Beberapa hari lagi kita akan sampai di penghujung tahun 2015.
Setiap kita pasti mengalami hal yang berbeda di sepanjang tahun 2015. Suka
dan duka, sehat dan sakit, keuntungan dan kerugian, mendapatkan dan kehilangan,…
variasinya tidak terbatas. Peristiwa demi peristiwa sudah terjadi. Di satu sisi,
semua itu sudah menjadi masa lalu. Sudah lewat. Tetapi, di sisi yang lain, kita
perlu menyadari dan mengakui bahwa semua itu masih mempengaruhi kehidupan kita
sampai sekarang.
Sakit yang kita alami, kerugian ekonomi yang kita terima, anugrah besar yang
kita nikmati, pelajaran tentang kehidupan, sukacita yang kita rasakan, kepahitan
hidup, luka hati, semuanya ikut andil membentuk kita. Pikiran dan emosi kita
diubah oleh semua itu. Maka bagaimanapun juga, peristiwa di masa lalu itu
meninggalkan jejak dalam hidup kita di saat ini dan juga masa depan.
Pertanyaannya apa yang harus kita lakukan dengan semua itu?
Membawa semua yang kita terima ke hadapan Tuhan dan bersyukur adalah hal yang
sulit. Kita cenderung lupa untuk bersyukur dan mudah untuk berkata “kekuasaanku
dan kekuatan tangankulah” yang membuat aku memperoleh semuanya. Tetapi, membawa
ke hadapan Tuhan semua kelelahan, kepahitan, kesedihan, yang sudah kita alami
dan mempengaruhi kita, seringkali lebih sulit.
Minggu lalu saya berkhotbah di GKY Jemaat Green Ville dari Yohanes 4:1-42.
Saya pernah berkhotbah dari bagian itu di tempat lain walaupun tidak sama persis
(lihat tulisan saya tentang Mengulang
Khotbah di sini). Bukan saja saya mengurangi dan menambahkan di sana-sini,
tetapi juga ada penekanan-penekanan yang berbeda. Maka khotbah itu, bagi saya
pribadi, fresh. Bagian Alkitab itu berbicara lagi kepada saya sendiri –
dengan cara yang berbeda.
Yesus menawarkan air hidup! Yesus berjanji barangsiapa yang meminum air hidup
yang Dia berikan itu tidak akan haus lagi. Dia menggenapi janji itu tidak dengan
meniadakan kemungkinan untuk kita haus. Tetapi Dia menggenapinya dengan
menjadikan air hidup itu mata air dalam diri kita yang terus menerus memancar
sampai ke hidup yang kekal.
Maka setiap kali haus, yang perlu kita lakukan adalah mengaku haus, datang
kepada-Nya minta dipuaskan, dan membiarkan Dia memuaskan kita lagi dan lagi. Air
hidup itu ada di dalam diri kita! Roh Kudus ada di dalam kita. Kuasa kehidupan
yang selalu menopang kita ada di situ. Kekuatan tak terhingga untuk mengubah
kita ada di situ. Penghiburan yang terindah ada di situ. Jaminan yang terkuat
bahwa Dia akan menuntun kita ada di situ. Maka, lagi dan lagi, kita hanya perlu
mengaku haus, datang kepada-Nya dan dipuaskan.
Berapa sulitnya itu? Sulit! Kita sulit untuk mengaku haus dan datang ke
Tuhan. Mudah untuk kita menangis. Cepat untuk kita berteriak. Tetapi datang
kepada Tuhan dan HANYA meminta dipuaskan oleh-Nya (bukan oleh yang lain), adalah
hal yang sangat sulit. Membutuhkan kerendahan hati. Membutuhkan pertobatan.
Terakhir, meminjam judul buku John Piper (“Don’t Waste Your Cancer”), saya
ingin mengingatkan “Don’t Waste What You’ve Been Through”. Jangan sia-siakan
pengalaman pahitmu. Jangan sia-siakan sakit hatimu. Jangan sia-siakan
tangisanmu.
Kita menyia-nyiakannya jika kita hanya berusaha melupakannya tanpa bertobat
(walaupun ya, kita perlu meninggalkannya di belakang). Kita menyia-nyiakannya
jika kita hanya menjadi orang yang sakit hati dan penuh amarah. Kita
menyia-nyiakannya jika semua itu merusak hidup dan masa depan kita. Don’t
waste them!
Ketika semua kepahitan, luka, dan tangisan, menjadi cambuk yang memacu kita
hidup lebih baik, menjadi arang yang membakar kita berkobar bagi Tuhan, menjadi
minyak yang mengobati luka orang lain, maka kita tidak menyia-nyiakannya.
Bagi saya, tahun 2015 adalah tahun dengan warna kelabu terbanyak dalam hidup
saya. Pada waktu saya merenungkan kembali Yohanes 4:1-42 itu, saya menyadari
bahwa saya sedang sering dan mudah haus. Saya memang pernah meminta dan menerima
air hidup yang ditawarkan Yesus – ketika saya sepenuhnya mengakui Dia sebagai
Tuhan dan Juruselamat saya. Air hidup itu sudah memuaskan dahaga jiwa saya.
Tetapi, saya pun haus lagi. Maka sebelum berkhotbah, berkali-kali saya
menundukkan kepala, menadahkan tangan dan berdoa, “Tuhan, aku haus, puaskan aku
lagi”.
Saya juga tidak ingin menyia-nyiakan semua warna kelabu itu. Saya mengingat
lagi semua yang terjadi dan saya berdoa supaya semua tidak sia-sia. Ada janji
yang saya ucapkan kepada Tuhan.
Dua hari lalu saya dan istri berjalan kaki cukup jauh, lebih dari 3 km, dan
sambil berjalan kami banyak membicarakan apa yang kami alami di tahun 2015 ini.
Lalu kami bernyanyi (tentunya dengan suara pelan :-) di jalanan)… “Ku tahu
Bapa p’liharaku, Dia baik, Dia baik, ku yakin Dia s’lalu sertaku, Dia baik
bagiku. Lewat badai cobaan, semuanya mendatangkan kebaikan. Ku tahu Bapa
p’liharaku, Dia baik bagiku.”
Sambil menyanyi saya terharu… betul Tuhan baik. Kekuatan yang Dia berikan
untuk kami berjalan dan terus berjalan selalu cukup. Ya, cukup. Dia juga
memberikan sukacita, warna-warna cerah, di sepanjang perjalanan itu. Selalu ada
bright moments yang mengingatkan bahwa hidup tidak selalu kelabu.
Bahkan Dia memberikan banyak hal yang tidak sepantasnya kami terima. Ya, kami
tidak ingin melupakan itu.
Kemurahan-Mu, ya Tuhan, sungguh lebih dari hidup. Maka syukur kami
persembahkan lagi kepada Tuhan.
Monday, December 28, 2015
Thursday, December 17, 2015
John Maxwell’s 5 Levels of Leadership
Sekedar sharing.
John Maxwell, yang banyak berbicara tentang kepemimpinan Kristen, pernah mengajarkan dengan sederhana 5 tingkatan kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Saya merasa tertolong dengan model sederhana dari Maxwell ini untuk mengevaluasi kepemimpinan saya dan juga mengingatkan saya akan apa yang masih kurang.
Maka sekedar untuk sharing, di bawah ini saya mencoba menjelaskan apa yang dimaksud oleh dia:
1. People follow because they have to
Ini adalah tingkat kepemimpinan yang paling rendah. “Pemimpin” ini ditunjuk menjadi pemimpin. Dia punya bawahan yang mengikuti dia semata-mata karena mereka harus. Maka orang yang berhenti di tingkatan ini hanyalah boss dan bukan pemimpin. Kata kunci untuk tingkatan pertama ini adalah “posisi”.
2. People follow because they want to
Disinilah seseorang mulai menjadi pemimpin. Leadership is influence. Pengaruh itu diberikan bukan melalui posisi tetapi melalui relasi. Dia membangun relasi yang baik dengan orang-orang dalam timnya. Dia disukai, dihargai, diakui sebagai pemimpin, karena pengaruh yang dia berikan. Sebaliknya ketika orang-orang di bawah dia merasa disukai, dihargai, dipercaya, diperhatikan, maka mereka mulai bekerjasama dengan dia. People go along with leaders they get along with. Maka mereka tidak lagi sekedar mengikuti perintah tetapi mereka mengikuti si pemimpin karena menginginkannya. Kata kunci untuk tingkatan kedua ini adalah “relasi”.
3. People follow because of what you have done for the organization
Pemimpin yang baik makes things happen. Dia harus punya prestasi atau “buah” yang jelas terlihat dan itu membuat orang percaya bahwa dia mampu. Untuk sampai ke tingkatan ini, seseorang harus punya kemampuan kerja yang baik dan juga mampu untuk mengatur dan mengarahkan seluruh organisasi. Dia harus memiliki pemikiran yang baik dan juga etika kerja yang baik. Dia bukan saja produktif secara pribadi tapi mampu mengarahkan tim kerja menjadi produktif. Kata kunci untuk tingkatan ketiga ini adalah “prestasi”.
4. People follow because of what you have done for them personally
Pada tingkatan ini, seorang pemimpin menginvestasikan uang, energi, waktu, dan pemikirannya untuk mengembangkan orang lain menjadi pemimpin. Bagaimana caranya? Dia hanya 20% berfokus pada apa yang dihasilkan oleh tim kerjanya sementara 80% fokusnya adalah pada pengembangan potensi mereka. Kata kunci untuk tingkatan keempat ini adalah “coaching”.
5. People follow because of who you are and what you represent
Mereka yang berada di tingkatan ini sudah memimpin sangat baik dan sangat lama sehingga terbentuk budaya kepemimpinan yang baik di dalam organisasi yang dipimpinnya. Pengaruh dirinya bahkan melampaui organisasi yang dipimpinnya. Sangat jarang pemimpin yang mencapai tingkatan kelima ini. Biasanya seseorang mencapai tingkatan ini hanya di ujung masa karirnya. Kata kunci untuk tingkatan kelima ini adalah “legacy”.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah tingkatan-tingkatan kepemimpinan ini harus ditempuh berurutan. Tidak ada yang bisa dilompati. Kita tidak bisa sampai ke tingkatan ketiga sebelum melalui tingkatan kedua, demikian seterusnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik (good leader), menurut saya, paling tidak kita harus sampai di tingkatan ketiga.
Jika kita menempati posisi pemimpin maka tingkatan pertama pasti sudah dicapai. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana relasi kita dengan orang-orang di bawah kita? Apakah ada relasi, yang bukan sekedar baik – hangat, akrab, saling percaya, tetapi memberikan pengaruh yang baik? Apakah mereka belajar banyak, termotivasi, berani bermimpi lebih besar, karena kita? Pikirkan jawaban pertanyaan ini dari sisi mereka. Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan kedua dicapai.
Lalu pertanyaan berikut adalah bagaimana hasil kerja kita? Ini bukan sekedar masalah apakah kita rajin, bekerja keras, berkorban, atau tidak. Tetapi, apakah orang-orang melihat kita mampu - berhasil dalam tugas pribadi dan dalam memimpin dan mengarahkan organisasi? Apakah orang-orang di bawah kita percaya dengan penilaian dan keputusan kita karena mereka melihat hasil kerja kita selama ini? Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan ketiga dicapai.
Tetapi, untuk menjadi pemimpin yang sungguh baik (great leader), saya kira minimal kita harus sampai di tingkatan keempat. Bukan saja kita mendorong orang untuk maju, tetapi kita menginvestasikan waktu, tenaga dan uang untuk melatih orang di bawah kita menjadi pemimpin. Ini tidak mungkin kita lakukan dengan baik kalau kita tidak mencapai tingkatan kedua dan ketiga dengan baik juga. Jika kita mencapai tingkatan ini, orang-orang di bawah kita akan mengaku bahwa mereka bisa menjadi pemimpin dan mampu mengembangkan potensi karena kita. This is tough!
Saya pikir model sederhana di atas akan sangat menolong jika kita jujur menilai diri kita. Kita akan melihat pemimpin seperti apa kita dan apa yang harus kita perbaiki.
So… where are you now? What is still lacking?
John Maxwell, yang banyak berbicara tentang kepemimpinan Kristen, pernah mengajarkan dengan sederhana 5 tingkatan kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Saya merasa tertolong dengan model sederhana dari Maxwell ini untuk mengevaluasi kepemimpinan saya dan juga mengingatkan saya akan apa yang masih kurang.
Maka sekedar untuk sharing, di bawah ini saya mencoba menjelaskan apa yang dimaksud oleh dia:
1. People follow because they have to
Ini adalah tingkat kepemimpinan yang paling rendah. “Pemimpin” ini ditunjuk menjadi pemimpin. Dia punya bawahan yang mengikuti dia semata-mata karena mereka harus. Maka orang yang berhenti di tingkatan ini hanyalah boss dan bukan pemimpin. Kata kunci untuk tingkatan pertama ini adalah “posisi”.
2. People follow because they want to
Disinilah seseorang mulai menjadi pemimpin. Leadership is influence. Pengaruh itu diberikan bukan melalui posisi tetapi melalui relasi. Dia membangun relasi yang baik dengan orang-orang dalam timnya. Dia disukai, dihargai, diakui sebagai pemimpin, karena pengaruh yang dia berikan. Sebaliknya ketika orang-orang di bawah dia merasa disukai, dihargai, dipercaya, diperhatikan, maka mereka mulai bekerjasama dengan dia. People go along with leaders they get along with. Maka mereka tidak lagi sekedar mengikuti perintah tetapi mereka mengikuti si pemimpin karena menginginkannya. Kata kunci untuk tingkatan kedua ini adalah “relasi”.
3. People follow because of what you have done for the organization
Pemimpin yang baik makes things happen. Dia harus punya prestasi atau “buah” yang jelas terlihat dan itu membuat orang percaya bahwa dia mampu. Untuk sampai ke tingkatan ini, seseorang harus punya kemampuan kerja yang baik dan juga mampu untuk mengatur dan mengarahkan seluruh organisasi. Dia harus memiliki pemikiran yang baik dan juga etika kerja yang baik. Dia bukan saja produktif secara pribadi tapi mampu mengarahkan tim kerja menjadi produktif. Kata kunci untuk tingkatan ketiga ini adalah “prestasi”.
4. People follow because of what you have done for them personally
Pada tingkatan ini, seorang pemimpin menginvestasikan uang, energi, waktu, dan pemikirannya untuk mengembangkan orang lain menjadi pemimpin. Bagaimana caranya? Dia hanya 20% berfokus pada apa yang dihasilkan oleh tim kerjanya sementara 80% fokusnya adalah pada pengembangan potensi mereka. Kata kunci untuk tingkatan keempat ini adalah “coaching”.
5. People follow because of who you are and what you represent
Mereka yang berada di tingkatan ini sudah memimpin sangat baik dan sangat lama sehingga terbentuk budaya kepemimpinan yang baik di dalam organisasi yang dipimpinnya. Pengaruh dirinya bahkan melampaui organisasi yang dipimpinnya. Sangat jarang pemimpin yang mencapai tingkatan kelima ini. Biasanya seseorang mencapai tingkatan ini hanya di ujung masa karirnya. Kata kunci untuk tingkatan kelima ini adalah “legacy”.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah tingkatan-tingkatan kepemimpinan ini harus ditempuh berurutan. Tidak ada yang bisa dilompati. Kita tidak bisa sampai ke tingkatan ketiga sebelum melalui tingkatan kedua, demikian seterusnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik (good leader), menurut saya, paling tidak kita harus sampai di tingkatan ketiga.
Jika kita menempati posisi pemimpin maka tingkatan pertama pasti sudah dicapai. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana relasi kita dengan orang-orang di bawah kita? Apakah ada relasi, yang bukan sekedar baik – hangat, akrab, saling percaya, tetapi memberikan pengaruh yang baik? Apakah mereka belajar banyak, termotivasi, berani bermimpi lebih besar, karena kita? Pikirkan jawaban pertanyaan ini dari sisi mereka. Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan kedua dicapai.
Lalu pertanyaan berikut adalah bagaimana hasil kerja kita? Ini bukan sekedar masalah apakah kita rajin, bekerja keras, berkorban, atau tidak. Tetapi, apakah orang-orang melihat kita mampu - berhasil dalam tugas pribadi dan dalam memimpin dan mengarahkan organisasi? Apakah orang-orang di bawah kita percaya dengan penilaian dan keputusan kita karena mereka melihat hasil kerja kita selama ini? Kalau jawabannya “ya”, maka tingkatan ketiga dicapai.
Tetapi, untuk menjadi pemimpin yang sungguh baik (great leader), saya kira minimal kita harus sampai di tingkatan keempat. Bukan saja kita mendorong orang untuk maju, tetapi kita menginvestasikan waktu, tenaga dan uang untuk melatih orang di bawah kita menjadi pemimpin. Ini tidak mungkin kita lakukan dengan baik kalau kita tidak mencapai tingkatan kedua dan ketiga dengan baik juga. Jika kita mencapai tingkatan ini, orang-orang di bawah kita akan mengaku bahwa mereka bisa menjadi pemimpin dan mampu mengembangkan potensi karena kita. This is tough!
Saya pikir model sederhana di atas akan sangat menolong jika kita jujur menilai diri kita. Kita akan melihat pemimpin seperti apa kita dan apa yang harus kita perbaiki.
So… where are you now? What is still lacking?
Subscribe to:
Posts (Atom)