Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar khotbah seorang pendeta yang menegur orang Kristen yang suka mengatakan “Ampunilah dosa yang kami lakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja” ketika berdoa minta pengampunan dosa. Pendeta tersebut tidak setuju dengan kalimat itu karena menurut dia “Dosa tidak pernah disengaja”. Alasan yang diberikan adalah “Kalau sengaja, namanya menghujat Roh”. Lalu dia menyambung “Dosa itu keluar dari rel, tergelincir, meleset. Dosa tidak pernah sengaja karena tidak ada orang yang sengaja keluar rel, sengaja tergelincir”.
Saya ingin membahas pandangan pendeta itu karena kalimat itu memang sering diucapkan dan didengar oleh kita. Ada baiknya kalau kita memikirkan kalimat itu sebelum kita mendengar atau mengucapkannya lagi.
Kehendak selalu mendahului tindakan. Untuk melakukan sesuatu, kita harus punya kehendak untuk melakukannya. Kita tidak mungkin tidak punya kehendak apa-apa. Tidak melakukan apa-apa pun adalah karena kita berkehendak untuk tidak melakukan apa-apa.
Berdasarkan itu, kita bisa mengatakan ‘melakukan dosa dengan sengaja’ artinya adalah dengan kehendak atau kemauan sendiri kita melakukan dosa. Ada kehendak dan kemauan, ada pilihan, lalu dengan sadar kita memilih pilihan yang berdosa sesuai kehendak atau kemauan kita itu. Misalnya, contoh klasik, menonton film porno. Ada banyak langkah yang harus diambil untuk menonton film porno dan di setiap langkah kita punya pilihan, seperti mengambil film itu atau tidak, memasukkannya ke player atau tidak, menekan tombol play atau tidak, dan menonton atau tidak. Maka ketika kita sampai menonton film itu, jelas kita ‘melakukan dosa dengan sengaja’.
Kalau begitu apa yang disebut dengan ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’?
Sebenarnya jika dilihat dari kacamata ‘kehendak-mendahului-tindakan’, semua dosa pasti kita lakukan dengan sengaja. Apapun yang kita lakukan pasti ada kehendak dan kemauan untuk melakukannya Kita memilih untuk melakukan sesuatu, berarti kita melakukannya dengan sengaja!
Maka kalimat pendeta di atas justru terbalik. Mustinya ‘tidak ada dosa yang dilakukan dengan tidak sengaja’. Dosa memang bisa digambarkan seperti tergelincir dari rel. Tetapi kita memang sengaja menggelincirkan diri dari rel!
Sebelum kita percaya kepada Tuhan, rasul Paulus katakan keadaan kita adalah mati (Ef 2:1). Keadaan mati rohani ini menyebabkan kita tidak punya kemampuan untuk melakukan apapun juga yang tidak tercemar dosa. Tetapi pada waktu percaya kepada Tuhan, kita dihidupkan kembali dari kematian rohani kita, kita diberikan kemampuan untuk tidak berbuat dosa. Dengan kata lain, kita diberikan kehendak untuk tidak memilih dosa. Tetapi dalam kelemahan kita, dan di tengah-tengah dunia yang penuh dosa dan godaan berdosa ini, seringkali kita memilih lagi untuk berdosa.
Tidak tepat kalau kita katakan itu ‘menghujat Roh’. Kalau itu dikatakan menghujat Roh Kudus, maka semua orang Kristen menghujat Roh Kudus! Arti menghujat Roh Kudus adalah ketika kita dengan sengaja menolak pekerjaan Roh Kudus yang menerangi hati kita, dan kita lakukan itu bukan satu kali, tetapi terus menerus sampai kita mati. Itu disebut sebagai dosa yang tidak bisa diampuni, karena kita sudah menolak Dia sampai akhir dan tidak punya lagi kesempatan untuk diampuni.
Maka kembali ke pertanyaan di atas, apa yang dimaksud dengan ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’?
Mungkin contoh di bawah ini bisa mewakili apa yang sering kita bayangkan sebagai ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’. Misalnya kita menegur seseorang karena melakukan kesalahan. Teguran kita benar dan bahkan kita lakukan dengan kasih, tetapi ternyata ada kalimat kita yang bukan membangun dia melainkan menyakiti dia. Kita tidak pernah punya kehendak atau kemauan untuk menyakiti dia, tetapi itu terjadi. Maka kita ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’.
Tetapi bukankah kita bisa memilih untuk mengucapkan atau tidak mengucapkan kalimat yang menyakiti itu? Kita tetap memilih untuk mengucapkannya berdasarkan kehendak kita. Dan itu berarti sengaja!
Tunggu dulu, saya tahu ada yang langsung tidak setuju dengan saya. Saya tahu bahwa bagaimanapun kita tidak bermaksud menyakiti orang itu, dan kita tidak terpikir bahwa kalimat kita akan berdampak buruk kepada dia. Itu sebabnya saya setuju bahwa perbuatan seperti contoh di atas bisa disebut ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’. Tetapi kita harus mengerti bahwa yang disebut dosa tidak sengaja hanyalah satu ungkapan ‘murah hati’ untuk menyebut ‘melakukan dosa dengan sengaja’ dalam dunia yang berdosa ini.
Kita tetap bertanggung jawab untuk dosa itu, karena kita memilih untuk melakukannya. Di balik pilihan kita mungkin ketidak-pedulian kita mengerti latar belakang orang itu, tetapi sudah ingin cepat memberi nasihat. Atau mungkin kita terbawa emosi kita sehingga tidak memikirkan matang-matang dampak kalimat kita. Apapun alasannya, kita sengaja memilih untuk melakukannya. Tetapi inilah kita! Sulit sekali untuk betul-betul tidak melakukan dosa. Kita lemah sekali, dan kelemahan emosi kita, kelemahan hati nurani kita yang tercemar dosa, kelemahan rasio kita yang terpengaruh dosa, menyebabkan kita sulit sekali untuk memilih tidak melakukan dosa. Itu sebabnya kita mengatakan, dengan murah hati, kita ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’.
Alangkah kita membutuhkan kemurahan Tuhan hari demi hari mengampuni dosa kita, yang kita lakukan dengan sengaja maupun ‘tidak sengaja’!
Saturday, March 17, 2007
Wednesday, March 14, 2007
Kejadian 1-11
Kitab Kejadian pasal 1-11 bercerita tentang sejarah awal umat manusia. Di dalamnya kita menemukan kisah bagaimana dunia dan manusia diciptakan, bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa, bagaimana dosa itu menyebar, bagaimana air bah diturunkan oleh Tuhan, dan seterusnya.
Kejadian 1-11 sebetulnya bukan satu-satunya literatur yang menceritakan sejarah awal umat manusia. Hampir semua dunia beradab di daerah Timur Dekat kuno (Timur Tengah sekarang) mempunyai literatur yang juga menceritakan sejarah awal umat manusia. Tetapi ketika literatur-literatur itu dibandingkan dengan kitab Kejadian, maka kita menemukan perbedaan yang besar.
Di bawah ini adalah perbandingan beberapa ciri-ciri mereka:
Literatur lain
Contoh lain adalah Gilgamesh Epic (ditulis sekitar 2600 SM). Di dalamnya berisi cerita pengalaman dari seorang bernama Utnapishtim. Dia pernah diberitahu oleh dewa mengenai rencana akan adanya banjir besar yang melanda seluruh bumi. Utnapishtim ini kebetulan menyembah dewa yang tidak setuju dengan rencana air bah itu, maka ia diberitahu oleh dewa itu untuk membuat bahtera dan masuk bersama keluarganya dan pasangan-pasangan binatang. Setelah air bah mulai, ternyata para dewa pun ketakutan karena merasa air bah itu sudah di luar kontrol mereka. Setelah badai berlangsung 7 hari, air mulai surut dan bahtera itu mendarat di puncak gunung. Utnapishtim lalu melepaskan burung merpati, layang-layang, gagak, dan ketika gagak itu tidak kembali dia tahu air sudah surut. Maka ia keluar dan mempersembahkan kurban kepada para dewa dan para dewa langsung mengerumuni kurban itu seperti lalat karena sudah sangat ingin makan daging. Enlil (dewa yang paing kuat) kaget ketika mengetahui Utnapishtim selamat, tetapi ia senang dengan persembahan Utnapishtim. Akhirnya Utnapishtim diubah menjadi dewa, dan dewa berjanji tidak akan memberikan lagi air bah.
Jelas ada kemiripan sekaligus perbedaan antara kisah dalam literatur-literatur ini dengan kisah dalam Kejadian 1-11.
Sekalipun beberapa literatur itu lebih tua dari kitab Kejadian, kemiripan yang ada bukan berarti Musa mencontek literatur-literatur itu. Ini hanya menunjukkan bahwa Kejadian 1-11 menjawab pertanyaan yang sama yang sering dipertanyakan manusia zaman itu. Tetapi jawabannya sangat berbeda karena Kejadian 1-11 adalah wahyu dari Tuhan, cerita yang sesungguhnya, cerita yang asli dari Sang Pencipta.
Kita boleh yakin pada waktu itu ada kisah yang beredar baik dalam bentuk oral maupun tulisan mengenai sejarah awal manusia. Seluruh manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, maka kisah-kisah mengenai taman Eden, kejatuhan dalam dosa, dsb, pasti terus disampaikan turun temurun sampai zaman Nuh. Setelah air bah terjadi, semua manusia kemudian adalah keturunan Nuh juga (karena hanya Nuh dan keluarganya yang masih hidup). Maka ketika mereka menyebar (dicatat dalam Kejadian 11), mereka pasti juga membawa kisah mengenai peristiwa-peristiwa sebelum air bah dan kisah air bah itu sendiri dari nenek moyang mereka yaitu Nuh dan keluarganya.
Tetapi ketika kita membaca literatur-literatur kuno tersebut, ternyata kita melihat sudah terjadi distorsi yang besar sekali, cerita sudah menjadi sangat berbeda dengan cerita asli seperti yang diwahyukan Tuhan. Penyebabnya? Selain mungkin disebabkan oleh penyampaian yang tidak akurat, pasti juga disebabkan karena dosa, manusia tidak lagi menyembah Allah yang benar.
Dari kacamata ini, kita melihat Kejadian 1-11 sangat luar biasa. Di tengah-tengah zaman yang menerima, secara mutlak, konsep politheisme dan manusia adalah budak para dewa, tiba-tiba muncul kisah dengan konsep yang total berbeda, totally different world view. Tidak ada konsep seperti itu di zaman itu.
Dan dari kacamata ini juga, kita melihat betapa baiknya Tuhan memberitahu pada kita kebenaran yang sesungguhnya. Allah memberitahu kebenaran supaya manusia kenal Allah yang sejati. Darimanakah kita mengetahui semuanya kalau bukan dari wahyu Tuhan? Sungguh, wahyu Tuhan adalah penyingkapan apa yang tak mungkin manusia ketahui. Kalau begitu, bagaimana mungkin ada manusia yang sok tahu sesuatu yang Allah tidak singkapkan?
Kejadian 1-11 sebetulnya bukan satu-satunya literatur yang menceritakan sejarah awal umat manusia. Hampir semua dunia beradab di daerah Timur Dekat kuno (Timur Tengah sekarang) mempunyai literatur yang juga menceritakan sejarah awal umat manusia. Tetapi ketika literatur-literatur itu dibandingkan dengan kitab Kejadian, maka kita menemukan perbedaan yang besar.
Di bawah ini adalah perbandingan beberapa ciri-ciri mereka:
Literatur lain
- Ada kisah penciptaan para dewa
- Politheisme (ada banyak dewa)
- Ada perang kosmik antar dewa dalam peristiwa penciptaan
- Manusia dicipta untuk jadi budak dewa
- Ketika penciptaan selesai, dunia tidak sempurna, tetapi perlahan-lahan makin baik
- Allah tidak diciptakan
- Monotheisme (hanya 1 Allah yaitu Allah yang Esa)
- Allah mencipta hanya dengan Firman dan semua jadi
- Manusia dicipta dalam gambar dan rupa Allah. Allah malah memberikan mandat kepada manusia untuk berkuasa atas alam semesta. Bahkan ketika manusia diciptakan, bukan manusia yang menyediakan manakan Allah tetapi justru Allah yang menyediakan keperluan manusia
- Ketika penciptaan selesai, semuanya sangat baik, tetapi kemudian justru menjadi rusak karena dosa manusia
Contoh lain adalah Gilgamesh Epic (ditulis sekitar 2600 SM). Di dalamnya berisi cerita pengalaman dari seorang bernama Utnapishtim. Dia pernah diberitahu oleh dewa mengenai rencana akan adanya banjir besar yang melanda seluruh bumi. Utnapishtim ini kebetulan menyembah dewa yang tidak setuju dengan rencana air bah itu, maka ia diberitahu oleh dewa itu untuk membuat bahtera dan masuk bersama keluarganya dan pasangan-pasangan binatang. Setelah air bah mulai, ternyata para dewa pun ketakutan karena merasa air bah itu sudah di luar kontrol mereka. Setelah badai berlangsung 7 hari, air mulai surut dan bahtera itu mendarat di puncak gunung. Utnapishtim lalu melepaskan burung merpati, layang-layang, gagak, dan ketika gagak itu tidak kembali dia tahu air sudah surut. Maka ia keluar dan mempersembahkan kurban kepada para dewa dan para dewa langsung mengerumuni kurban itu seperti lalat karena sudah sangat ingin makan daging. Enlil (dewa yang paing kuat) kaget ketika mengetahui Utnapishtim selamat, tetapi ia senang dengan persembahan Utnapishtim. Akhirnya Utnapishtim diubah menjadi dewa, dan dewa berjanji tidak akan memberikan lagi air bah.
Jelas ada kemiripan sekaligus perbedaan antara kisah dalam literatur-literatur ini dengan kisah dalam Kejadian 1-11.
Sekalipun beberapa literatur itu lebih tua dari kitab Kejadian, kemiripan yang ada bukan berarti Musa mencontek literatur-literatur itu. Ini hanya menunjukkan bahwa Kejadian 1-11 menjawab pertanyaan yang sama yang sering dipertanyakan manusia zaman itu. Tetapi jawabannya sangat berbeda karena Kejadian 1-11 adalah wahyu dari Tuhan, cerita yang sesungguhnya, cerita yang asli dari Sang Pencipta.
Kita boleh yakin pada waktu itu ada kisah yang beredar baik dalam bentuk oral maupun tulisan mengenai sejarah awal manusia. Seluruh manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, maka kisah-kisah mengenai taman Eden, kejatuhan dalam dosa, dsb, pasti terus disampaikan turun temurun sampai zaman Nuh. Setelah air bah terjadi, semua manusia kemudian adalah keturunan Nuh juga (karena hanya Nuh dan keluarganya yang masih hidup). Maka ketika mereka menyebar (dicatat dalam Kejadian 11), mereka pasti juga membawa kisah mengenai peristiwa-peristiwa sebelum air bah dan kisah air bah itu sendiri dari nenek moyang mereka yaitu Nuh dan keluarganya.
Tetapi ketika kita membaca literatur-literatur kuno tersebut, ternyata kita melihat sudah terjadi distorsi yang besar sekali, cerita sudah menjadi sangat berbeda dengan cerita asli seperti yang diwahyukan Tuhan. Penyebabnya? Selain mungkin disebabkan oleh penyampaian yang tidak akurat, pasti juga disebabkan karena dosa, manusia tidak lagi menyembah Allah yang benar.
Dari kacamata ini, kita melihat Kejadian 1-11 sangat luar biasa. Di tengah-tengah zaman yang menerima, secara mutlak, konsep politheisme dan manusia adalah budak para dewa, tiba-tiba muncul kisah dengan konsep yang total berbeda, totally different world view. Tidak ada konsep seperti itu di zaman itu.
Dan dari kacamata ini juga, kita melihat betapa baiknya Tuhan memberitahu pada kita kebenaran yang sesungguhnya. Allah memberitahu kebenaran supaya manusia kenal Allah yang sejati. Darimanakah kita mengetahui semuanya kalau bukan dari wahyu Tuhan? Sungguh, wahyu Tuhan adalah penyingkapan apa yang tak mungkin manusia ketahui. Kalau begitu, bagaimana mungkin ada manusia yang sok tahu sesuatu yang Allah tidak singkapkan?
Subscribe to:
Posts (Atom)