Natal masih tiga bulan lagi. Tapi justru karena itulah saya menulis ini.
Mudah-mudahan belum
terlambat untuk menjadi bahan pertimbangan.
Banyak gereja dan persekutuan yang mengadakan kebaktian dan perayaan Natal
jauh sebelum atau jauh sesudah tanggal 25 Desember. Mungkin di awal Desember
atau bahkan di akhir November, mungkin di Januari atau bahkan di Februari!
Alasannya? Sangat praktis.
Ada yang beralasan biasanya tanggal 25 Desember banyak jemaat yang tidak
berada di tempat. Bagi gereja di luar negeri, mungkin banyak jemaatnya yang
pulang ke Indonesia. Bagi gereja di dalam negeri, mungkin banyak jemaatnya yang
pergi liburan. Maka untuk menghindari sepinya kebaktian dan perayaan Natal,
solusinya adalah mengadakannya jauh lebih awal. Ada juga yang beralasan
(biasanya berbagai persekutuan – persekutuan keluarga besar, daerah, suku,
kantor, dsb) bahwa periode sekitar Natal semua anggotanya sedang sibuk dengan
kegiatan di gereja masing-masing. Maka supaya mereka mau hadir dan tidak
mengganggu kegiatan gereja, solusinya adalah mengadakannya jauh sesudah periode
Natal.
Di dalam gereja sendiri, berbagai persekutuan rumah tangga dan komisi,
masing-masing juga merayakan Natal. Maka di waktu-waktu sekitar Natal, kadang
kita bisa bercanda: “Udah berapa kali Natal?” atau “Ini Natal yang ke berapa
nih?”
Kita memang tidak tahu pasti kapan tanggal Yesus dilahirkan di bumi (dan
kemungkinan besar memang bukan 25 Desember!). Yesus juga tidak pernah minta
dirayakan ulang tahunnya. Lagipula, mengenang akan inkarnasi Yesus untuk
menyelamatkan kita dan merenungkan kehadiran Yesus yang menjadi terang dunia,
adalah sesuatu yang cocok untuk dilakukan oleh kita setiap saat. Maka tidak ada
yang salah dengan merayakan Natal di bulan November, Februari atau Juli
sekalipun! Tidak ada yang salah juga dengan merayakan Natal berkali-kali!
Tetapi, secara kesatuan orang percaya, saya kira ada baiknya jika semua orang Kristen
fokus merayakan Natal di tanggal 25 Desember. Ada dua alasan:
Pertama, sekalipun 25 Desember bukanlah “hari ulang tahun” Yesus, tetapi
sejak sekitar abad ke-4, mayoritas gereja di seluruh dunia sudah membaptis
tanggal itu menjadi waktu mengingat dan merayakan kelahiran Yesus ke dalam
dunia. Alangkah indahnya berbagi sukacita dengan orang-orang percaya di seluruh
dunia ketika kita merayakan kelahiran Yesus pada waktu yang hampir bersamaan
(hanya masalah perbedaan zona waktu).
Kedua, kalau semua gereja merayakan Natal di tanggal 25 Desember, di belahan
dunia manapun seorang Kristen berada pada tanggal 25 Desember, dia akan bisa
ikut merayakan Natal di situ bersama dengan orang-orang Kristen lainnya.
Bayangkan kasihannya, misalnya ada seorang Kristen dari Jakarta yang harus
bepergian ke Singapore pada tanggal 25 Desember. Di sana dia mencari gereja
Indonesia untuk merayakan Natal dan ternyata gereja itu sudah merayakan Natal
tiga minggu sebelumnya! Bayangkan juga anehnya, misalnya ada seorang Kristen
dari Indonesia yang tinggal di Singapore. Gerejanya di Singapore merayakan Natal
pada minggu pertama Desember. Setelah perayaan Natal disitu, dia pulang ke
Jakarta dan menemukan bahwa minggu berikutnya di gerejanya di Jakarta masih
minggu Advent – mempersiapkan dia menyambut Natal! Kalau dia sangat menghayati
perayaan Natal di gerejanya di Singapore, maka dia akan merasa aneh sekali
karena setelah merayakan Natal sekarang Advent lagi. Kalau dia tidak merasa ada
yang aneh maka mungkin dia memang tidak peduli dengan semuanya. Merayakan Natal
bersama di tanggal 25 Desember mencerminkan kesatuan gereja.
Bagi berbagai persekutuan yang merayakan Natal, baik sebelum atau sesudah 25
Desember, sekalipun secara teologis tidak salah, tetapi sebetulnya agak aneh.
Bukankah anggota persekutuan itu akan atau sudah merayakan Natal di gereja
masing-masing? Mengapa mereka harus sekali lagi mengulang semuanya – biasanya
lagi-lagi lengkap dengan lagu Natal, drama Natal, candle light, dsb? Apa
maknanya?
Demikian pula dengan berbagai komisi di dalam gereja yang merayakan Natal –
biasanya sebelum 25 Desember. Masing-masing juga merayakannya lengkap dengan
semua atribut kebaktian Natal. Lalu apa lagi maknanya perayaan Natal bersama
sebagai gereja di kebaktian Natal gereja? Tidak masalah jikalau ingin
menggunakan momen itu sebagai KKR atau acara khusus untuk mengundang orang belum
percaya, tapi mengapa disebut sebagai kebaktian Natal dan semua atribut acaranya
persis dengan perayaan Natal di gereja (umum)?
Saya mengerti kesulitan gereja-gereja di luar negeri yang banyak jemaatnya
pulang liburan pada waktu Natal tetapi ingin punya waktu merayakan Natal bersama
sebagai gereja. Saya usul supaya tetap menyebutnya sebagai minggu Advent saja.
Silakan ada drama, liturgi khusus, berbentuk KKR, atau apa saja, tetapi tetap
pertahankan itu sebagai minggu Advent. Tetap persiapkan jemaat untuk merayakan
Natal di gereja manapun nanti mereka akan berada dan tetap rayakan Natal pada
tanggal 25 Desember bagi jemaat yang masih tinggal di tempat dan bagi semua tamu
yang datang.
Saya juga mengerti keinginan komisi di dalam gereja dan berbagai persekutuan
lain untuk memanfaatkan momen Natal sebagai waktu yang khusus. Saya usul untuk
menyebutnya sebagai “Persekutuan Khusus Menjelang Natal” (atau ada usulan lain
yang lebih kreatif?).
Maka setiap jemaat, dipersiapkan, mengharapkan, menujukan pandangan ke tanggal 25 Desember, dimana bersama-sama sebagai gereja kita merayakan Natal.
Bagi persekutuan yang mengadakan Natal di bulan
Januari atau Februari, saya usul sebaiknya tidak usah. Lebih baik adakan saja
“Persekutuan Tahun Baru”.
Apa yang saya tuliskan di atas bukan “hukum mutlak” dan saya tidak anti dengan perayaan Natal sebelum/sesudah 25 Desember. Saya juga tidak anti dengan 10X merayakan Natal. Tetapi, paling tidak saya
mohon supaya tulisan ini bisa dipertimbangkan di dalam konteks masing-masing. Selamat
mempersiapkan Natal!
Tuesday, September 23, 2014
Friday, September 05, 2014
Belajar dari Eugene Peterson dan Marva Dawn
Bagi mereka yang cukup teliti mendengarkan khotbah saya, pasti tahu akan
kekaguman saya pada Eugene Peterson dan Marva Dawn. Saya seringkali mengutip
kalimat mereka di dalam khotbah maupun di dalam pembicaraan informal.
Saya menyukai pola berpikir Eugene Peterson, kritis, mendalam, dan mengejutkan! Tulisannya kadang tidak mudah untuk dimengerti karena dia sangat ahli menggunakan bahasa untuk membangkitkan imajinasi. Maka waktu membaca, sering saya harus berhenti dan merenung dulu baru melanjutkan. Bahkan kadang setelah lewat beberapa waktu baru semua terlihat ‘nyambung’ bagi saya.
Saya juga menyukai analisa yang tajam sekaligus pastoral dari Marva Dawn. Marva tidak
menggembalakan gereja manapun tetapi selain pelayanan menulis, mengajar dan berkhotbah, dia terlibat pelayanan secara aktif dalam gereja. Dia pernah melatih paduan suara, mengajar sekolah minggu, dan membina anak-anak remaja dan pemuda. Maka apa yang dia bicarakan dan contoh yang dia berikan sangatlah ‘membumi’.
Beberapa tahun yang lalu saya mulai menyadari bahwa sangatlah banyak (atau bahkan hampir semua) konsep-konsep penting yang saya pegang tentang pelayanan, penggembalaan, bahkan spiritualitas, ternyata berasal dari mereka. Saya tidak pernah belajar semua itu secara formal di sekolah teologi. Saya juga tidak punya role model yang cukup kuat untuk saya bisa belajar mengenai semua itu. Saya bahkan kesulitan menemukan teman diskusi yang pas untuk bicara mengenai semua itu. Tetapi, saya belajar pertama-tama justru melalui membaca banyak buku, khususnya buku mereka berdua.
Saya tidak pernah studi formal di bawah mereka. Saya tidak pernah mengenal atau bahkan bertemu dengan mereka. Tetapi, tanpa mereka tahu dan tanpa saya sadari, mereka sudah menjadi "guru" dan "teman diskusi" bagi saya. Kalau bertemu dengan mereka, saya ingin berkata: “Terima kasih” (dengan bahasa Inggris kalau ketemu di dunia atau dengan bahasa sorgawi kalau ketemu di sorga).
Belum semua buku mereka saya baca. Di bawah ini adalah daftar buku mereka yang, seingat saya, sudah saya baca habis atau paling tidak sebagian besarnya:
Eugene Peterson dan Marva Dawn
The Unnecessary Pastor: Rediscovering the Call
Eugene Peterson
The Contemplative Pastor: Returning to the Art of Spiritual Direction
Reversed Thunder: The Revelation of John and the Praying Imagination
Subversive Spirituality
A Long Obedience in the Same Direction: Discipleship in an Instant Society
Eat This Book: A Conversation in the Art of Spiritual Reading
Leap Over the Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians
Run With the Horses: The Quest for Life at Its Best
Working the Angles: The Shape of Pastoral Integrity
Where Your Treasure Is: Psalms that Summon You from Self to Community
The Pastor: A Memoir
Marva Dawn
I’m Lonely Lord – How Long?: Meditations on the Psalms
Truly the Community: Romans 12 and How to be the Church
Sexual Character: Beyond Technique to Intimacy
The Sense of the Call: A Sabbath Way of Life for Those Who Serve God, the Church and the World
Keeping the Sabbath Wholly: Ceasing, Resting, Embracing, Feasting
Reaching Out Without Dumbing Down: A Theology of Worship for This Urgent Time
Powers, Weaknesses and the Tabernacling of God
Sebetulnya belajar hanya dari membaca buku tidaklah terlalu ideal karena buku berbeda dengan teman diskusi yang hidup. Tetapi, paling tidak, setelah kita membaca buku, merenungkannya, mencoba menjalankannya, kemudian ditambah dengan menemukan di sana-sini "guru" dan "teman diskusi" yang jauh dari sempurna, we will still learn a lot of things!
NB: Btw, saya baru sadar sangat sedikit dari daftar buku-buku di atas yang sudah saya review di blog ini.
Saya menyukai pola berpikir Eugene Peterson, kritis, mendalam, dan mengejutkan! Tulisannya kadang tidak mudah untuk dimengerti karena dia sangat ahli menggunakan bahasa untuk membangkitkan imajinasi. Maka waktu membaca, sering saya harus berhenti dan merenung dulu baru melanjutkan. Bahkan kadang setelah lewat beberapa waktu baru semua terlihat ‘nyambung’ bagi saya.
Saya juga menyukai analisa yang tajam sekaligus pastoral dari Marva Dawn. Marva tidak
menggembalakan gereja manapun tetapi selain pelayanan menulis, mengajar dan berkhotbah, dia terlibat pelayanan secara aktif dalam gereja. Dia pernah melatih paduan suara, mengajar sekolah minggu, dan membina anak-anak remaja dan pemuda. Maka apa yang dia bicarakan dan contoh yang dia berikan sangatlah ‘membumi’.
Beberapa tahun yang lalu saya mulai menyadari bahwa sangatlah banyak (atau bahkan hampir semua) konsep-konsep penting yang saya pegang tentang pelayanan, penggembalaan, bahkan spiritualitas, ternyata berasal dari mereka. Saya tidak pernah belajar semua itu secara formal di sekolah teologi. Saya juga tidak punya role model yang cukup kuat untuk saya bisa belajar mengenai semua itu. Saya bahkan kesulitan menemukan teman diskusi yang pas untuk bicara mengenai semua itu. Tetapi, saya belajar pertama-tama justru melalui membaca banyak buku, khususnya buku mereka berdua.
Saya tidak pernah studi formal di bawah mereka. Saya tidak pernah mengenal atau bahkan bertemu dengan mereka. Tetapi, tanpa mereka tahu dan tanpa saya sadari, mereka sudah menjadi "guru" dan "teman diskusi" bagi saya. Kalau bertemu dengan mereka, saya ingin berkata: “Terima kasih” (dengan bahasa Inggris kalau ketemu di dunia atau dengan bahasa sorgawi kalau ketemu di sorga).
Belum semua buku mereka saya baca. Di bawah ini adalah daftar buku mereka yang, seingat saya, sudah saya baca habis atau paling tidak sebagian besarnya:
Eugene Peterson dan Marva Dawn
The Unnecessary Pastor: Rediscovering the Call
Eugene Peterson
The Contemplative Pastor: Returning to the Art of Spiritual Direction
Reversed Thunder: The Revelation of John and the Praying Imagination
Subversive Spirituality
A Long Obedience in the Same Direction: Discipleship in an Instant Society
Eat This Book: A Conversation in the Art of Spiritual Reading
Leap Over the Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians
Run With the Horses: The Quest for Life at Its Best
Working the Angles: The Shape of Pastoral Integrity
Where Your Treasure Is: Psalms that Summon You from Self to Community
The Pastor: A Memoir
Marva Dawn
I’m Lonely Lord – How Long?: Meditations on the Psalms
Truly the Community: Romans 12 and How to be the Church
Sexual Character: Beyond Technique to Intimacy
The Sense of the Call: A Sabbath Way of Life for Those Who Serve God, the Church and the World
Keeping the Sabbath Wholly: Ceasing, Resting, Embracing, Feasting
Reaching Out Without Dumbing Down: A Theology of Worship for This Urgent Time
Powers, Weaknesses and the Tabernacling of God
Sebetulnya belajar hanya dari membaca buku tidaklah terlalu ideal karena buku berbeda dengan teman diskusi yang hidup. Tetapi, paling tidak, setelah kita membaca buku, merenungkannya, mencoba menjalankannya, kemudian ditambah dengan menemukan di sana-sini "guru" dan "teman diskusi" yang jauh dari sempurna, we will still learn a lot of things!
NB: Btw, saya baru sadar sangat sedikit dari daftar buku-buku di atas yang sudah saya review di blog ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)