Saya sering mencoba memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Bulan lalu waktu
pulang ke Indonesia selama empat hari, saya sempat membaca dua buku biografi.
Sekedar sharing apa yang berkesan bagi saya.
Pertama adalah Martin Luther: Lessons From His Life and
Labor yang ditulis oleh John Piper.
Buku ini bisa di-download di http://www.desiringgod.org/books/martin-luther
Luther adalah seorang pengkhotbah. Setiap minggu dia berkhotbah beberapa
kali, bahkan sering dua atau tiga kali dalam sehari. Itu di luar jadwal dia
mengajar, belajar, menulis dan konseling. Di dalam salah satu doanya dia
berkata, “Tuhan Allah, aku ingin berkhotbah sehingga engkau dimuliakan. Aku
ingin berbicara tentang-Mu, memuji-Mu, memuji nama-Mu. Sekalipun aku mungkin
tidak bisa berkhotbah dengan baik, maukah Engkau menjadikannya baik?”
Luther juga adalah seorang family man, dia tahu beratnya masalah
keluarga. Dia menikah dan memiliki enam orang anak. Salah satu anaknya meninggal
waktu masih kecil. Tetapi di dalam masa dukacita yang besar itu pun, dia tetap
berkhotbah. Pada hari minggu sore, seringkali setelah selesai berkhotbah dua
kali hari itu (dengan khotbah yang berbeda), ia memimpin lagi ibadah keluarga
sepanjang satu jam yang juga dihadiri para tamu.
Luther juga seorang churchman. Dia terlibat dalam hampir semua
kontroversi dan pertemuan gereja di masanya. Selain itu dia menulis banyak
sekali tulisan untuk gereja, hampir satu tulisan setiap dua hari! Selama
bertahun-tahun!
Semua kesibukannya itu tidak menghalangi dia untuk tetap belajar Akitab. Dia
sangat memandang tinggi pentingnya belajar dan mengajarkan seluruh Alkitab
(bukan hanya sebagian) kepada gereja. Luther berkata sangat bahaya jika para
hamba Tuhan berpikir tidak perlu lagi belajar, mereka harus terus belajar
“sampai yakin bahwa mereka sudah mengajar sampai mematikan setan dan sudah lebih
terpelajar daripada Allah sendiri dan semua orang-orang kudus” – yang artinya
tidak akan pernah.
Terakhir, Luther sangat menekankan doa dan bergantung pada anugrah Allah.
Pada tanggal 18 Februari 1546, Luther meninggal dan kalimat terakhirnya yang
dicatat adalah: “Kita adalah pengemis-pengemis. Ini benar.”
Buku kedua yang saya baca adalah John Sung: My Testimony
yang diterjemahkan oleh Ernest Tipson. John Sung boleh dikatakan adalah
pengkhotbah yang paling berpengaruh di Asia Tenggara pada abad ke-20. Buku ini
sudah lama terlupakan dan diedit kembali oleh Michael Poon dan diterbitkan oleh
The Centre for the Study of Christianity in Asia – Trinity Theological College.
Saya tidak tahu dimana buku ini bisa dibeli selain di toko buku online TTC. http://books.ttc.edu.sg/products-page-2/csca-publications/csca-historical-reprints-series/john-sung-my-testimony/
Berbeda dari buku biografi John Sung yang lain, buku ini ditulis oleh John
Sung sendiri (autobiografi). Menarik karena saya jadi membaca tentang kehidupan
John Sung dari sudut pandang dia sendiri – bagaimana masa kecilnya, bagaimana
perjuangannya untuk sampai dan kuliah di USA dan menerima gelar doktor dalam
bidang Kimia, bagaimana kesulitan demi kesulitan (yang super amat besar!) dia
tanggung selama di sana, dan bagaimana akhirnya dia meninggalkan USA untuk
kembali menjadi hamba Tuhan di China.
Dua kisah yang sangat menarik:
Pertama adalah bagaimana dia menerima pengalaman rohani yang dia sebut
sebagai momen kelahiran baru baginya. Mengenai peristiwa itu, John Sung berkata:
Jiwaku seperti sedang mengikuti Yesus yang tersalib, aku seperti orang
berdosa yang juga tersalib, menundukkan kepalaku dan membungkuk, mengikuti
dengan perlahan di belakang Tuhan. Di satu sisi mengikuti Tuhan berjalan menuju
Golgota, dan di sisi lain tahu bahwa beban yang aku pikul tidak sanggup aku
tanggung, ia menghimpitku sampai mati. Yesus sudah tergantung tinggi di kayu
salib, kepala-Nya di sisi yang satu, kedua tangan-Nya meneteskan darah,
kesusahan-Nya menyebabkanku sangat sedih. Setelah itu aku berlutut di kaki salib
dan rebah ke tanah. Aku terus menangis sampai tengah malam. Haleluya! Semua
dosaku terlepas. Karena itu tubuhku menjadi segar dan ringan seperti burung yang
sedang terbang. AKu menari dan beryanyi memuji Tuhan. Lalu aku mendengar
bisikan, berkata: “Anakku, dosamu sudah diampuni.”
Pengalaman itu (walaupun saya tidak setuju itu disebut momen kelahiran
barunya) merubah hidupnya menjadi penginjil yang sangat diurapi oleh Tuhan. Dari
kecil John Sung sudah mengikut papanya yang adalah seorang pendeta di China.
Dari remaja dia juga sering berkhotbah. Dia adalah orang yang sangat pandai –
jenius bahkan – sehingga namanya terkenal di USA karena prestasinya di
Universitas, padahal dia kuliah sambil bekerja sangat banyak dan sakit-sakitan
karena kemiskinannya. Tetapi dia sempat kehilangan imannya dan dia mulai
mempelajari berbagai kepercayaan lain. Momen itu mengubah dia menjadi
sangat bersemangat hidup bagi Tuhan. Saking semangatnya, pimpinan sekolah
teologi tempat dia belajar menuduh dia sudah gila.
Maka kisah kedua yang menarik adalah ketika dia harus dikurung di rumah sakit
jiwa karena tuduhan menjadi gila. Di sana, sambil menunggu dibebaskan, dia
membaca Alkitab sebanyak 40X bolak-balik. Awalnya dia hanya akan berada di situ
40 hari untuk di-observasi, tetapi akhirnya dia tidak dibebaskan. John Sung
hampir putus asa karena tidak ada harapan untuk dibebaskan dari rumah sakit
jiwa. Akhirnya melalui berbagai cara, Tuhan menolong dia keluar dari rumah sakit
jiwa setelah 193 hari. Bagi John Sung, rumah sakit jiwa itu adalah tempat Tuhan
mengajar dia Alkitab dan tempat Tuhan mendidik dia, mengubah temperamennya yang
buruk, membuat dia berserah kepada Tuhan.
John Sung berkata: “Sampai hari ini aku menyebut rumah sakit jiwa itu sebagai
sekolah teologiku. Di sana aku menerima pengajaran dari Roh Kudus dan mengerti
kebenaran-kebenaran yang ajaib dan dalam”
Membaca tentang dua orang besar ini: Martin Luther dan John Sung, rasanya
dosis yang cukup bagi saya dalam empat hari (agak kelebihan malah). Itu sebabnya
saya menulis ini, sambil mengingat lagi apa yang saya baca. Dua orang
ini diberikan karunia berlimpah oleh Tuhan dan mereka menyerahkan semuanya untuk
dipakai oleh Tuhan. Dua orang ini mengalami penderitaan begitu banyak tetapi tak
pernah mundur melayani Tuhan. Dua orang ini terus dikenang sampai sekarang,
bukan karena hartanya, tetapi karena penyerahan dirinya kepada Tuhan.