Friday, October 07, 2022

Last Post - I Am Moving

Hai semuanya!

Sudah 16 tahun lebih saya ada di dunia blogging. Sebetulnya saya sudah jarang menulis sejak masa akhir studi doctoral saya di Trinity Theological College. Alasannya: Sibuk! Gawatnya adalah sejak itu, saya tidak pernah berhenti sibuk sampai 5 tahun berikutnya.  

Sekarang saya mulai menemukan waktu (dan semangat) untuk mulai menulis lagi. Tetapi saya menyadari bahwa blogspot bukan lagi tempat yang ideal untuk menulis. 

Saya akan mulai menulis lagi tapi kali ini di https://jeffreysiauw.com

Saya belum berencana menghapus blog ini - mungkin akan dibiarkan saja. Beberapa tulisan, yang menurut saya penting, akan saya pindahkan perlahan-lahan ke alamat yang baru. Beberapa tulisan yang penting tapi sudah kurang relevan, akan saya revisi dan repost lagi di alamat yang baru.

So, goodbye https://jeffreysiauw.blogspot.com and WELCOME https://jeffreysiauw.com

Stay tune!

NB: https://jeffreysiauw.com sekarang masih dalam maintenance mode. Rencananya akan siap tanggal 24 Oktober 2022.


Monday, August 16, 2021

2 Penyebab Pandemi Tidak Mengubah Gereja

Pada bulan April tahun lalu saya menulis sebuah tulisan yang berjudul "Gereja Setelah Covid-19"
https://jeffreysiauw.blogspot.com/2020/04/gereja-setelah-covid-19.html

Di dalam tulisan itu saya mengutip sebuah bagian dari buku The Trellis and The Vine. Waktu itu buku itu mendadak mendapat perhatian khusus karena di bagian penutupnya, penulis buku itu membayangkan terjadinya pandemi. Sesuatu yang pasti tidak disangka oleh penulisnya akan betul2 terjadi karena buku itu terbit tahun 2009 dan pandemi terjadi di tahun 2020. 

Saya akan ulangi kutipan saya di dalam tulisan itu. Dia menulis kira2 begini:

Bayangkan terjadi pandemi di seluruh bagian dunia anda dan pemerintah melarang orang berkumpul lebih dari tiga orang, untuk alasan kesehatan dan keamanan. Dan kondisi itu terjadi selama 18 bulan. 

Kalau ada 120 jemaat di gereja anda, bayangkan bagaimana gereja tetap bisa berfungsi – tanpa ada pertemuan persekutuan rutin apapun, dan tidak ada persekutuan rumah tangga, kecuali hanya tiga orang yang berkumpul?

Kalau anda adalah pendetanya, apa yang akan anda lakukan? 

Mungkin anda bisa kirim email atau menelpon mereka, atau membuat rekaman audio. Tetapi bagaimana bisa tetap mengajar dan menggembalakan mereka? Bagaimana mendorong mereka untuk tetap mengasihi dan melakukan hal yang baik di tengah situasi ini? Dan bagaimana dengan penginjilan? Bagaimana menjangkau orang baru dan melakukan follow up? 

Anda perlu bantuan. Anda harus mulai dengan 10 orang jemaat yang dewasa, lalu bertemu secara intensif dengan mereka, bergantian dua orang demi dua orang selama dua bulan. Anda harus melatih mereka bagaimana membaca Alkitab, bagaimana berdoa dengan satu atau dua orang lain, dan dengan anak-anak mereka. Maka ada dua tugas mereka: Pertama, menggembalakan keluarga mereka dengan secara rutin membaca Alkitab dan berdoa. Kedua, mencari orang lain untuk dilatih dan didorong melakukan yang sama. Maka dalam waktu beberapa bulan gerakan ini akan meluas dengan cepat. Tugas anda sebagai pendeta adalah memberikan support kepada mereka sambil mencari orang lain lagi. 

Akan ada banyak sekali kontak pribadi dan pertemuan kelompok kecil yang harus dilakukan. Tetapi ingat bahwa tidak ada kebaktian yang harus dijalankan, tidak ada seminar, tidak ada kerja bakti, tidak ada persekutuan rumah tangga, tidak ada acara apapun untuk diorganisir. Semuanya hanyalah mengajar dan memuridkan secara pribadi dan melatih orang untuk menjadi pembuat murid. 

Pertanyaan dia yang menarik adalah: Setelah 18 bulan seperti itu, ketika larangan akhirnya dicabut dan kita bisa kembali berkumpul untuk ibadah, persekutuan, dan melakukan semua aktivitas lainnya, apa yang akan berubah? Bagaimana program, pelayanan, dll, akan berubah?

Pertanyaan terakhir itu sangat menggelitik. Kalau selama 18 bulan, kita memelihara kehidupan rohani jemaat melalui kelompok2 kecil dengan firman Tuhan dan doa. Perhatikan, bukan sekedar kelompok kecil, ngobrol sana sini, tapi kelompok kecil yang belajar firman Tuhan dan berdoa. Lalu selama 18 bulan itu juga kita menghasilkan orang-orang yang terjun menjadi pembuat murid – mereka mengajar orang lain membaca Alkitab dan berdoa untuk orang-orang itu. Kemudian selama 18 bulan itu juga kita melihat buahnya – bahwa orang-orang ternyata bertumbuh dengan firman Tuhan dan doa. Setelah 18 bulan berlalu dan kita terbiasa mencurahkan energi dan waktu pada pelayanan yang satu itu dan kita melihat bahwa pertumbuhan terjadi tanpa semua kegiatan dan acara yang rutin dilakukan gereja, apakah tidak ada yang akan berubah ketika keadaan normal?

Itu pertanyaan yang sangat baik! Karena kalau itu yang dilakukan gereja selama pandemi, maka setelah pandemi, pelayanan gereja pasti akan berubah!

Ketika saya menulis itu, saya juga tidak terpikir bahwa pandemi akan berlangsung sampai hari ini. Tetapi hari ini, setelah 17 bulan pandemi di Indonesia, saya harus berkata bahwa apa yang dia “nubuatkan” itu tidak terjadi. Betul pandemi berjalan lama, bahkan ini akan lebih dari 18 bulan - lebih dari contoh yang dia berikan. Tapi kondisi yang dia bayangkan akan terjadi, ternyata tidak terjadi.

Alasannya adalah karena ada 2 asumsi yang dia bayangkan di dalam skenario itu, yang kemudian juga tidak terjadi:

1. Asumsi pertama adalah dia membayangkan bahwa di dalam masa pandemi itu bahwa gereja tidak bisa berfungsi, tidak ada pertemuan persekutuan rutin, persekutuan rumah tangga, tidak ada apapun. Pemerintah hanya mengizinkan pertemuan 3 orang. Maka dia membayangkan bahwa gereja dan hamba Tuhan menganggur, tidak ada yang bisa dikerjakan. 

2. Asumsi kedua yang dia pikirkan adalah ketika para hamba Tuhan itu tidak tahu harus berbuat apa, karena semua aktivitas berhenti, maka para hamba Tuhan itu kemudian terpikir untuk melakukan pemuridan dengan cara yang sederhana saja. Hamba Tuhan memuridkan 2 orang bagaimana membaca Alkitab dan bagaimana mendoakan orang lain. Lalu mendorong mereka melakukannya di keluarga dan mencari 2 orang lain lagi untuk diajarkan hal yang sama.

Kedua asumsi di atas tidak terjadi. 

Mengapa? Ada 2 alasan: 

Pertama, teknologi ternyata bisa menjadi bumerang. 

Pada waktu dia menuliskan buku itu di tahun 2009 atau 2008, teknologi sama sekali belum seperti sekarang. 

Youtube baru didirikan tahun 2005, dan dibeli oleh Google tahun 2006. Maka di tahun 2008 atau 2009, Youtube belum seperti hari ini. Tidak ada orang yang bisa melakukan Youtube streaming ataupun premier waktu itu. Zoom bahkan belum ada. Instagram juga belum ada. Bahkan Whatsapp pun baru muncul Januari 2009. 

Hari ini semua teknologi itu sudah ada dan berkembang luar biasa. Maka gereja-gereja memanfaatkannya untuk tetap melakukan berbagai aktivitas. Kebaktian direkam atau live streaming lewat Youtube. Persekutuan rutin dilakukan lewat Zoom dan disiarkan di Youtube. Maka kegiatan tetap berjalan. Kita pindahkan semua kegiatan fisik itu ke platform digital. 

Maka para hamba Tuhan tetap sibuk. Ditambah lagi, karena platform digital tidak bisa banyak menyentuh unsur relasional, maka yang lebih menonjol adalah unsur performance. Maka setiap gereja dituntut untuk menampilkan sesuatu yang lebih baik dan lebih baik. Itu berarti lebih sibuk.  

Kedua, kebanyakan hamba Tuhan tidak berpikir untuk melakukan pemuridan. Ini adalah asumsi kedua yang tidak terjadi. Mereka berpikir bagaimana memperhatikan jemaat dengan telpon, tanya kabar, mungkin besuk. Mereka berpikir bagaimana mendoakan yang kesusahan. Mereka mungkin juga terpikir untuk membuat kelompok-kelompok pemerhati sebagai kelompok adminisrasi jemaat, jadi ada yang memperhatikan semua jemaat dan ada tempat kemana jemaat harus datang kalau membutuhkan. Tetapi, kebanyakan tidak berpikir untuk melakukan pemuridan: Mengajarkan orang membaca Alkitab dan mendoakan orang lain, dan mengajarkannya lagi kepada orang lain. 

Maka pandemi sudah berjalan 17 bulan di Indonesia, apa yang dibayangkan oleh penulis buku itu tidak terjadi. Bahkan sekalipun pandemi ini berjalan 1 tahun lagi, saya yakin apa yang dia bayangkan tetap tidak akan terjadi. 

Mengapa? Karena yang dipikirkan oleh banyak gereja adalah memindahkan kegiatan dari pertemuan fisik ke platform digital. Besuk sekarang lewat telpon. Kebaktian sekarang lewat Youtube. Persekutuan sekarang lewat zoom. Saya tidak bilang keberadaan teknologi seperti Youtube atau Zoom itu buruk. Bukan itu masalahnya. Tapi masalahnya ada di konsep. 

Pandemi memaksa kita berubah. Tapi kalau yang kita rubah hanyalah bungkusnya, sementara isinya sama, kesibukannya sama, cara berpikirnya sama, maka kita bukan saja menyia2kan penderitaan lewat pandemi ini tapi mungkin kita akan semakin hancur. 

Maka saya mengajak gereja, rekan-rekan hamba Tuhan, dan jemaat, mari berpikir dengan sungguh apa yang harus dilakukan di masa pandemi ini? Bagaimana orang dibimbing kenal Tuhan? Bagaimana menolong jemaat bertumbuh? 

Kuasa ada pada firman Tuhan dan doa. Tapi, sayangnya, banyak orang Kristen tidak bisa membaca dan mengajarkan firman, tidak bisa mendoakan dan mengajar orang lain berdoa.

Maka saran saya mulailah dari kecil. Cari beberapa orang, ajari mereka dulu, sampai kemudian mereka bisa mengajar orang lain. Jangan langsung membagi seluruh jemaat dalam kelompok-kelompok kecil karena tidak akan berhasil. Fokuslah pada 2-3 org dulu, beberapa bulan mengajar mereka, lalu utus mereka melakukan yang sama.

Bagi yang sudah lama jadi orang Kristen, mungkin ini saatnya mulai belajar lebih dan membagikannya kepada orang lain. Ajak orang-orang yang anda kenal untuk membaca Alkitab bersama. Atau buatlah kelompok untuk PA bersama. Bukan hanya untuk sharing, tapi untuk belajar firman Tuhan dan berdoa. Kemudian lakukan itu dengan batas waktu, mungkin 3 bulan atau 6 bulan. Ketika batas waktunya tiba, setiap orang harus mencari lagi orang lain, keluarga mereka atau teman mereka, untuk diajar yang sama. Demikian seterusnya. 

Waktu ini singkat. Hidup ini singkat. Mari prioritaskan yang betul-betul penting dan berguna untuk dilakukan, khususnya dalam masa pandemi ini. 

Friday, July 16, 2021

Don't Waste Your Suffering

Di dalam buku Coronavirus and Christ, Pdt. John Piper bertanya: What is God doing through Coronavirus? Apa yang sedang Allah lakukan melalui virus Corona? 

Ini adalah sebuah pertanyaan yang saya kira mengganjal bagi banyak orang Kristen. John Piper kemudian di dalam buku itu mencoba memberikan 6 jawaban. Saya akan coba ringkaskan 4 saja yang dia sebutkan:

Pertama, Allah sedang membangunkan kita untuk siap menyambut kedatangan Kristus yang kedua kali. Di dalam keadaan yang baik, kita seringkali hidup seakan2 Kristus tidak akan datang. Padahal Tuhan meminta kita selalu waspada, berjaga2, menantikan kedatangan Kristus. Maka di tengah pandemi ini, kita kembali dibangunkan dan diingatkan bahwa Kristus bisa datang kembali kapan saja.

Kedua, Allah sedang memanggil kita untuk hidup sesuai dengan kemuliaan Kristus yang tidak terbatas. Seperti rasul Paulus berkata dalam Filipi 3:8: “Segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus Tuhanku, lebih mulia dari semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Jujur, seringkali kita tidak hidup seperti itu. Kita menganggap dunia terlalu berharga dan bersinar. Sementara kemuliaan Kristus menjadi redup di mata kita. Maka Allah memanggil kita untuk kembali sadar bahwa yang terpenting, yang termulia, adalah Kristus, dan pengenalan kita akan Kristus jauh lebih berharga dari semua di dunia. 

Ketiga, Allah memanggil kita untuk tidak mengasihani diri dan ketakutan, tapi dengan sukacita dan berani melakukan pekerjaan baik untuk kemuliaan Allah. Penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi sekarang memanggil kita untuk melakukan pekerjaan baik. Ada sangat banyak orang yang membutuhkan pertolongan, penghiburan, kekuatan. Setiap kita bisa melakukan sesuatu. Dan Allah memanggil kita untuk melakukannya dengan berani dan tetap bersukacita, demi kemuliaan Allah.

Keempat, banyak dari kita sudah mapan dan berada di dalam zona nyaman kita. Melalui pandemi ini Tuhan sedang melonggarkan kemapanan kita dan membuat kita keluar dari zona nyaman kita, karena ada sangat banyak perubahan dalam hidup kita. Tujuannya supaya kita terbebas melakukan sesuatu yang baru dan radikal dan membawa Injil ke tempat-tempat yang tidak terjangkau. Pandemi ini sepertinya membuat misi dunia mengalami kemunduran, tetapi sesungguhnya hanya kemunduran sesaat sebelum kemudian akan mengalami kemajuan dalam cara yang tidak terpikirkan.

Kita memang tidak tahu penyebab pasti pandemi ini. Apakah ini adalah sesuatu yang natural, alamiah terjadi di dalam dunia? Atau memang virus buatan manusia dan kemudian kelalaian manusia menyebabkan pandemi ini? Kita tidak tahu. Tetapi kita boleh yakin bahwa Allah memegang kendali. Kalau Dia mengizinkan sesuatu terjadi, Dia punya maksud dan Dia punya cara untuk membuat sesuatu itu menggenapi tujuan-Nya. 

Maka apa yang disampaikan John Piper saya kira menolong untuk kita memahami apa yang mungkin sedang Allah lakukan. Dia mungkin sedang membangunkan kita untuk tidak nyaman dengan dunia ini tapi bersiap menyambut kedatangan Kristus, untuk melihat kembali kemuliaan Kristus dan bukan dunia, melakukan pekerjaan baik yang Dia inginkan, dan menggenapi misi Allah dalam dunia ini. Atau ada hal2 yang Allah ingin kita bertobat. Allah mungkin sedang melakukan itu. 

Alangkah malangnya, kalau setelah semua penderitaan dalam pandemi ini, kita tidak belajar apa2, tidak berubah, dan tidak melakuan apa2. Kita menyia2kan penderitaan yang kita alami. 

John Piper kemudian menutup bukunya dengan sebuah doa. Saya akan bacakan dalam terjemahan yang saya buat. Biarlah ini juga menjadi doa kita: 

Bapa, di momen terbaik kami, oleh anugerah-Mu, kami tidak tertidur di dalam Getsemani. 
Kami bangun dan kami mendengarkan doa Anak-Mu. 
Yesus tahu, jauh di dalam Dia tahu, bahwa Dia harus menderita. 
Tetapi di dalam kemanusiaan-Nya yang sempurna, Ia berseru, “jikalau boleh, biarlah cawan ini lalu.”

Dengan cara yang sama, kami juga merasakan, jauh di dalam, bahwa pandemi ini ditetapkan, di dalam hikmat-Mu, untuk tujuan-tujuan yang baik dan perlu. 
Kami juga harus menderita. Anak-Mu tidak berdosa. Kami berdosa. 
Tetapi bersama dengan Yesus, di dalam kemanusiaan kami yang tidak sempurna ini, kami juga berseru, “jikalah boleh, biarlah cawan ini lalu.” 
Bersegeralah, ya Tuhan, melakukan pekerjaan keadilan dan kemurahan yang ingin Engkau lakukan. Jangan lupakan tangisan orang-orang yang menderita. Karuniakanlah pemulihan. Karuniakanlah kesembuhan. Kami berdoa, bebaskanlah kami – ciptaan-Mu yang malang dan tak berdaya ini – dari kesengsaraan ini.

Tetapi jangan biarkan penderitaan dan duka kami sia-sia, ya Tuhan. Murnikanlah umat-Mu dari ketidakberdayaan terikat dengan materialisme yang kosong dan dari hiburan yang tanpa Kristus. Biarlah kami tidak berselera terhadap umpan dari Setan. Potonglah dari kami akar-akar dan sisa kesombongan dan kebencian dan jalan-jalan kami yang tidak benar. 

Karuniakanlah kepada kami kapasitas untuk membenci sikap kami yang meremehkan kemuliaan-Mu.
Bukalah mata hati kami untuk melihat dan mencicipi keindahan Kristus. 
Condongkanlah hati kami kepada firman-Mu, Anak-Mu, dan jalan-Mu. 
Penuhilah kami dengan keberanian yang penuh belas kasihan. 
Nyatakanlah nama-Mu melalui pelayanan umat-Mu. 
Ulurkanlah tangan-Mu dalam kebangunan besar demi dunia sedang binasa ini. 
Janganlah kalimat yang mengerikan di kitab Wahyu “Tetapi mereka tidak bertobat” berlaku untuk generasi ini.

Sebagaimana Engkau telah melukai tubuh, sekarang pukullah jiwa yang tertidur. 
Jangan biarkan mereka tetap tertidur di dalam kegelapan kecongkakan dan ketidakpercayaan. 
Di dalam kemurahan-Mu yang besar, katakanlah kepada tulang-tulang ini, “Hiduplah!” 
Bawalah hati dan hidup jutaan orang sesuai dengan kemuliaan Kristus yang tidak terbatas. 

Dalam nama Yesus, amin. 

Kiranya Tuhan menguatkan iman setiap kita. Kiranya Tuhan mengasihani kita. Tapi mari jangan sia-siakan pandemi ini, jangan sia-siakan penderitaan kita. Don’t waste your suffering! Biarlah ada sesuatu yang terjadi di dalam diri kita. Tuhan memberkati.

Thursday, July 08, 2021

Covid dan Iman

Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan
berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.
 
(Luk 22:41-44) 

Sudah 16 bulan berlalu sejak pertama kali pemerintah mengkonfirmasi kasus Covid-19 di Indonesia. Saya ingat bahwa waktu itu tidak ada yang menyangka bahwa pandemi akan berlangsung selama ini. Bahkan juga tidak ada yang menyangka bahwa setelah 16 bulan berlalu, keadaan kita sama sekali tidak bertambah baik. 

Pada akhir tahun 2020, kita sempat merasa bisa sedikit bernafas lega, tapi tiba-tiba kasus Covid mengalami kenaikan di awal bulan Januari 2021. Kemudian ketika kita mulai merasa sedikit lega lagi, gelombang yang lebih besar melanda sejak akhir Mei lalu sampai sekarang dan entah kapan berakhirnya. Sekarang ini kita seperti tidak habis-habisnya setiap hari menerima berita tentang orang-orang yang kita kenal kena Covid, menderita, bahkan meninggal. 

Selama 16 bulan ini juga hidup kita mengalami sangat banyak perubahan. Awalnya kita merasa hidup kita terganggu karena berbagai rencana yang harus berubah atau batal. Ada perasaan ketidakpastian di depan. Tapi lama kelamaan kita menyadari bahwa ini jauh lebih parah dari sekedar rencana-rencana yang terganggu. Karena ekonomi kita juga mengalami kesulitan. Hidup menjadi sangat sulit bagi banyak orang. Kemudian semakin banyak orang, atau mungkin kita sendiri, yang mengalami kesepian karena isolasi. Berbagai masalah keluarga pun kemudian bermunculan. Penderitaan itu semakin nyata ketika orang-orang yang kita kasihi sakit dan meninggal. Maka perasaan kuatir, takut, dan duka, dirasakan oleh banyak orang hari ini. 

Di tengah kondisi seperti ini, apa yang harus kita lakukan? Tuhan Yesus adalah contoh apa arti menjadi manusia di hadapan Allah. Dia bukan saja Allah yang menjadi manusia, tetapi Dia juga hidup sebagai manusia. Itu berarti Dia mengalami banyak sekali pengalaman dan emosi, termasuk penderitaan, sama seperti yang dirasakan oleh manusia. Perbedaannya hanyalah Dia tidak berdosa di tengah semua itu. 

Kita tahu bahwa penderitaan dan ketakutan yang sangat besar pernah dialami Yesus waktu Dia bergumul di taman Getsemani sebelum kemudian Dia ditangkap dan disalibkan. Alkitab berkata di tengah penderitaan dan ketakutan itu, keringatnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah - sebuah tanda penderitaan batin yang sangat besar. Di tengah kondisi itulah Yesus berseru: “Bapa jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku”. Tetapi kemudian Dia menyambung, “tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” Maka, di satu sisi, jikalau boleh Yesus ingin lepas dari penderitaan itu. Dia minta itu kepada Bapa. Tetapi, di sisi lain, Dia percaya kepada Bapa dan menyerahkan diri-Nya kepada kehendak Bapa. 

Apa yang dilakukan Yesus di tengah penderitaan dan ketakutan itu menunjukkan kepada kita bahwa ketakutan, tangisan, stress kita, bukanlah berarti kita kekurangan iman. Karena bukan saja itu wajar sebagai seorang manusia tetapi juga adalah tanda bahwa kita memang hidup di dalam dunia yang sudah rusak. Kita memang hidup di dalam dunia yang penuh penderitaan. Ada banyak hal yang hancur, yang salah, yang berantakan, terjadi di dalam dunia ini. Kita tidak puas dengan dunia seperti ini. 

Maka sebetulnya kita merindukan apa yang Tuhan janjikan di depan atau seperti yang dikatakan Paulus di dalam Rom 8:22: Kita bersama “segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.” Kita mengharapkan dunia yang baru, yang Tuhan janjikan bagi kita yang percaya kepada-Nya, dimana suatu kali semua yang hancur, yang salah, yang berantakan itu akan diluruskan dan penderitaan dihapuskan. 

Hari ini, sekalipun janji itu belum tiba, kita boleh meminta Tuhan menolong kita melepaskan kita dari penderitaan yang sekarang, karena itu tanda kita merindukan dunia yang baru. Tetapi, mari kita memintanya sambil tetap percaya dan berserah kepada kehendak Bapa. Karena Bapa bukan saja mengerti, tetapi Bapa peduli dan menyertai kita di dunia yang sekarang ini. 

Satu hal yang sangat indah adalah di tengah penderitaan dan ketakutan Yesus itu, Bapa kemudian mengutus malaikat dari langit menampakkan diri kepada Yesus untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Bapa hadir disana sekalipun malaikat tidak menampakkan diri. Tetapi Dia menyatakan penyertaan-Nya dengan lebih jelas di saat Yesus sangat membutuhkan. 

Saya berdoa supaya kita juga mengalami itu. Apapun yang kita alami, apapun perasaan kita, apapun yang kita pikirkan tentang Allah, sesungguhnya Allah tetap ada bersama kita menyertai dan peduli. Tetapi, saya berdoa supaya jikalau Tuhan anggap baik, biarlah Dia menyatakan penyertaan-Nya dengan lebih jelas di saat kita sangat membutuhkan. Tetapi sekalipun tidak, yakinlah Dia tidak pernah jauh dan tidak peduli. 

Biarlah kiranya kita bisa tetap berdoa, “Tuhan kalau boleh biarlah ini berlalu”, tapi dengan percaya dan berserah kita juga bisa berdoa “bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu yang terjadi.” 

Ketika menyadari bahwa dunia yang sekarang ini penuh dengan ketidaksempurnaan, kita juga didorong untuk bertanya apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan ikut menambah kehancuran, kesalahan dan berantakannya dunia ini? Ataukah kita akan ikut membawa pengharapan di tengah penderitaan ini? Apakah kita membawa kebenaran, kebaikan, kasih, di tengah dunia ini? Apakah kita bertanya apa yang bisa kita lakukan supaya orang-orang lain bisa melihat pengharapan yang Tuhan janjikan? Apa yang bisa kita lakukan supaya orang-orang lain bisa beroleh kekuatan di dalam Tuhan dan percaya dan berserah kepada Tuhan di tengah penderitaan ini? 

Biarlah kita menjadi duta bagi Allah di tengah dunia ini.

Wednesday, June 23, 2021

Selalu Butuh Yesus

"Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi
orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Markus 2:17)

Suatu kali Yesus sedang duduk makan bersama dengan para pemungut cukai dan "orang-orang berdosa lainnya." Yang dimaksud dengan "orang-orang berdosa" adalah mereka yang oleh para pemimpin agama Yahudi dianggap tidak menjalankan kewajiban agama, atau berhubungan akrab dengan orang-orang non-Yahudi, atau yang pekerjaannya dianggap kotor seperti pelacur atau bahkan penyamak kulit yang selalu berurusan dengan bangkai hewan. Yesus duduk makan bersama dengan kelompok orang-orang yang seperti itu.

Kemudian beberapa pemimpin agama, yaitu ahli Taurat dari golongan Farisi, yang terkenal paling ketat, melihat hal itu dan protes: "Mengapa Yesus makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" Mereka menyalahkan Yesus. Jikalau Dia rabi, guru agama Yahudi, jikalau Dia orang benar, bagaimana mungkin Dia mau duduk makan bersama dengan orang-orang seperti itu?

Yesus yang mendengar itu kemudian berkata: “Bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” Apa maksud kalimat itu?

Di satu sisi, kalimat ini berarti Yesus menegaskan bahwa Dia datang justru untuk orang2 yang dikelompokkan sebagai orang berdosa itu. Karena mereka inilah yang sakit, merekalah yang berdosa, maka merekalah yang memerlukan Yesus. Dan Yesus memang datang untuk mereka.

Tetapi, di sisi lain, kita tahu bahwa tidak ada orang yang benar. Karena di hadapan Tuhan sesungguhnya tidak ada orang yang tidak berdosa sehingga tidak memerlukan Yesus. Maka yang ada sebetulnya hanyalah orangorang yang merasa dirinya benar. Mereka merasa mereka mampu hidup tanpa Juruselamat. Mereka merasa sanggup untuk berjalan sendiri. Mereka merasa tidak membutuhkan Yesus. Tapi betulkah mereka tidak membutuhkan Yesus? Karena bukankah sebetulnya mereka juga orang berdosa? 

Disinilah masalahnya. Semua orang membutuhkan Yesus. Tetapi kenyataannya, tidak semua orang mau mengaku dirinya membutuhkan Yesus. 

Dan ayat ini bukan hanya bicara soal keselamatan. Tetapi juga memberikan prinsip untuk kehidupan Kristen.

Ironis sekali! Karena pada waktu kita percaya, bukankah kita sudah mengakui kelemahan kita, keberdosaan kita, maka kita datang kepada Tuhan Yesus dan berseru memohon anugerah-Nya? Kita meletakkan percaya kita pada Yesus. Alangkah bodohnya ketika kita sudah percaya dan tinggal di dalam Yesus, lalu kita mulai meletakan percaya kita pada diri kita. Kita rasa sekarang kita mampu sendiri. Kita rasa kita adalah orang benar dan baik. Kita merasa tidak membutuhkan Yesus lagi.

Sebaliknya, alangkah bodohnya juga ketika kita terus merasa diri berantakan, lemah, berdosa, tanpa mau meletakkan beban itu semuanya di kaki Yesus yang sudah tinggal di dalam kita. Kita lupa bahwa kita dulu memang sudah mengaku bahwa kita orang yang seperti itu, berantakan, lemah, berdosa, tapi bukankah kita sudah datang kepada Yesus dan meletakkan percaya kita pada Yesus? Mengapa tidak percaya lagi?

Kita membutuhkan pertolongan, anugerah, kemurahan Tuhan Yesus, bukan hanya pada waktu kita menerima keselamatan, tetapi juga setiap saat di dalam hidup Kristen kita, sampai kita bertemu dengan Dia dalam kekekalan.

Friday, June 04, 2021

Social Media: A Heart Check

Di zaman ini kita banyak sekali menggunakan social media seperti Instagram, Youtube, Facebook, dll.

Salah satu cara kita menggunakan social media adalah dengan membagikan banyak hal tentang kehidupan pribadi kita atau pendapat pribadi kita. Tetapi banyak orang tidak sadar bahwa jikalau kehidupan kita diumpamakan seperti sebuah film, maka apa yang kita post di social media sebetulnya hanya menampilkan satu potongan adegan saja di satu momen. Seperti ketika kita menonton film kemudian kita screenshot satu momen lalu kita tampilkan itu. Jelas apa yang akan terlihat hanyalah sebuah potongan momen kecil dari film itu dan tidak mewakili keseluruhan film itu! 

Masalahnya, orang yang melihatnya seringkali menganggap satu potongan momen itu mewakili seluruh film! Padahal jelas tidak.

Misalnya saja ketika kita pergi dengan keluarga, sebetulnya sambil pergi kita mengalami banyak masalah, orang tua yang membuat repot, pertengkaran dengan suami/istri, anak-anak yang bandel. Pokoknya suasana sangat bikin BT. Lalu kita sampai di depan air mancur. Dengan terpaksa untuk mencairkan suasana lalu kita bilang “ayo foto”. Waktu foto, semua langsung pasang muka senyum untuk foto… cheeerrsss… Ketika kita tampilkan itu di  social media, komentar yang bermunculan adalah: “wah seneng ya jalan-jalan!”, “lucu ya anaknya”, “keluarga bahagia nih”, dst. Padahal apa yang terjadi sangat jauh berbeda. Tapi itulah social media!

Social media hanya menampilkan potongan-potongan, momen-momen, dari hidup kita. Tetapi orang yang melihatnya mengira itu melukiskan keseluruhan, atau paling tidak sebagian besar, dari hidup kita.

Maka betapa pentingnya kita bijak dalam menggunakan social media. Saya kira prinsip yang disampaikan rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10 bisa membantu kita.

Pertama, apakah ini diperbolehkan? Di dalam 1 Korintus 10, rasul Paulus sedang bicara soal makanan dan dia berkata semua diperbolehkan. Tetapi dalam hal kita posting sesuatu, kita perlu bertanya apakah diperbolehkan. Standar kita bukan hanya masalah hukum negara tetapi juga hukum Tuhan, standar moral Tuhan.

Kedua, apakah berguna? Ketiga, apakah membangun? Karena tidak segala sesuatu berguna dan membangun, dan untuk apa kita menghabiskan waktu kita dan juga waktu dari orang yang melihat apa yang kita post itu, untuk sesuatu yang tidak berguna dan membangun.

Maka saya mengusulkan sebelum kita posting sesuatu kita perlu bertanya dulu kepada diri kita:

Dalam hal apa postingan saya berguna dan membangun orang lain? Apakah postingan ini menolong orang misalnya untuk mengevaluasi diri, memikirkan hidup dengan lebih bijak, memberikan informasi yang dibutuhkan, atau mendorong mereka hidup lebih baik di dalam dunia ciptaan Tuhan ini? Apakah postingan itu bisa menolong orang yang sedang lemah, atau memberikan inspirasi untuk berbuat kebaikan, atau mendorong mereka untuk bertumbuh?

Pertanyaannya adalah bagaimana ini bisa berguna? Bagaimana ini bisa membangun?

Sebaliknya kita perlu bertanya juga apakah postingan saya berpotensi membuat orang lain menjadi semakin berantakan. Misalnya, kita post humor kotor, atau keluhan dan kemarahan kita yang mengajak orang lain ikut marah bersama kita, atau mungkin kegiatan kita yang terkesan “nakal”. Untuk apa kita post itu? 

Karena media sosial hanya menampilkan potongan-potongan momen-momen yang tidak mewakili keseluruhan, kita juga perlu berpikir dengan menampilkan potongan momen itu, dampak apa yang dihasilkan? Misalnya kita post foto selfie kita, atau ketika memakai pakaian sexy, atau foto jalan2 kita, pikirkan dampak apa yang dihasilkan. Apakah ada gunanya dan membangun? Kalau tidak, apalagi kalau itu memberi pengaruh negatif, lalu untuk apa kita post itu?

Pertanyaan yang penting bagi kita sebagai orang Kristen dalam menggunakan social media adalah "what message that I share through this?" Pesan apa yang kita bagikan melalui ini. Karena hidup kita harus membawa message dari Tuhan. Dan itu bukan berarti hanya share firman Tuhan, tapi pesan yang baik dan membangun untuk kehidupan di dalam dunia ciptaan Allah ini.

Maka pertanyaan yang juga penting adalah apa motivasi kita ketika posting sesuatu? Apakah untuk kemuliaan saya, supaya orang memuji saya, atau untuk kemuliaan Tuhan?

Salah satu yang juga ingin saya singgung adalah cara kita menuliskan caption atau comment. Saya merasa banyak orang Kristen ketika berkomentar menunjukkan apa yang disebut oleh seorang teolog sebagai the age of outrage, sebuah zaman kemarahan. Banyak orang yang menuliskan caption dan comment dengan nada marah, kasar, atau mungkin berupa sindiran dengan tujuan agar yang disindir marah, atau sinisme maupun sarkasme, yang jelas tidak berguna dan tidak membangun. Maka kita perlu betul-betul bertanya apa motivasi kita ketika menuliskan sesuatu? Sekali lagi, apakah membangun dan berguna?

Saya juga ingin mengingatkan dari sisi kita yang melihat berbagai postingan di social media. Kita perlu bijak dalam memilah nilai-nilai yang kita terima melalui social media, apa yang benar dan salah, nilai apa yang perlu kita pelajari atau yang perlu kita abaikan. Kita juga perlu mengevaluasi perasaan yang muncul dalam hati kita ketika melihat berbagai postingan itu. Misalnya apakah kita iri? Sangat mudah untuk kita kemudian membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain. Bukan saja itu salah, karena sekali lagi media sosial hanya menampilkan potongan momen dan bukan keseluruhan hidup orang itu, tetapi saya yakin itu juga tidak berkenan kepada Tuhan.

Tuhan mau kita bersyukur untuk apapun, termasuk kekuatan, penyertaan dan berkat Tuhan yang dialami di dalam keadaan apapun di hidup kita. Tuhan mau kita mengerjakan hidup kita menjadi lebih baik bersama Tuhan. Sekedar tidak puas karena membandingkan hidup kita dengan orang lain tidak akan membawa kita kemana2.

Terakhir, jebakan besar di media sosial, termasuk mereka yang menggunakannya untuk pelayanan, adalah membandingkan jumlah likes, viewers, followers, subscribers, dst. Bukan saja itu tidak ada gunanya, tetapi itu juga menghasilkan motivasi yang tidak baik, dan mungkin mendorong kita melakukan hal yang tidak baik. Hidup kita bukanlah untuk mencari popularitas dan kemuliaan diri tetapi kemuliaan Tuhan. 

Seharusnya kita hanyalah membagikan apa yang berguna dan membangun dan biarlah kepuasan kita didapatkan dari Tuhan yang bersuka melihat apa yang kita lakukan.

Monday, April 20, 2020

Gereja Setelah Covid-19


Buku The Trellis and The Vine baru-baru ini mendapat perhatian khusus karena di bagian penutupnya, penulis buku itu membayangkan terjadinya pandemi.

Saya meringkasnya di bawah ini:

Bayangkan terjadi pandemi di seluruh bagian dunia anda dan pemerintah melarang orang berkumpul lebih dari tiga orang, untuk alasan kesehatan dan keamanan. Dan kondisi itu terjadi selama 18 bulan. 

Kalau ada 120 jemaat di gereja anda, bayangkan bagaimana gereja tetap bisa berfungsi – tanpa ada pertemuan persekutuan rutin apapun, dan tidak ada persekutuan rumah tangga, kecuali hanya tiga orang yang berkumpul.

Kalau anda adalah pendetanya, apa yang akan anda lakukan? 

Mungkin anda bisa kirim email atau menelpon mereka, atau membuat rekaman audio. Tetapi bagaimana bisa tetap mengajar dan menggembalakan mereka? Bagaimana mendorong mereka untuk tetap mengasihi dan melakukan hal yang baik di tengah situasi ini? Dan bagaimana dengan penginjilan? Bagaimana menjangkau orang baru dan melakukan follow up? 

Anda perlu bantuan. Anda harus mulai dengan 10 orang jemaat pria yang dewasa secara iman, lalu bertemu secara intensif dengan mereka, bergantian dua orang demi dua orang selama dua bulan. Anda harus melatih mereka bagaimana membaca Alkitab, bagaimana berdoa dengan satu atau dua orang lain, dan dengan anak-anak mereka. Maka ada dua tugas mereka: Pertama, menggembalakan keluarga mereka dengan secara rutin membaca Alkitab dan berdoa. Kedua, mencari orang lain untuk dilatih dan didorong melakukan yang sama. Maka dalam waktu beberapa bulan gerakan ini akan meluas dengan cepat. Tugas anda adalah memberikan support kepada mereka sambil mencari orang lain lagi. 

Akan ada banyak sekali kontak pribadi dan pertemuan kelompok kecil yang harus dilakukan. Tetapi ingat bahwa tidak ada kebaktian yang harus dijalankan, tidak ada seminar, tidak ada kerja bakti, tidak ada persekutuan rumah tangga, tidak ada acara apapun untuk diorganisir. Semuanya hanyalah mengajar dan memuridkan secara pribadi dan melatih orang untuk menjadi pembuat murid. 

Ini pertanyaan yang menarik: Setelah 18 bulan seperti itu, ketika larangan akhirnya dicabut dan kita bisa kembali berkumpul untuk ibadah, persekutuan, dan melakukan semua aktivitas lainnya, apa yang akan berubah? Bagaimana program, pelayanan, dll, akan berubah?

Kita memang berharap bahwa pandemi Covid-19 ini tidak berlangsung sampai 18 bulan. Tetapi pertanyaan terakhir itu sangat menggelitik. Kalau selama 18 bulan, kita memelihara kehidupan rohani jemaat melalui kelompok kecil dengan Firman dan doa. Lalu selama 18 bulan itu juga kita menghasilkan orang-orang yang terjun menjadi pembuat murid – mereka mengajar orang membaca Alkitab dan berdoa untuk orang-orang itu. Kemudian selama 18 bulan itu juga kita melihat buahnya – bahwa orang-orang ternyata bertumbuh dengan Firman dan doa. Setelah 18 bulan berlalu dan kita terbiasa mencurahkan energi dan waktu pada pelayanan yang satu itu dan kita melihat bahwa pertumbuhan terjadi tanpa semua kegiatan dan acara yang rutin dilakukan gereja, apakah tidak ada yang akan berubah ketika keadaan normal?

Saya percaya bahwa salah satu tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami krisis adalah untuk menggoncangkan kita. Mungkinkah ada sesuatu yang harus berubah?

Buku The Trellis and The Vine menggunakan perumpamaan pohon anggur dan terali untuk menggambarkan pekerjaan sesungguhnya dari gereja dan terali pendukungnya. Buku itu mengkritisi gereja karena membangun terlalu banyak terali pendukung sehingga tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur. Pekerjaan anggur bisa dengan sederhana dijelaskan sebagai pekerjaan dalam empat tahapan dengan tujuan masing-masing:
- “mengajak orang”
- “memberitakan Injil”
- “mempertumbuhkan”
- “memperlengkapi”
Di setiap tahap, kita melakukannya dengan Firman dan doa untuk mencapai tujuannya. Itulah pekerjaan anggur.

Sementara itu, kalau program adalah terali, maka kita perlu mengevaluasi seluruh program yang dilakukan di gereja kita dengan dua cara:

Pertama, program apa yang menunjang untuk kita mengajak orang? Untuk kita memberitakan Injil? Untuk kita mempertumbuhkan? Untuk kita memperlengkapi? Tidak perlu banyak program untuk setiap tujuan itu. Program adalah terali penunjang yang jelas dibutuhkan tapi yang penting adalah pekerjaan anggurnya berjalan.

Kedua, seberapa efektif program itu untuk tujuan itu? Berikan skala 1-5. Kita sering berpikir program ini bagus, program itu ada gunanya, yang ini penting, kalau tidak ada yang itu nanti bagaimana, dst. Kita akan dengan cepat berargumen bahwa ini "program mengajak orang baru lho" atau ini "program doa kok.. pasti doa penting kan" atau yang lainnya. Tapi mari jujur mengevaluasi bahwa banyak program yang, walaupun bisa disebutkan gunanya, sebetulnya efetivitasnya rendah untuk tujuan itu. Kita hanya perlu mempertahankan program yang sangat efektif.

Tenaga, waktu, dan perhatian kita terbatas. Ada orang beranggapan bahwa  lebih banyak program lebih baik. Kalau kurang hamba Tuhan ya dicari lagi. Kalau kurang pelayan ya dicari lagi dari jemaat. Tapi sebagai organisasi, ini bukan masalah kurang orang tapi masalah fokus. Semakin banyak hal yang dilakukan oleh sebuah organisasi, semakin dia tidak bisa fokus mengerjakan yang terpenting yang seharusnya dilakukan. Yang celaka, jemaatpun tidak bisa digerakkan sepenuhnya menuju ke arah tertentu karena terlalu banyak arah.

Sekali lagi kita berharap pandemi Covid-19 ini berakhir sebelum 18 bulan. Kondisi kita juga tidak persis sama seperti pandemi yang dibayangkan oleh buku itu. Tapi saya yakin kita perlu menggumuli jawaban atas pertanyaan yang menggelitik ini: Setelah Covid-19 berakhir, apa yang akan kita ubah? Seperti apa gereja kita nanti? Kalau gereja kita tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur, lalu nanti setelah Covid-19 tetap tidak ada yang berubah dan semua berjalan kembali persis seperti dulu, pasti ada yang salah.

Mari kita gelisah. Mari coba berpikir dan mau berubah. Perubahan pastilah tidak nyaman dan banyak orang yang akan menentang. Tapi kalau kita betul mengerjakan yang terpenting yang harus dilakukan – dengan tenaga, waktu dan perhatian yang terfokus, kita berada pada jalur yang tepat.

Ketidaknyamanan perubahan mungkin akan membuat sebagian orang meninggalkan kita (mungkin jumlah jemaat akan berkurang?), tetapi yang paling penting adalah kita mengerjakan tugas sesungguhnya dari gereja dengan setia. Tuhan pasti memberkati.