Thursday, July 08, 2021

Covid dan Iman

Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan
berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.
 
(Luk 22:41-44) 

Sudah 16 bulan berlalu sejak pertama kali pemerintah mengkonfirmasi kasus Covid-19 di Indonesia. Saya ingat bahwa waktu itu tidak ada yang menyangka bahwa pandemi akan berlangsung selama ini. Bahkan juga tidak ada yang menyangka bahwa setelah 16 bulan berlalu, keadaan kita sama sekali tidak bertambah baik. 

Pada akhir tahun 2020, kita sempat merasa bisa sedikit bernafas lega, tapi tiba-tiba kasus Covid mengalami kenaikan di awal bulan Januari 2021. Kemudian ketika kita mulai merasa sedikit lega lagi, gelombang yang lebih besar melanda sejak akhir Mei lalu sampai sekarang dan entah kapan berakhirnya. Sekarang ini kita seperti tidak habis-habisnya setiap hari menerima berita tentang orang-orang yang kita kenal kena Covid, menderita, bahkan meninggal. 

Selama 16 bulan ini juga hidup kita mengalami sangat banyak perubahan. Awalnya kita merasa hidup kita terganggu karena berbagai rencana yang harus berubah atau batal. Ada perasaan ketidakpastian di depan. Tapi lama kelamaan kita menyadari bahwa ini jauh lebih parah dari sekedar rencana-rencana yang terganggu. Karena ekonomi kita juga mengalami kesulitan. Hidup menjadi sangat sulit bagi banyak orang. Kemudian semakin banyak orang, atau mungkin kita sendiri, yang mengalami kesepian karena isolasi. Berbagai masalah keluarga pun kemudian bermunculan. Penderitaan itu semakin nyata ketika orang-orang yang kita kasihi sakit dan meninggal. Maka perasaan kuatir, takut, dan duka, dirasakan oleh banyak orang hari ini. 

Di tengah kondisi seperti ini, apa yang harus kita lakukan? Tuhan Yesus adalah contoh apa arti menjadi manusia di hadapan Allah. Dia bukan saja Allah yang menjadi manusia, tetapi Dia juga hidup sebagai manusia. Itu berarti Dia mengalami banyak sekali pengalaman dan emosi, termasuk penderitaan, sama seperti yang dirasakan oleh manusia. Perbedaannya hanyalah Dia tidak berdosa di tengah semua itu. 

Kita tahu bahwa penderitaan dan ketakutan yang sangat besar pernah dialami Yesus waktu Dia bergumul di taman Getsemani sebelum kemudian Dia ditangkap dan disalibkan. Alkitab berkata di tengah penderitaan dan ketakutan itu, keringatnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah - sebuah tanda penderitaan batin yang sangat besar. Di tengah kondisi itulah Yesus berseru: “Bapa jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku”. Tetapi kemudian Dia menyambung, “tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” Maka, di satu sisi, jikalau boleh Yesus ingin lepas dari penderitaan itu. Dia minta itu kepada Bapa. Tetapi, di sisi lain, Dia percaya kepada Bapa dan menyerahkan diri-Nya kepada kehendak Bapa. 

Apa yang dilakukan Yesus di tengah penderitaan dan ketakutan itu menunjukkan kepada kita bahwa ketakutan, tangisan, stress kita, bukanlah berarti kita kekurangan iman. Karena bukan saja itu wajar sebagai seorang manusia tetapi juga adalah tanda bahwa kita memang hidup di dalam dunia yang sudah rusak. Kita memang hidup di dalam dunia yang penuh penderitaan. Ada banyak hal yang hancur, yang salah, yang berantakan, terjadi di dalam dunia ini. Kita tidak puas dengan dunia seperti ini. 

Maka sebetulnya kita merindukan apa yang Tuhan janjikan di depan atau seperti yang dikatakan Paulus di dalam Rom 8:22: Kita bersama “segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.” Kita mengharapkan dunia yang baru, yang Tuhan janjikan bagi kita yang percaya kepada-Nya, dimana suatu kali semua yang hancur, yang salah, yang berantakan itu akan diluruskan dan penderitaan dihapuskan. 

Hari ini, sekalipun janji itu belum tiba, kita boleh meminta Tuhan menolong kita melepaskan kita dari penderitaan yang sekarang, karena itu tanda kita merindukan dunia yang baru. Tetapi, mari kita memintanya sambil tetap percaya dan berserah kepada kehendak Bapa. Karena Bapa bukan saja mengerti, tetapi Bapa peduli dan menyertai kita di dunia yang sekarang ini. 

Satu hal yang sangat indah adalah di tengah penderitaan dan ketakutan Yesus itu, Bapa kemudian mengutus malaikat dari langit menampakkan diri kepada Yesus untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Bapa hadir disana sekalipun malaikat tidak menampakkan diri. Tetapi Dia menyatakan penyertaan-Nya dengan lebih jelas di saat Yesus sangat membutuhkan. 

Saya berdoa supaya kita juga mengalami itu. Apapun yang kita alami, apapun perasaan kita, apapun yang kita pikirkan tentang Allah, sesungguhnya Allah tetap ada bersama kita menyertai dan peduli. Tetapi, saya berdoa supaya jikalau Tuhan anggap baik, biarlah Dia menyatakan penyertaan-Nya dengan lebih jelas di saat kita sangat membutuhkan. Tetapi sekalipun tidak, yakinlah Dia tidak pernah jauh dan tidak peduli. 

Biarlah kiranya kita bisa tetap berdoa, “Tuhan kalau boleh biarlah ini berlalu”, tapi dengan percaya dan berserah kita juga bisa berdoa “bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu yang terjadi.” 

Ketika menyadari bahwa dunia yang sekarang ini penuh dengan ketidaksempurnaan, kita juga didorong untuk bertanya apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan ikut menambah kehancuran, kesalahan dan berantakannya dunia ini? Ataukah kita akan ikut membawa pengharapan di tengah penderitaan ini? Apakah kita membawa kebenaran, kebaikan, kasih, di tengah dunia ini? Apakah kita bertanya apa yang bisa kita lakukan supaya orang-orang lain bisa melihat pengharapan yang Tuhan janjikan? Apa yang bisa kita lakukan supaya orang-orang lain bisa beroleh kekuatan di dalam Tuhan dan percaya dan berserah kepada Tuhan di tengah penderitaan ini? 

Biarlah kita menjadi duta bagi Allah di tengah dunia ini.