Saya baru saja menyelesaikan membaca dua buku ini yang ditulis oleh Colin Marshall dan TonyPayne.
Buku pertama, The Trellis and the Vine, terbit pada tahun 2009 dan menjadi populer. Mengambil perumpamaan dari pohon anggur, mereka mengajak kita melihat bahwa pelayanan kita seharusnya fokus pada vine (anggur) dan bukan pada trellis (terali). Terali perlu ada untuk menunjang pertumbuhan anggur tetapi seringkali kita menghabiskan waktu, tenaga, perhatian, hanya untuk membangun terali dan bukan menumbuhkan anggur.
Bab 1-2 buku itu adalah bab yang sangat penting karena disitulah mereka menguraikan “ministry mind-shift” yang mereka maksudkan. Dalam bab 3-5 mereka menguraikan dasar Alkitab dari konsep mereka. Tidak seluruhnya menarik, menurut saya, tetapi cukup bagus untuk bahan pemikiran lebih mendalam.
Dalam bab 6-8, mereka mulai menyodorkan konsep pelatihan di dalam gereja. Lalu empat bab terakhir buku itu (Bab 9-12) bersifat praktis: Bagaimana melatih co-workers, orang seperti apa yang dipilih, program magang pelayanan, dan bagaimana memulai semuanya.
Buku itu menggugah kesadaran banyak pemimpin gereja bahwa seharusnya mereka fokus mengerjakan vine dan bukan trellis. Tetapi, tidak semudah itu mengerjakan perubahan di dalam gereja. Maka banyak pembaca buku itu bertanya: "Apa yang harus kami lakukan? Jikalau pemuridan hanya dijalankan secara sporadis atau sebagai salah satu “program gereja” maka hasilnya tidak akan terlalu menjanjikan. Tetapi, bagaimana kami bisa membentuk seluruh kultur gereja menjadi disciple-making?"
Maka buku yang kedua, The Vine Project, terbit pada tahun 2016, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka menyadari banyaknya kesulitan yang dihadapi ketika pemimpin gereja ingin menjalankan proyek itu. Maka, seperti yang ditulis oleh mereka di bagian pendahuluan, buku ini bukanlah sekedar untuk dibaca tetapi merupakan sebuah proyek. Mereka menyarankan (mendesak) setiap gereja untuk membentuk tim The Vine Project dan menggunakan buku ini sebagai panduan menjalankan proyek yang besar, sulit, tetapi sangat penting itu.
Mereka membagi proyek ini dalam lima tahap.
Tahap pertama adalah mempertajam keyakinan akan apa yang Tuhan mau kita lakukan. Kita mencoba memperjelas keyakinan kita akan tujuan dan nilai-nilai yang seharusnya ada di dalam pelayanan kita. Tahap ini penting supaya kita memikirkan dengan jelas kaitan antara praktek yang akan kita lakukan dengan teologi.
Tahap kedua adalah mereformasi kultur pribadi kita. Tahap ini sangat menarik dan penting. Banyak orang ingin cepat melakukan sesuatu, membuat program, menyusun kurikulum, menyebarkan brosur, lalu menggerakkan tim untuk mengerjakannya. Tetapi, dengan cara demikian, mereka akan terjebak lagi membangun trellis. Kelemahan utama pendekatan seperti itu adalah mereka (pemimpin gereja) belum pernah melakukan sendiri program yang akan mereka buat. Maka mereka sulit mengerti kesulitan dan halangan yang akan terjadi. Demikian pula, apa yang dikatakan dan dilakukan oleh pemimpin, keputusan-keputusan, prioritas-prioritas, atau kultur pribadinya, akan menjadi titik tolak yang sangat penting bagi sebuah gerakan seperti ini.
Tahap ketiga adalah mulai mengevaluasi gereja. Sama seperti tahap pertama dan kedua, mereka memberikan panduan apa saja yang harus dievaluasi dan bagaimana melakukannya.
Baru di tahap keempat kita masuk kepada tahap inovasi dan implementasi. Beberapa wilayah yang mereka ajak kita fokuskan adalah: Kebaktian Minggu (ini sangat penting), Merancang jalan untuk membawa orang (dari posisi manapun: belum bertobat, baru bertobat, ataupun sudah bertumbuh) makin bertumbuh, Merencanakan apa yang harus dilakukan ketika pertumbuhan terjadi (kualitas dan kuantitas), dan terakhir, Menciptakan bahasa baru yaitu mengkomunikasikan dengan jelas apa yang ingin dilakukan oleh gereja, sedemikian rupa, sehingga ditangkap oleh seluruh jemaat.
Tahap kelima adalah mempertahankan momentum. Proyek ini sama sekali tidak mudah dan tidak cepat. Di dalam prosesnya, bukan saja perhatian, tenaga, waktu, sumber daya, akan banyak terkuras, tekanan juga akan sangat besar dirasakan. Maka sangat penting memikirkan bagaimana menjaga konsistensi dalam menjalankannya.
Hampir untuk setiap bagian yang dibicarakan, buku ini memberikan referensi kepada resources yang bisa dipakai. Akan sangat menolong jika kita juga bisa melihat resources itu dan mempertimbangkan untuk menggunakannya. Buku ini juga didukung oleh situs http://thevineproject.com dimana bisa ditemukan banyak kisah nyata dan wawancara dengan para pemimpin gereja yang menjalankan ini dan juga berbagai resources lainnya.
Kelemahan buku ini adalah ketika dibaca akan terasa too wordy. Tetapi hal ini bisa dipahami karena mereka memang tidak memaksudkannya untuk “dibaca” tetapi “dipergunakan” sebagai panduan dan bahan diskusi.
Saran saya, bacalah dulu buku yang pertama. Hanya jika anda yakin ingin menjalankan perubahan di dalam gereja anda, baru bacalah (dan belilah) buku yang kedua. Saya yakin buku itu akan sangat menolong.
It's time to change, but do it carefully and prayerfully!