Pada bulan April tahun lalu saya menulis sebuah tulisan yang berjudul "Gereja Setelah Covid-19"
https://jeffreysiauw.blogspot.com/2020/04/gereja-setelah-covid-19.htmlDi dalam tulisan itu saya mengutip sebuah bagian dari buku The Trellis and The Vine. Waktu itu buku itu mendadak mendapat perhatian khusus karena di bagian penutupnya, penulis buku itu membayangkan terjadinya pandemi. Sesuatu yang pasti tidak disangka oleh penulisnya akan betul2 terjadi karena buku itu terbit tahun 2009 dan pandemi terjadi di tahun 2020.
Saya akan ulangi kutipan saya di dalam tulisan itu. Dia menulis kira2 begini:
Bayangkan terjadi pandemi di seluruh bagian dunia anda dan pemerintah melarang orang berkumpul lebih dari tiga orang, untuk alasan kesehatan dan keamanan. Dan kondisi itu terjadi selama 18 bulan.
Kalau ada 120 jemaat di gereja anda, bayangkan bagaimana gereja tetap bisa berfungsi – tanpa ada pertemuan persekutuan rutin apapun, dan tidak ada persekutuan rumah tangga, kecuali hanya tiga orang yang berkumpul?
Kalau anda adalah pendetanya, apa yang akan anda lakukan?
Mungkin anda bisa kirim email atau menelpon mereka, atau membuat rekaman audio. Tetapi bagaimana bisa tetap mengajar dan menggembalakan mereka? Bagaimana mendorong mereka untuk tetap mengasihi dan melakukan hal yang baik di tengah situasi ini? Dan bagaimana dengan penginjilan? Bagaimana menjangkau orang baru dan melakukan follow up?
Anda perlu bantuan. Anda harus mulai dengan 10 orang jemaat yang dewasa, lalu bertemu secara intensif dengan mereka, bergantian dua orang demi dua orang selama dua bulan. Anda harus melatih mereka bagaimana membaca Alkitab, bagaimana berdoa dengan satu atau dua orang lain, dan dengan anak-anak mereka. Maka ada dua tugas mereka: Pertama, menggembalakan keluarga mereka dengan secara rutin membaca Alkitab dan berdoa. Kedua, mencari orang lain untuk dilatih dan didorong melakukan yang sama. Maka dalam waktu beberapa bulan gerakan ini akan meluas dengan cepat. Tugas anda sebagai pendeta adalah memberikan support kepada mereka sambil mencari orang lain lagi.
Akan ada banyak sekali kontak pribadi dan pertemuan kelompok kecil yang harus dilakukan. Tetapi ingat bahwa tidak ada kebaktian yang harus dijalankan, tidak ada seminar, tidak ada kerja bakti, tidak ada persekutuan rumah tangga, tidak ada acara apapun untuk diorganisir. Semuanya hanyalah mengajar dan memuridkan secara pribadi dan melatih orang untuk menjadi pembuat murid.
Pertanyaan dia yang menarik adalah: Setelah 18 bulan seperti itu, ketika larangan akhirnya dicabut dan kita bisa kembali berkumpul untuk ibadah, persekutuan, dan melakukan semua aktivitas lainnya, apa yang akan berubah? Bagaimana program, pelayanan, dll, akan berubah?
Pertanyaan terakhir itu sangat menggelitik. Kalau selama 18 bulan, kita memelihara kehidupan rohani jemaat melalui kelompok2 kecil dengan firman Tuhan dan doa. Perhatikan, bukan sekedar kelompok kecil, ngobrol sana sini, tapi kelompok kecil yang belajar firman Tuhan dan berdoa. Lalu selama 18 bulan itu juga kita menghasilkan orang-orang yang terjun menjadi pembuat murid – mereka mengajar orang lain membaca Alkitab dan berdoa untuk orang-orang itu. Kemudian selama 18 bulan itu juga kita melihat buahnya – bahwa orang-orang ternyata bertumbuh dengan firman Tuhan dan doa. Setelah 18 bulan berlalu dan kita terbiasa mencurahkan energi dan waktu pada pelayanan yang satu itu dan kita melihat bahwa pertumbuhan terjadi tanpa semua kegiatan dan acara yang rutin dilakukan gereja, apakah tidak ada yang akan berubah ketika keadaan normal?
Itu pertanyaan yang sangat baik! Karena kalau itu yang dilakukan gereja selama pandemi, maka setelah pandemi, pelayanan gereja pasti akan berubah!
Ketika saya menulis itu, saya juga tidak terpikir bahwa pandemi akan berlangsung sampai hari ini. Tetapi hari ini, setelah 17 bulan pandemi di Indonesia, saya harus berkata bahwa apa yang dia “nubuatkan” itu tidak terjadi. Betul pandemi berjalan lama, bahkan ini akan lebih dari 18 bulan - lebih dari contoh yang dia berikan. Tapi kondisi yang dia bayangkan akan terjadi, ternyata tidak terjadi.
Alasannya adalah karena ada 2 asumsi yang dia bayangkan di dalam skenario itu, yang kemudian juga tidak terjadi:
1. Asumsi pertama adalah dia membayangkan bahwa di dalam masa pandemi itu bahwa gereja tidak bisa berfungsi, tidak ada pertemuan persekutuan rutin, persekutuan rumah tangga, tidak ada apapun. Pemerintah hanya mengizinkan pertemuan 3 orang. Maka dia membayangkan bahwa gereja dan hamba Tuhan menganggur, tidak ada yang bisa dikerjakan.
2. Asumsi kedua yang dia pikirkan adalah ketika para hamba Tuhan itu tidak tahu harus berbuat apa, karena semua aktivitas berhenti, maka para hamba Tuhan itu kemudian terpikir untuk melakukan pemuridan dengan cara yang sederhana saja. Hamba Tuhan memuridkan 2 orang bagaimana membaca Alkitab dan bagaimana mendoakan orang lain. Lalu mendorong mereka melakukannya di keluarga dan mencari 2 orang lain lagi untuk diajarkan hal yang sama.
Kedua asumsi di atas tidak terjadi.
Mengapa? Ada 2 alasan:
Pertama, teknologi ternyata bisa menjadi bumerang.
Pada waktu dia menuliskan buku itu di tahun 2009 atau 2008, teknologi sama sekali belum seperti sekarang.
Youtube baru didirikan tahun 2005, dan dibeli oleh Google tahun 2006. Maka di tahun 2008 atau 2009, Youtube belum seperti hari ini. Tidak ada orang yang bisa melakukan Youtube streaming ataupun premier waktu itu. Zoom bahkan belum ada. Instagram juga belum ada. Bahkan Whatsapp pun baru muncul Januari 2009.
Hari ini semua teknologi itu sudah ada dan berkembang luar biasa. Maka gereja-gereja memanfaatkannya untuk tetap melakukan berbagai aktivitas. Kebaktian direkam atau live streaming lewat Youtube. Persekutuan rutin dilakukan lewat Zoom dan disiarkan di Youtube. Maka kegiatan tetap berjalan. Kita pindahkan semua kegiatan fisik itu ke platform digital.
Maka para hamba Tuhan tetap sibuk. Ditambah lagi, karena platform digital tidak bisa banyak menyentuh unsur relasional, maka yang lebih menonjol adalah unsur performance. Maka setiap gereja dituntut untuk menampilkan sesuatu yang lebih baik dan lebih baik. Itu berarti lebih sibuk.
Kedua, kebanyakan hamba Tuhan tidak berpikir untuk melakukan pemuridan. Ini adalah asumsi kedua yang tidak terjadi. Mereka berpikir bagaimana memperhatikan jemaat dengan telpon, tanya kabar, mungkin besuk. Mereka berpikir bagaimana mendoakan yang kesusahan. Mereka mungkin juga terpikir untuk membuat kelompok-kelompok pemerhati sebagai kelompok adminisrasi jemaat, jadi ada yang memperhatikan semua jemaat dan ada tempat kemana jemaat harus datang kalau membutuhkan. Tetapi, kebanyakan tidak berpikir untuk melakukan pemuridan: Mengajarkan orang membaca Alkitab dan mendoakan orang lain, dan mengajarkannya lagi kepada orang lain.
Maka pandemi sudah berjalan 17 bulan di Indonesia, apa yang dibayangkan oleh penulis buku itu tidak terjadi. Bahkan sekalipun pandemi ini berjalan 1 tahun lagi, saya yakin apa yang dia bayangkan tetap tidak akan terjadi.
Mengapa? Karena yang dipikirkan oleh banyak gereja adalah memindahkan kegiatan dari pertemuan fisik ke platform digital. Besuk sekarang lewat telpon. Kebaktian sekarang lewat Youtube. Persekutuan sekarang lewat zoom. Saya tidak bilang keberadaan teknologi seperti Youtube atau Zoom itu buruk. Bukan itu masalahnya. Tapi masalahnya ada di konsep.
Pandemi memaksa kita berubah. Tapi kalau yang kita rubah hanyalah bungkusnya, sementara isinya sama, kesibukannya sama, cara berpikirnya sama, maka kita bukan saja menyia2kan penderitaan lewat pandemi ini tapi mungkin kita akan semakin hancur.
Maka saya mengajak gereja, rekan-rekan hamba Tuhan, dan jemaat, mari berpikir dengan sungguh apa yang harus dilakukan di masa pandemi ini? Bagaimana orang dibimbing kenal Tuhan? Bagaimana menolong jemaat bertumbuh?
Kuasa ada pada firman Tuhan dan doa. Tapi, sayangnya, banyak orang Kristen tidak bisa membaca dan mengajarkan firman, tidak bisa mendoakan dan mengajar orang lain berdoa.
Maka saran saya mulailah dari kecil. Cari beberapa orang, ajari mereka dulu, sampai kemudian mereka bisa mengajar orang lain. Jangan langsung membagi seluruh jemaat dalam kelompok-kelompok kecil karena tidak akan berhasil. Fokuslah pada 2-3 org dulu, beberapa bulan mengajar mereka, lalu utus mereka melakukan yang sama.
Bagi yang sudah lama jadi orang Kristen, mungkin ini saatnya mulai belajar lebih dan membagikannya kepada orang lain. Ajak orang-orang yang anda kenal untuk membaca Alkitab bersama. Atau buatlah kelompok untuk PA bersama. Bukan hanya untuk sharing, tapi untuk belajar firman Tuhan dan berdoa. Kemudian lakukan itu dengan batas waktu, mungkin 3 bulan atau 6 bulan. Ketika batas waktunya tiba, setiap orang harus mencari lagi orang lain, keluarga mereka atau teman mereka, untuk diajar yang sama. Demikian seterusnya.
Waktu ini singkat. Hidup ini singkat. Mari prioritaskan yang betul-betul penting dan berguna untuk dilakukan, khususnya dalam masa pandemi ini.