Friday, September 30, 2016

Rasul Paulus: Kitab dan Pedang di Tangan

Rasul Paulus dulu bukan rasul favorit saya (kalau boleh bermain favoritisme). Saya selalu pusing membaca tulisan-tulisannya yang sangat padat dan seperti berputar-putar. Saya juga kurang suka dengan sifatnya yang terkesan garang. Maka, lagi-lagi kalau boleh bermain favoritisme, saya lebih menyukai rasul Yohanes. Tulisannya sangat indah dan menyentuh. Dia menulis dengan mendalam tetapi seringkali misterius sehingga membuat saya perlu merenung untuk mengertinya.

Saya masih menyukai rasul Yohanes. Itu sebabnya dulu pada waktu studi program M.Th, saya ingin membuat thesis dari tulisan rasul Yohanes. Tetapi jalan saya akhirnya berbeda. Saya menulis thesis M.Th mengenai konsep misi dari rasul Paulus dan sekarang saya menulis disertasi D.Th tentang surat Galatia. Setelah bertahun-tahun saya duduk di bawah kaki rasul Paulus, mempelajari tulisannya, argumennya, dan lebih mengenal dia, saya semakin menyukai dan mengagumi dia.

Entah anda pernah memperhatikan atau tidak, seringkali rasul Paulus dilukiskan sedang memegang sebuah kitab dan sebuah pedang.

 

Saya menyukai dua lukisan di atas. Keduanya menggambarkan kelembutan raut wajah dari rasul Paulus, walaupun yang di atas juga menampilkan sedikit sisi kegarangannya.

Kitab atau buku yang dibawanya melambangkan berita Injil yang disampaikannya. Orang yang serius mempelajari tulisan rasul Paulus tidak akan ragu bahwa dia sangat berkomitmen untuk berita Injil. Hidupnya sepenuhnya dia curahkan untuk memberitakan Injil. Hatinya dan air matanya tercurah untuk jemaat yang dikasihinya. Berbagai penderitaan fisik, yang tidak bisa kita bayangkan, dia tanggung. Bukan hanya itu. Saya berkali-kali tertegun melihat rasul yang luar biasa ini mengalami ditolak, ditinggalkan, diragukan motivasinya, tidak dipercaya ajarannya, oleh jemaat yang dia dirikan sendiri! Hanya Tuhan yang tahu berapa besarnya penderitaan emosi yang dia pikul. Semua hanya untuk Injil.

Pedang di tangannya melambangkan kematian yang akan ditempuhnya. Menurut tradisi, khususnya dari tulisan Eusebius (abad ke-3-4), rasul Paulus mati dipenggal kepalanya pada pemerintahan kaisar Nero. Lukisan ini menggambarkan, seakan-akan, rasul Paulus menjalani kehidupannya dengan kesadaran akan kematiannya bagi Kristus yang di depan mata. "Sebab kami, yang masih hidup ini, terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu." (2 Kor 4.11-12).

Rasul Paulus menjadi inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi saya. What's not to love about him? Kitab dan pedang di tangan.

Relakah saya menjalani hidup seperti itu? Rasul Paulus mengingatkan saya akan arti jalan salib.

Wednesday, September 21, 2016

My Dissertation Writing - 5

Saya baru saja menyerahkan Bab 4 dari disertasi saya. Saya lelah sekali, atau lebih tepatnya kehabisan tenaga. Kalau bisa mungkin kepala saya sudah mengeluarkan asap. 

Saya makin menyadari bahwa saya bukan mesin dan hidup saya tidak steril dari masalah. Segala sesuatu bisa direncanakan (dan menurut rencana harusnya sekarang saya sudah di ujung Bab 6). Secara perhitungan, seharusnya saya bisa menyelesaikan sampai sekian dalam waktu sekian. Kenyataannya tidak pernah begitu. Ada masanya otak ini buntu, badan sakit, mood hilang, ide terbang. Ada masanya juga masalah demi masalah menghantam dan saya tidak mampu bekerja. Apa boleh buat, saya bukan mesin.

Ditambah lagi saya makin menyadari sesuatu yang dari dulu sebenarnya saya sudah sadar: Saya ini lambat berpikir. Kadang saya bisa cepat, kalau yang sifatnya sederhana. Tapi begitu menyangkut sesuatu yang mendalam, saya lambat sekali. Saya perlu waktu membaca, berpikir, buuaanyak trial and error, terus begitu… dan itu lama.

Dalam segala kelemahan ini saya makin melihat kasih karunia Tuhan. Walaupun lambat, saya tidak mungkin bisa sampai di tahap ini kalau bukan karena Tuhan. Maka, sekali lagi, saya hanya bisa memohon pertolongan Tuhan.

Beberapa bulan lalu, dalam percakapan dengan beberapa orang, saya berkata bahwa saya sudah mau menyerah. Pikiran itu sempat agak “matang”! Saya sudah mulai memikirkan alasan-alasan untuk tidak menyelesaikan studi – dari yang mulia sampai yang kurang mulia. Tetapi, akhirnya, saya sampai pada satu kesimpulan: Selama masih ada waktu dan kesempatan, saya harus dan akan berjuang. Maka, selama ada waktu dan kesempatan, selamat tinggal dulu semua alasan untuk tidak menyelesaikan studi.

Saya sangaaattt berharap tidak ada perbaikan besar untuk Bab 4 yang sudah dikumpulkan. Besok, saya siap menyambut Bab 5 – tidak tahu akan berapa sulit dan berapa lama saya mengerjakannya. Tapi, mudah-mudahan, saya bisa menyelesaikannya dalam 4 bulan.

Err... I want to stay alive...

Friday, September 02, 2016

The Trellis and The Vine & The Vine Project - Colin Marshall & Tony Payne

Saya baru saja menyelesaikan membaca dua buku ini yang ditulis oleh Colin Marshall dan TonyPayne.

Buku pertama, The Trellis and the Vine, terbit pada tahun 2009 dan menjadi populer. Mengambil perumpamaan dari pohon anggur, mereka mengajak kita melihat bahwa pelayanan kita seharusnya fokus pada vine (anggur) dan bukan pada trellis (terali). Terali perlu ada untuk menunjang pertumbuhan anggur tetapi seringkali kita menghabiskan waktu, tenaga, perhatian, hanya untuk membangun terali dan bukan menumbuhkan anggur.

Bab 1-2 buku itu adalah bab yang sangat penting karena disitulah mereka menguraikan “ministry mind-shift” yang mereka maksudkan. Dalam bab 3-5 mereka menguraikan dasar Alkitab dari konsep mereka. Tidak seluruhnya menarik, menurut saya, tetapi cukup bagus untuk bahan pemikiran lebih mendalam.

Dalam bab 6-8, mereka mulai menyodorkan konsep pelatihan di dalam gereja. Lalu empat bab terakhir buku itu (Bab 9-12) bersifat praktis: Bagaimana melatih co-workers, orang seperti apa yang dipilih, program magang pelayanan, dan bagaimana memulai semuanya.

Buku itu menggugah kesadaran banyak pemimpin gereja bahwa seharusnya mereka fokus mengerjakan vine dan bukan trellis. Tetapi, tidak semudah itu mengerjakan perubahan di dalam gereja. Maka banyak pembaca buku itu bertanya: "Apa yang harus kami lakukan? Jikalau pemuridan hanya dijalankan secara sporadis atau sebagai salah satu “program gereja” maka hasilnya tidak akan terlalu menjanjikan. Tetapi, bagaimana kami bisa membentuk seluruh kultur gereja menjadi disciple-making?"

Maka buku yang kedua, The Vine Project, terbit pada tahun 2016, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka menyadari banyaknya kesulitan yang dihadapi ketika pemimpin gereja ingin menjalankan proyek itu. Maka, seperti yang ditulis oleh mereka di bagian pendahuluan, buku ini bukanlah sekedar untuk dibaca tetapi merupakan sebuah proyek. Mereka menyarankan (mendesak) setiap gereja untuk membentuk tim The Vine Project dan menggunakan buku ini sebagai panduan menjalankan proyek yang besar, sulit, tetapi sangat penting itu.

Mereka membagi proyek ini dalam lima tahap.

Tahap pertama adalah mempertajam keyakinan akan apa yang Tuhan mau kita lakukan. Kita mencoba memperjelas keyakinan kita akan tujuan dan nilai-nilai yang seharusnya ada di dalam pelayanan kita. Tahap ini penting supaya kita memikirkan dengan jelas kaitan antara praktek yang akan kita lakukan dengan teologi.

Tahap kedua adalah mereformasi kultur pribadi kita. Tahap ini sangat menarik dan penting. Banyak orang ingin cepat melakukan sesuatu, membuat program, menyusun kurikulum, menyebarkan brosur, lalu menggerakkan tim untuk mengerjakannya. Tetapi, dengan cara demikian, mereka akan terjebak lagi membangun trellis. Kelemahan utama pendekatan seperti itu adalah mereka (pemimpin gereja) belum pernah melakukan sendiri program yang akan mereka buat. Maka mereka sulit mengerti kesulitan dan halangan yang akan terjadi. Demikian pula, apa yang dikatakan dan dilakukan oleh pemimpin, keputusan-keputusan, prioritas-prioritas, atau kultur pribadinya, akan menjadi titik tolak yang sangat penting bagi sebuah gerakan seperti ini.

Tahap ketiga adalah mulai mengevaluasi gereja. Sama seperti tahap pertama dan kedua, mereka memberikan panduan apa saja yang harus dievaluasi dan bagaimana melakukannya.

Baru di tahap keempat kita masuk kepada tahap inovasi dan implementasi. Beberapa wilayah yang mereka ajak kita fokuskan adalah: Kebaktian Minggu (ini sangat penting), Merancang jalan untuk membawa orang (dari posisi manapun: belum bertobat, baru bertobat, ataupun sudah bertumbuh) makin bertumbuh, Merencanakan apa yang harus dilakukan ketika pertumbuhan terjadi (kualitas dan kuantitas), dan terakhir, Menciptakan bahasa baru yaitu mengkomunikasikan dengan jelas apa yang ingin dilakukan oleh gereja, sedemikian rupa, sehingga ditangkap oleh seluruh jemaat.

Tahap kelima adalah mempertahankan momentum. Proyek ini sama sekali tidak mudah dan tidak cepat. Di dalam prosesnya, bukan saja perhatian, tenaga, waktu, sumber daya, akan banyak terkuras, tekanan juga akan sangat besar dirasakan. Maka sangat penting memikirkan bagaimana menjaga konsistensi dalam menjalankannya.

Hampir untuk setiap bagian yang dibicarakan, buku ini memberikan referensi kepada resources yang bisa dipakai. Akan sangat menolong jika kita juga bisa melihat resources itu dan mempertimbangkan untuk menggunakannya. Buku ini juga didukung oleh situs http://thevineproject.com dimana bisa ditemukan banyak kisah nyata dan wawancara dengan para pemimpin gereja yang menjalankan ini dan juga berbagai resources lainnya.

Kelemahan buku ini adalah ketika dibaca akan terasa too wordy. Tetapi hal ini bisa dipahami karena mereka memang tidak memaksudkannya untuk “dibaca” tetapi “dipergunakan” sebagai panduan dan bahan diskusi.

Saran saya, bacalah dulu buku yang pertama. Hanya jika anda yakin ingin menjalankan perubahan di dalam gereja anda, baru bacalah (dan belilah) buku yang kedua. Saya yakin buku itu akan sangat menolong.

It's time to change, but do it carefully and prayerfully!