap korban dan keluarganya.
2. Dia sangat concern dengan negaranya yang sampai hari ini tidak mau menghadapi sejarah kelam itu dengan jujur.
3. Dia memberikan perpuluhan bukan hanya dalam uang tapi juga waktu, dia memberikan 1/10 waktunya, sekitar 5 minggu setiap tahun untuk membagikan ilmunya kepada para teolog dan mahasiswa di negara-negara Asia yang pernah menderita karena bangsa Jepang. Dan dia lakukan itu tanpa menerima imbalan apapun.
Dia bercerita bagaimana dia sering terharu beribadah bersama dengan orang-orang di negara-negara Asia lainnya, karena di antara mereka banyak yang orang tuanya menderita karena bangsa Jepang.
Saya kagum dengan dia. Perang dan kekejaman Jepang di masa lalu bukan salah dia. Tapi dia merasa ikut bertanggung jawab dan dia mau ikut "meminta maaf" dengan caranya sendiri. Alangkah indahnya kalau setiap kita mau belajar bukan saja saling memaafkan tapi juga saling meminta maaf. Tidak harus dengan kata-kata tapi terutama dengan hati dan tindakan.