Menyambung tulisan sebelumnya di sini, ada meme atau virus of the mind lain mengenai khotbah yang juga populer sekaligus berbahaya. Meme itu berbunyi begini: “Apapun yang disampaikan pengkhotbah di mimbar dalam kebaktian, tentu ditambah dengan membacakan Alkitab, adalah ‘Firman Tuhan’.”
Beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah menulis “What is a Sermon?” Apa yang saya tulis di sana tidak perlu saya ulangi lagi. Ada satu definisi yang saya pergunakan di sana yang saya yakin kebanyakan kita akan setuju: “Khotbah adalah penguraian Firman Tuhan (Alkitab).”
Mari sekarang kita melihatnya dengan sedikit lebih luas.
Kebaktian itu selalu di dalam konteks penyembahan dialogis dan komunal. Komunal artinya umat Tuhan berkumpul bersama, menyembah Tuhan di dalam persekutuan – artinya bukan menyembah Tuhan sendiri-sendiri, tapi bersama-sama, sebagai kumpulan orang yang sudah ditebus Tuhan. Dialogis, artinya kebaktian bukanlah satu arah, seakan-akan di dalam kebaktian arahnya hanya dari kita ke Tuhan. Kebaktian itu dua arah karena Allah yang kita sembah adalah Allah yang hidup. Dia mendengar doa kita. Dia memberkati kita. Dan Dia berkata-kata kepada kita, khususnya dan terutama, melalui Firman yang tertulis. Maka kebaktian selalu dari kita (bukan saya) ke Tuhan dan dari Tuhan ke kita – komunal dan dialogis.
Kalau begitu, dimana posisi khotbah dalam skema dialogis ini? Tuhan ke kita! Lalu dimana posisi pengkhotbah? Di satu sisi dia adalah bagian dari jemaat yang menyembah Tuhan dan harus mendengar suara Tuhan. Di sisi yang lain dia dipakai Tuhan untuk menyampaikan suara Tuhan melalui penguraian Firman yang tertulis.
Jikalau khotbah adalah menguraikan Firman Tuhan (Tuhan ke kita), maka khotbah harus betul-betul menjadi waktu dimana Firman Tuhan dibacakan dan dijelaskan, sedemikian rupa sehingga suara Tuhan itu diperdengarkan. Tugas pengkhotbah adalah memastikan bahwa itulah yang sedang dia lakukan. Lalu apa tugas jemaat? Mereka harus mendengar dengan aktif, berpikir dengan kritis, menguji kebenarannya, dan membuka hati untuk berubah.
Pengkhotbah tidak boleh berpikir bahwa khotbah adalah sekedar cari ayat Alkitab untuk dibacakan, lalu cari bahan pembicaraan yang isinya motivasi, nasihat kehidupan, konsep “menarik” yang dia baca di buku, dan diusahakan supaya lebih menarik dengan bumbu humor, klip video, atau cerita yang menyentuh. Pertanyaannya apakah dia menjelaskan bagian Alkitab yang dibacakan? Apakah dia memperdengarkan suara Tuhan sesuai dengan bagian Alkitab yang dibacakan?
Dan di dalam khotbah, jemaat seharusnya menuntut untuk mendengar, belajar, dan mengerti Firman Tuhan. Jangan sekedar mencari khotbah yang “kena” (walaupun itu penting), karena “kena” itu mungkin karena apa yang dibicarakan pas sesuai dengan pergumulan atau kelemahan kita, walaupun tidak menjelaskan bagian Alkitab yang dibacakan. Jangan sekedar mencari yang menarik dan tidak mengantuk (walaupun itu juga penting). Carilah, ini harus berulang kali diingatkan, yang setia menguraikan Firman Tuhan!
Virus of the mind yang satu ini merusak pertumbuhan gereja. Pengkhotbah berpikir, dengan berdiri di mimbar, bicara, mengkaitkannya dengan Firman Tuhan, apalagi kalau berhasil membuatnya menarik, pokoknya dia sudah menyampaikan “Firman Tuhan.” Jemaat berpikir, pokoknya yang disampaikan pengkhotbah adalah “Firman Tuhan”, maka mereka harus rendah hati dan menerima, apalagi kalau memang ada hal-hal yang “kena”.
Hasilnya? Pengkhotbah tidak merasa perlu berubah dan jemaat tidak bisa berubah. Virus pun mewabah.