Wednesday, December 20, 2017

Persiapan Melayani Dalam Natal

Ini adalah renungan singkat yang saya sampaikan kepada para pelayan kebaktian Natal tanggal 24 Desember 2017 di GKY Green Ville di dalam gladi kotor kemarin.

Natal sudah sangat dekat. Saya yakin kita yang akan melayani di dalam kebaktian tanggal 24 Desember sudah sekian lama melakukan persiapan. Banyak waktu yang sudah dipakai, tenaga dan pikiran dicurahkan, bahkan mungkin dana dikeluarkan. Semua jerih payah selama ini akan menemui puncaknya dalam beberapa hari lagi.

Sebagian dari kita mungkin mulai lelah dengan latihan. Sebagian mungkin mulai tegang (atau mungkin PD). Tetapi, satu hal yang paling penting adalah apa yang ada di pikiran dan hati kita tentang pelayanan ini? Apakah kita merasa “ah sudah biasa begini, tinggal tampil, ya sudah.” Atau kita merasa “aduh ini stress banget, cape banget, pengen cepet selesai semuanya. .. lalu liburan.” Apa sebetulnya kerinduan kita melalui pelayanan ini?

Kita berlatih. Itu pasti penting. Kita persiapan, curahkan waktu dan tenaga. Itu juga pasti penting. Tetapi, apa yang ada di pikiran dan hati kita mengenai pelayanan ini, itu jauh lebih penting. Karena apa yang akan kita lakukan bersama tanggal 24 Desember nanti bukanlah pertunjukan dan bukanlah hiburan. Apa sebenarnya yang kita lakukan? Kita berusaha supaya setiap orang yang belum percaya, pada waktu datang, mendengar orang Kristen memuji Tuhan melalui lagu, musik dan melihat drama, hatinya bergetar. Lalu pada waktu dia mendengar Firman, Roh Kudus bekerja membuka hatinya sehingga dia diterangi dan pindah dari kegelapan kepada terang. Kita juga berusaha supaya setiap orang yang sudah percaya, pada waktu datang, mendengar lagu pujian, melihat drama, mendengar khotbah, dia dikuatkan dan dikobarkan lagi imannya.

Ini pekerjaan yang wow. Pada dasarnya yang kita lakukan adalah berusaha mematahkan kuasa kegelapan yang berkuasa di dalam hati orang yang belum percaya dan yang sedang mengintai dan berusaha menjatuhkan orang percaya. Supaya pada akhirnya terang Tuhan bercahaya dan nama Tuhan ditinggikan.

Masalahnya waktu kita menginginkan itu, mengusahakan itu, mengerjakan itu, satu hal yang pasti adalah: Setan tidak akan tinggal diam. Maka jelas pelayanan kita adalah peperangan rohani. Tetapi siapa kita sehingga sanggup mengerjakan pelayanan seperti ini? Siapa kita sehingga sanggup mematahkan kuasa kegelapan dalam hati orang yang belum percaya dan menguatkan serta memulihkan orang yang percaya. Siapa kita?

Pada waktu memikirkan ini, saya kembali mengingat cara kerja Tuhan yang sangat mirip pada waktu Natal yang pertama.

Kalau kita mau anggap peristiwa itu sebagai pelayanan, maka Natal pertama adalah pelayanan yang sangat besar: Menghadirkan Anak Allah ke dalam dunia dan tinggal di tengah manusia.

Halangannya juga bukan main besarnya. Kalau dilihat dari kacamata manusia, maksud Tuhan hampir gagal waktu itu. Peperangannya sangat mengerikan: Setan melakukan apa saja untuk menghalangi hal itu terjadi, termasuk mendalangi pembunuhan semua bayi berusia 2 tahun ke bawah di Bethlehem. Maria sendiri waktu itu bisa menolak jadi “bintang utamanya.” Yusuf bahkan hampir menolak jadi “ketua panitia” karena mau memutuskan pertunangan dengan Maria. Ada resiko orang-orang setempat mengamuk dan seluruh “artis dan panitia” bisa dibunuh dengan ditimpuki batu. Belum lagi ejekan, gosip, caci maki yang terus diterima oleh Yusuf dan Maria. Tidak main-main.

Maka kalau bicara besarnya skala pelayanan, Natal pertama adalah pelayanan terbesar sepanjang sejarah manusia. Nasib seluruh dunia dan seluruh manusia bergantung pada event itu. Kalau bicara ngerinya dan dahsyatnya pelayanan, Natal pertama adalah pelayanan terngeri dan terdahsyat di seluruh sejarah manusia.

Tetapi, anehnya, panitia dan pelayan yang dipilih untuk event sebesar itu adalah Yusuf dan Maria. Dua orang super sederhana, bukan siapa-siapa, dari tempat super kecil, bukan tempat apa-apa. Tetapi di pundak merekalah diletakkan tanggung jawab untuk mengerjakan pelayanan terbesar, terngeri dan terdahsyat di seluruh sejarah manusia.

C. S. Lewis menulis tentang rencana Allah ini: Seluruh rencana besar Allah untuk menyelamatkan dunia, menyempit, dan menyempit, terus sampai akhirnya menjadi satu titik kecil, sangat kecil, yaitu seorang gadis Yahudi yang berdoa. Melalui dia, Allah menghadirkan Yesus ke dalam dunia. Philip Yancey berkata pada waktu dia membaca lagi cerita di Alkitab mengenai kelahiran Yesus, dia gemetar sambil memikirkan bahwa nasib seluruh dunia, nasib seluruh manusia, bergantung hanya pada dua orang anak muda desa tanpa pendidikan, bukan siapa-siapa, dari tempat yang bukan apa-apa.

Tapi tokh akhirnya ketika dua orang yang bukan siapa-siapa itu taat, rencana Tuhan tergenapi.
Saya mencoba membandingkan ini dengan pelayanan kita tanggal 24 Desember nanti. Walaupun pelayanan yang kita lakukan tidak sebesar, sengeri dan sedahsyat Natal yang pertama, tapi esensinya sama.

Pada waktu kita melayani dalam Natal, ingatlah bahwa kita bukan sedang menampilkan pertunjukan, bukan sedang menghibur, bahkan bukan sedang sekedar membuat ibadah indah dan wow. Tetapi, kita sedang melakukan yang sama seperti pelayan Natal yang pertama, Yusuf dan Maria, untuk berdoa, berharap, berusaha, membuka jalan untuk Sang Terang itu hadir di dalam hati manusia yang gelap. Kita berdoa, berharap, berusaha, supaya sang Terang itu menyalakan lagi terangNya yang mungkin hampir padam, di dalam hati anak2-anakNya.

Untuk hal sebesar itu, kita juga sama seperti pelayan Natal yang pertama: Kita bukan siapa-siapa. Tetapi ketika Tuhan memilih kita untuk melayani dan kita berespon dengan ketaatan dan penyerahan diri, Tuhan bisa memakai kita jauh melampaui apa yang mampu untuk kita lakukan.

Maka kembali kepada apa yang saya katakan di awal. Kita latihan, itu pasti penting. Kita persiapan, curahkan waktu dan tenaga, itu juga pasti penting. Tapi apa yang kita pikirkan tentang pelayanan ini? Apa kerinduan kita melalui pelayanan ini? Apakah kita berdoa dengan sungguh-sungguh supaya Tuhan bekerja dengan kuasaNya? Supaya melalui apa yang kita lakukan, yang sebetulnya tidak akan cukup untuk melakukan pekerjaan besar ini, maksud Tuhan tercapai? Apakah kita berharap supaya Terang Tuhan dinyatakan dan menerangi hati setiap orang yang datang? Apakah kita sadar bahwa kita harus bergantung sepenuhnya kepada Tuhan karena ini adalah peperangan rohani melawan kuasa kegelapan?

Apa yang ada di dalam pikiran dan hati kita mengenai pelayanan ini sangatlah penting. Berdoalah dan siapkanlah hati untuk dipakai oleh Tuhan.

Tuesday, November 21, 2017

Baptisan 191117

Salah satu sukacita besar yang saya alami dengan menjadi seorang pendeta adalah ketika melakukan baptisan. Hati saya selalu sangat bersyukur dan terharu melihat orang-orang yang memberi diri untuk dibaptis.

Saya tahu hidup Kristen tidak akan mudah. Mereka yang dibaptis tidak akan luput dari ujian dan pencobaan. Bahkan mereka pasti akan mengalami banyak jatuh bangun. Hidup sebagai anak Tuhan di tengah dunia yang membenci Tuhan pastilah tidak mudah. Hidup sebagai anak Tuhan di tengah dunia dimana kuasa kegelapan mengintai pastilah sulit. Memulai hidup baru setelah sekian lama berada di hidup yang lama pastilah berat.

Tetapi, baptisan adalah peristiwa sukacita. Bagi Martin Luther, itu seperti mengenakan “cincin kawin.” Baptisan adalah saat dimana kita menyatakan “sumpah setia” kita kepada Tuhan, di hadapan Tuhan dan semua orang. Itulah juga saat dimana kita dimeteraikan oleh Tuhan sebagai milik Kristus. Oh, how wonderful event it is!

Bulan Juli sampai November tahun ini saya ikut membimbing kelas katekisasi dewasa di GKY Green Ville. Hari minggu lalu, ada 58 orang yang menerima baptisan dewasa/sidi (27 di antaranya dari kelas katekisasi remaja) dan 8 orang yang atestasi (pindah keanggotaan gereja) ke GKY Green Ville.

Walaupun kali ini bukan saya yang melayani baptisan/sidi, tapi selama 4 bulan beberapa kali mengajar mereka, Retreat bersama mereka, sering chat dan rapat mengenai mereka, membuat saya merasa took a small part in their journey. I'm happy for them.

With some of them :-)

Saya juga bersukacita melihat keluarga iman yang terbentuk di gereja. Bukan hanya keluarga dari mereka yang menerima baptisan/sidi yang datang dan bersukacita. Para mentor kelompok di kelas katekisasi dewasa juga sengaja datang, ikut mendoakan, dan memberikan selamat. Para pembimbing remaja dan anak-anak remaja juga ikut datang menyambut teman-temannya yang menerima baptisan/sidi. I really thank God for that.

Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia.  Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. (Kolose 2:6-7)

Friday, November 10, 2017

NOT "One Bag At a Time"

Sudah cukup lama blog ini terabaikan. Saya sendiri geregetan tapi apa boleh buat. Sebelum pulang ke Jakarta, saya sudah tahu bahwa saya akan sibuk. Saya juga sudah terbiasa sibuk dari dulu. Tetapi selama beberapa bulan ini, saya betul-betul-betul-betul sibuk.

Di satu sisi, disertasi masih harus dikerjakan. Di sisi lain, berbagai pelayanan khotbah, rapat, pertemuan dengan banyak orang, mempersiapkan program tahun depan, dll, seperti tidak ada habisnya mengalir. Satu berhasil diselesaikan, maka tiga lagi yang datang #eh

Saya ingat sebuah cerita tentang Bill Hybels yang ditulis oleh Gary L. McIntosh dan Samuel D. Rima dalam buku mereka Overcoming the Dark Side of Leadership. Di bawah ini saya ceritakan dengan kata-kata saya sendiri.

Pada waktu kecil, Bill Hybels biasa membantu ayahnya menurunkan kentang busuk dari truk. Setelah berjam-jam bekerja, satu karung demi satu karung diturunkan, Bill mengeluh ke ayahnya berapa banyak lagi karung kentang yang masih harus diturunkan. Ayahnya akan menjawab: “Jangan kuatir Billy, kamu hanya perlu menurunkan karung itu satu persatu saja (one bag at a time).” Bertahun-tahun kemudian, itu menjadi etika kerja dia: “one bag at a time.” Tidak peduli berapa pun besarnya tugas yang dihadapi, dia tidak pernah mundur sampai tugas itu selesai. Tetapi, ketika dia memimpin gereja dengan jemaat 14.000 orang, tidak akan pernah mungkin dia bisa menyelesaikan tugasnya. Solusinya? Kerja lebih keras. Teruskan, one bag at a time, sampai tugas itu selesai. Tetapi, setiap kali dia berhasil menurunkan satu karung kentang busuk, maka ada tiga lagi yang menunggu. Kebutuhan psikologis dia untuk menyelesaikan tugas mengosongkan truk penuh kentang busuk itu membuat dia menjadi workaholic. Setiap menit hidupnya dikuasai oleh pekerjaan. Sampai suatu kali, beberapa menit sebelum dia harus memimpin pemberkatan nikah dan beberapa jam sebelum dia harus berkhotbah di kebaktian, dia menyandarkan kepalanya di meja dan menangis sejadi-jadinya. Dia betul-betul kehabisan kekuatan fisik, emosi, dan rohani.

Sejujurnya, saya mulai merasa seperti Bill Hybels yang sedang menurunkan kentang busuk dari truk penuh muatan itu. Tidak habis-habis. One bag at a time. Kerja lebih keras lagi. Bagaimanapun juga, tetap tidak pernah selesai! Hanya saja saya belum sampai breakdown seperti dia.

Beberapa bulan super sibuk ini mengajar saya banyak hal. Salah satunya adalah saya tidak mau menurunkan kentang busuk terus menerus. Dan saya tidak mau bekerja sekedar dengan konsep one bag at a time. Lalu solusinya? Jangan tanya saya sekarang hehe.. Saya belum bisa merumuskannya dengan baik. Saya hanya tahu bahwa something wrong dalam hidup seperti itu dan akan betul menjadi super wrong kalau diteruskan. Ada beberapa rencana yang terpikir oleh saya. Masih akan trial and error. Yang pasti, apa yang saya alami selama beberapa bulan ini, dan kisah Bill Hybels, menjadi rambu peringatan besar bagi saya.

Sedikit update tentang studi saya: Saya baru saja menyelesaikan revisi disertasi saya. Hanya tinggal dipercantik sedikiiittt lagi, lalu saya harus menyelesaikan introduksi (tinggal sedikit lagi) dan konklusi. Terakhir bibliografi. Menurut perhitungan, saya perlu sekitar 8 hari kerja lagi untuk menyelesaikannya. Masalahnya tidak mudah menemukan waktu 8 hari kerja itu di Jakarta :-( Setelah itu selesai? Belum juga. Kalau pembimbing saya meminta untuk revisi lagi, saya masih harus berkata “here I am.” Tapi paling tidak sekarang saya lebih optimis bisa selesai.

Setelah studi ini selesai, itulah saatnya rencana saya untuk tidak sekedar menurunkan kentang, NOT one bag at a time, bisa mulai dijalankan. Saat ini, apa boleh buat, bring it on… but have mercy on me, o God. 


Dapat karangan bunga lagi hehehe... #darianakgokil #virtual #lebay #hasileditan #penghiburan

Monday, September 18, 2017

A Pure Heart

A pure heart that's what I long for
A heart that follows hard after Thee

A heart that hides Your word
so that sin will not come in

A heart that's undivided 
but one You rule and reign

A heart that beats compassion
that pleases You, my Lord

A sweet aroma of worship
that rises to Your throne

Beberapa hari ini saya berulang-ulang menyanyikan lagu ini. Saya menemukan lagu ini bukan saja indah tetapi menyelidiki hati.

Apakah hati saya mengikut Tuhan dengan mati-matian?
Apakah hati saya menyimpan Firman begitu rupa sehingga dosa tidak bisa masuk?
Apakah hati saya tidak terbagi tetapi hanya, dan hanya, diperintah oleh Tuhan?
Apakah hati saya penuh belas kasihan sehingga menyenangkan Tuhan?

Alangkah indahnya hati seperti itu!Bagaikan aroma penyembahan yang manis yang naik ke takhta Tuhan!

Saya belum memiliki such a pure heart. Tetapi saya merindukannya.

Saturday, March 11, 2017

"Pelayanan" yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Kalau kita bertanya ke beberapa orang Kristen “apa sih pelayanan?” , saya yakin kita akan mendapat jawaban yang beragam.

Jawaban yang paling umum adalah “sesuatu yang dilakukan buat Tuhan.” Kalau kita gali jawaban itu lebih jauh, kita akan menemukan bahwa seringkali yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dalam nuansa Kristen dan tidak dibayar (bukan berarti ini benar lho..). Ini artinya super luas!

Tetapi, kadang saya bertanya betulkah semua yang disebut “pelayanan” itu benar-benar pelayanan?

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?

Saya berikan beberapa contoh.

Contoh 1:
Sebuah gereja membentuk suatu tim yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelayanan di kota lain. Tim itu menerima laporan dari mereka yang melayani di kota itu, lalu memberi masukan, kritikan, bahkan mengambil keputusan. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya mengerti pelayanan di kota itu. Mereka juga bukan orang yang memiliki konsep teologis dan strategis yang kuat untuk itu. Seluruh anggota tim merasa sedang "melayani". Tetapi, bagi orang-orang yang berada di garis depan pelayanan di kota itu, apa yang dilakukan tim itu sama sekali tidak menolong malah sebaliknya menghambat. Maka betulkah anggota tim itu sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 2:
Seorang ibu yang suaranya tidak enak didengar ingin "melayani" dengan menyanyi solo di dalam kebaktian. Orang-orang berkata “mau pelayanan kok dilarang?” Tetapi, kalau kebaktian adalah waktu dimana gereja mengajak semua yang hadir menyembah Tuhan dengan lebih baik, apakah dengan menyanyi solo dia membuat jemaat menyembah Tuhan dengan lebih sungguh? Maka betulkah dia sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 3:
Sebuah kelompok musik tanjidor ingin "melayani" dengan mengiringi pujian di dalam kebaktian. Tetapi ketika mereka mengiringi pujian di dalam kebaktian, jemaat sulit untuk menyanyi dengan baik. Jemaat sulit untuk berkonsentrasi menyembah Tuhan dengan diiringi orkestra Betawi itu. Tetapi, seluruh anggota kelompok musik tanjidor itu merasa mereka melayani Tuhan dengan talenta mereka. Betulkah mereka sedang mengerjakan pelayanan?

Saya bisa berikan banyak contoh lain. Tetapi saya kira contoh-contoh di atas cukup menjelaskan maksud saya.

Bisakah kegiatan-kegiatan di atas disebut pelayanan? Karena saya tidak ingin menghakimi, anggaplah kegiatan-kegiatan di atas sebagai "pelayanan" yang kurang pas disebut pelayanan.

Di mana sebetulnya kesalahan “pelayanan” dalam contoh-contoh yang saya sebutkan di atas? Pada contoh 1, kesalahannya mungkin adalah pengaturan struktur organisasi. Pada contoh 2, kesalahannya adalah talenta yang tidak cocok. Pada contoh 3, kesalahannya adalah tidak sesuai dengan kebutuhan.

Tetapi, kesamaannya adalah apa yang mereka lakukan tidak menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan. Mereka mungkin tulus, betul-betul mengerjakannya untuk Tuhan. Mereka mungkin juga memberi yang terbaik yang mereka bisa. Tetapi, apa yang mereka lakukan tidak efektif.

Saya tidak bermaksud mengatakan pelayanan selalu harus menghasilkan sesuatu yang jelas, kelihatan, dan terukur. Tidak. Banyak hal yang kita lakukan dalam Kerajaan Tuhan sifatnya menanam dan tidak langsung terlihat hasilnya. Maka kalau kita menanam dan tidak melihat hasilnya sampai puluhan tahun sekalipun, tidak apa! (Asalkan motivasi dan caranya benar, benihnya benar, dan kita yakin Tuhan mau kita lakukan itu). Tetapi pertanyaannya betulkah kita menanam? Jangan-jangan yang kita lakukan justru sedang menghambat atau, lebih parah lagi, merusak. Pelayanan tidak harus efisien (tidak memboroskan waktu, usaha, dan uang) tetapi harus efektif (mencapai hasil yang diinginkan - sekalipun lama sekali)!

Maka jangan asalkan tidak dibayar dan dalam nuansa Kristen, lalu berkata "saya ini kan pelayanan". Coba tanyakan kepada diri sendiri: “Betulkah yang saya lakukan ini menghasilkan kebaikan bagi Kerajaan Tuhan? Dengan cara bagaimana?”

Pertanyaan lebih jauh adalah: “Apakah ini adalah yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk Kerajaan Tuhan? Atau saya bisa melakukan yang lain, yang lebih efektif, yang lebih berguna untuk Kerajaan Tuhan, yang tidak saya lakukan karena ngotot dengan yang ini?”

NB: Saya tahu tulisan ini menyederhanakan banyak hal. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Saya hanya berharap tulisan ini mengajak kita lebih kritis dalam mengerjakan pelayanan.

Wednesday, March 08, 2017

My Dissertation Writing - 6

Saya baru menyerahkan Bab 5. Seperti biasa, mundur dari rencana awal. *sigh* Recananya paling lambat di akhir Januari tapi akhirnya molor sampai awal Maret. *sigh*

Saya masih perlu menulis Bab 6, memperbaiki Bab 1 (Introduksi), dan menulis kesimpulan. Kemudian merevisi lagi semuanya sesuai permintaan pembimbing nanti.

TTC memberi standard 90.000 kata untuk disertasi (artinya bisa kurang sedikit tapi tidak boleh lebih). Untuk Bab 1 – 5, saya sudah menulis hampir 80.000 kata. Maka untuk Bab 6, saya hanya boleh menulis maksimal 8.000 kata supaya masih ada ruang jika nanti perlu tambahan di sana sini. Mudah-mudahan berarti bisa cepat.

Saya kepengen (pake banget) bisa ngomong “it is finished”. Tapi belum bisa. It’s ok, karena nanti setelah selesai mungkin saya akan merindukan masa-masa ini. Dilematis.

Waktu untuk pulang ke Jakarta juga semakin mendekat. Status visa saya di Singapore sudah berubah dari “student” menjadi “social” a.k.a. “turis”. Setelah sekian lama selalu lewat autogate di imigrasi Singapore, sekarang harus kembali antri di jalur biasa :-)

Kapan selesai semuanya? Saya tidak tahu. Kapan sidang disertasi? Saya juga tidak tahu. Yang saya tahu adalah sebelum pulang ke Jakarta saya harus berusaha sebisanya menyelesaikan Bab 6. Setelah itu, saya akan menyelesaikan penulisan disertasi dengan cara bolak balik Jakarta-Singapore. Banyak yang meragukan apa mungkin disertasi bisa selesai dikerjakan dengan cara seperti itu. Saya yakin bisa. Tapi tidak tahu berapa lama hehe..

Selagi menulis post ini, saya menerima email dari sekolah yang mengingatkan bahwa paling lambat saya harus selesai tanggal 30 Juni. Kalau sampai tidak.. berarti bayar uang sekolah lagi hehe.. (yang ini tersirat bukan tersurat). Ok, noted.


Wednesday, February 08, 2017

Pilkada Jakarta 2017 - Sebuah Catatan

Semua yang saya tulis disini saya kira sudah pernah ditulis oleh orang lain dengan lebih baik dan lebih lengkap. Tidak ada yang baru. Saya hanya ingin menuliskan catatan apa yang saya yakini di dalam Pilkada Jakarta kali ini.

Di dalam setiap pemilihan pemimpin, apapun dan dimanapun itu, tidak pernah ada calon yang sempurna. Itu pasti. Kadang calonnya semuanya buruk, maka pilihannya adalah yang terbaik di antara yang buruk (sedih). Kadang mungkin, walaupun tidak sempurna, calonnya semuanya baik sampai sulit sekali memilih yang mana (ruaarrr biasa.. kapan ya itu?). Tapi Pilkada Jakarta kali ini berbeda.

Saya mencoba dengan objektif (walaupun tidak mungkin bisa 100%) untuk menilai pasangan-pasangan calon yang ada.

Pertama, dari konsep pembangunan. Saya tidak menemukan ada pasangan calon penantang yang mempunyai banyak ide yang konkrit dan bagus untuk membangun Jakarta. Perhatikan beberapa istilah itu: “Bagus” artinya ya bagus; “Konkrit” artinya tidak mengawang tapi pasti bisa dilaksanakan dan jelas tahapannya; “Banyak” artinya ya banyak. Ada pasangan calon yang mempunyai ide yang “bagus” tapi kurang “konkrit” dan sama sekali tidak “banyak.” Ada yang sama sekali tidak mempunyai ide yang “bagus.”

Kedua, dari konsep ke-Bhinneka-an. Saya melihat sebetulnya mungkin (cuma mungkin lho ya) kedua pasangan calon penantang tidak punya cita-cita menghancurkan kemajemukan Indonesia atau membiarkan NKRI dijadikan negara berbasis agama. Rasanya mereka tidak ingin sampai ke situ. Tetapi, saya melihat ketidakpedulian ketika kampanye mereka, demi meraih suara, menghancurkan “tenun kebangsaan” Indonesia (saya pinjam istilah yang terkenal ini hehe..). Saya juga melihat kenaifan (atau kemunafikan) mereka dengan mengabaikan kampanye hitam dan berkembang suburnya radikalisme di tengah “pendukung” mereka. Maka saya melihat sifat oportunis negatif (bukan positif) yang bisa menjadi sangat mengerikan kalau mereka memimpin kota Jakarta.

Ketiga, dari keberpihakan pada rakyat. Ini subjektif walaupun masih bisa diukur secara objektif.

Saya tidak tahan mendengar konsep mendayu-dayu dari paslon nomor 1 yang merayu-rayu rakyat dengan menggambarkan petahana sebagai pemimpin yang tidak memikirkan kepentingan rakyat dengan menggusur. Berapa kali pun dijelaskan bahwa pemindahan (bukan penggusuran) tidak akan dilakukan sebelum rusun tersedia, berapa kali pun dijelaskan bahwa fasilitas kesehatan, pendidikan, ekonomi, semua sudah diusahakan, teteeuuppp… ngomongannya sama “apakah tidak memikirkan mereka?”Apakah membiarkan mereka tinggal di tengah tepi sungai dan membiarkan Jakarta banjir itu lebih berpihak pada rakyat? Tidak pernah dijawab.

Saya juga tidak tahan mendengar jargon-jargon paslon nomor 3 yang mengawang. Saya sebutkan satu saja. Di dalam debat waktu itu, kalau tidak salah ketika bicara reformasi birokrasi, paslon nomor 2 mengangkat isu “integritas” yang tandanya adalah kejujuran, lalu dibalas oleh paslon nomor 3: “Integritas bukanlah sekedar kejujuran. Integritas adalah keberpihakan pada nilai.” Silakan cari kamus atau buku yang membenarkan definisi itu. Super mengawang. Lalu mereka berkata “yang terpenting adalah budaya kerja yang baik… pemimpin harus merangkul, bukan memukul.” Selain mengawang lagi, di tengah kondisi banyaknya birokrat yang astaganaga mentalnya, bisa dibayangkan siapa yang akan dirugikan dengan konsep seperti itu.

Tapi ok lah, saya mengerti karena ingin menang maka perlu senjata retorika. Tetapi, saya ingin mendengar kalau begitu konsep apa yang ditawarkan yang berpihak pada rakyat? Lebih lagi, sebetulnya saya ingin melihat hati yang mengasihi rakyat. Jujur, saya tidak bisa melihat itu dari paslon nomor 1 dan nomor 3. Saya yang salah? Mungkin, karena saya subjektif. Tapi, secara objektif?

Saya tidak melihat Pilkada Jakarta kali ini sebagai “memilih yang terbaik dari yang buruk” atau “memilih yang terbaik dari yang baik.” Karena saya melihat ada satu (dan hanya satu) paslon yang memiliki konsep yang “baik, konkrit dan menyeluruh” untuk pembangunan Jakarta. Saya melihat ada satu (dan hanya satu) paslon yang tidak bermain dengan konsep ke-Bhinneka-an NKRI. Saya juga melihat keberpihakan pada rakyat paling nyata pada paslon itu. Betul mereka tidak sempurna tapi mereka terbaik dan sayangnya tanpa saingan. Maka saya akan memilih mereka - Nomor 2.

Saya tidak pro Pak Ahok. Ini bukan soal orangnya apalagi agama dan rasnya. Tidak ada hubungan sama sekali dengan semua itu. Ini soal rakyat. Ini soal keadilan sosial. Ini soal Jakarta dan Indonesia.

Nama sudah diperiksa dan terdaftar. Tiket ke Jakarta sudah dibeli. Kami akan pulang menyumbang 2 suara untuk rakyat.

#padamunegerikamiberbakti

Friday, February 03, 2017

Lakukanlah Kepadaku Apapun Juga

Saya menaruh buku The Imitation of Christ (Thomas A. Kempis) di atas meja belajar saya. Kadang saya mengambilnya, membaca satu bagian singkat, merenung sebentar, dan disegarkan atau ditantang olehnya. Hari ini saya membaca sebuah bagian berupa doa dari seorang murid Kristus:

Lord, what You say is true. Your care for me is greater than all the care I can take of myself. For he who does not cast all his care upon You stands very unsafely. If only my will remain right and firm towards You, Lord, do with me whatever pleases You. For whatever You shall do with me can only be good. 

If You wish me to be in darkness, I shall bless You. And if You wish me to be in light, again I shall bless You. If You stoop down to comfort me, I shall bless You, and if You wish me to be afflicted, I shall bless You forever.

Saya terjemahkan bebas:

Tuhan, perkataanMu benar adanya. PemeliharaanMu bagiku melebihi apapun yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri. Karena barangsiapa yang tidak meletakkan segala kekuatirannya padaMu berdiri dengan sangat tidak aman. Kalau saja kehendakku tetap benar dan teguh terarah kepadaMu, Tuhan, lakukanlah kepadaku apapun yang menyukakanMu. Karena apapun yang akan Kau lakukan kepadaku hanyalah kebaikan semata. 

Jika Engkau menginginkanku berada dalam kegelapan, aku akan memujiMu. Dan jika Engkau menginginkanku untuk berada dalam terang, juga aku akan memujiMu. Jika Engkau membungkuk untuk menghiburku, aku akan memujiMu, dan jika Engkau menginginkanku menderita kemalangan, aku akan memujiMu selamanya. 

Saya membaca doa ini beberapa kali. Ada dua hal yang kemudian terpikir oleh saya: Pertama, saya tahu apa yang dia tuliskan di dalam bentuk doa itu sangatlah tepat. Itulah doa seorang Kristen yang mencintai Tuhannya - doa seorang murid Kristus. Tetapi, yang kedua, saya ngeri untuk mengucapkannya dengan sungguh.

Sangat jarang sebetulnya kita berdoa kepada Tuhan dengan sikap "lakukanlah kepadaku apapun juga." Hampir tidak pernah kita berdoa "Tuhan berikanlah kepadaku apapun juga, kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan... apapun juga... dan aku tetap akan memujiMu!" Wow...

Kalau doa ini menyebutkan dua sisi, A dan B, senang dan susah, sehat dan sakit, kaya dan miskin, maka kita selalu minta yang A. Lebih celaka lagi kalau sikap kita: "Berikan aku yang A, karena itu sudah seharusnya. Berikan aku yang B, maka aku marah."

Kalau kita perhatikan, dia berani berdoa seperti di paragraf kedua it karena ada paragraf pertama. Dia berani berdoa minta "apapun juga" karena dia percaya kepada Tuhan. Dia percaya akan kasih dan pemeliharaan Tuhan. Dia percaya Tuhan mampu dan mau memelihara dia bahkan lebih daripada dirinya sendiri. Apapun yang baik yang dia inginkan bagi dirinya, Tuhan lebih ingin! Itu sebabnya dia percaya apapun yang dilakukan Tuhan kepadanya adalah kebaikan semata. Maka "Bring it on, Lord! Lakukanlah kepadaku apapun juga! Aku akan memujiMu!"

Saya jadi berpikir betapa bedanya hidup rohani kita kalau kita sering berdoa seperti ini.

Betapa kita, termasuk saya, perlu terus belajar berdoa. Karena bagaimana kita berdoa - berbincang dengan Tuhan, akan menentukan kerohanian kita.