Beberapa kali saya ditanya, “Apa sih sebenarnya yang dipelajari di sekolah teologi hingga perlu waktu bertahun-tahun untuk lulus?” Ada lagi yang bertanya, “Apa di sekolah teologi belajarnya urutan dari Kejadian sampai Wahyu?” Saya suka tersenyum karena pertanyaan-pertanyaan itu lucu bagi saya. Biasanya kemudian saya menjawab dengan menyebutkan beberapa pelajaran di sekolah teologi (walaupun mungkin bagi dia apa yang saya sebutkan seperti bla..bla..bla..), paling tidak memberikan sedikit gambaran bahwa kami tidak belajar berurutan dari Kejadian sampai Wahyu.
Saya menyadari bahwa pertanyaan seperti itu hanya salah satu cerminan dari masalah kebutaan orang Kristen terhadap teologi. Kalau saja mereka belajar teologi, dengan sendirinya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.
Salah satu kesan yang saya alami ketika baru masuk ke sekolah teologi, mengikuti berbagai kuliah dan melihat perpustakaan dengan buku yang begitu banyak, saya merasa dunia teologi seperti samudra luas. Begitu banyak yang harus dipelajari, begitu banyak bidang, semua berkaitan, semua saling menunjang, dan uniknya langsung atau tidak langsung semua berpusat pada satu buku kecil yang dimiliki oleh hampir semua orang Kristen (apalagi di Indonesia) yaitu Alkitab.
Sejak lulus dari sekolah teologi, sebenarnya saya tidak pernah berhenti membaca buku. Masa praktek pelayanan 1 tahun saya lewati dengan mengajar 2 mata kuliah di sekolah teologi (dan itu memaksa saya untuk membaca buku) dan sangat banyak berkhotbah. Setelah itu selama 1 tahun saya menggembalakan sebuah jemaat di Beijing dan praktis setiap minggu saya berkhotbah (itupun membuat saya membaca buku). Setelah itu, selama 1 tahun berikutnya saya mengajar 7 mata kuliah di sebuah sekolah teologi di China (dan itu sangat.. sangat.. memaksa saya untuk membaca buku!). Setelah pulang ke Indonesia dan melayani di gereja, saya juga tidak berhenti membaca buku (walaupun hampir selalu sebagai persiapan untuk berkhotbah).
Tetapi belakangan ini saya gelisah karena menemukan bahwa saya masih sangat kurang pengetahuan. Terlalu banyak hal yang saya tidak tahu! Saya tidak berharap untuk tahu segalanya. Tetapi setelah sekian tahun belajar teologi dan menjadi murid Alkitab yang, menurut saya, cukup serius, saya terkejut ketika menyadari bahwa terlalu banyak yang saya tidak tahu. Saya terkejut ketika melihat ada masalah atau fenomena tertentu dan tidak tahu bagaimana menjawabnya. Saya terkejut ketika menyadari ketidakpekaan teologis saya pada isu-isu tertentu. Dan saya sangat terkejut saat saya membaca ulang Injil, banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya sendiri dan tidak bisa saya jawab. Sekali lagi, saya tidak berharap bahwa saya bisa menjawab semua pertanyaan, tetapi paling tidak jangan sebanyak itu yang tidak bisa saya jawab!
Beberapa tahun yang lalu saya sangat gelisah melihat banyak orang Kristen hampir tidak tahu apa-apa tentang teologi. Tetapi sekarang saya menjadi lebih gelisah lagi karena menyadari saya pun kurang belajar. Saya mulai sadar bahwa saya memang tidak pernah berhenti membaca buku, tetapi ternyata jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan yang seharusnya saya baca sebagai murid Alkitab apalagi sebagai orang yang mengajarkan Alkitab. Maka akhir-akhir ini saya memaksa diri untuk lebih banyak membaca buku, baik itu mengenai biblical theology, pastoral, worship, spiritualitas, etika, kebudayaan, apa saja.
Kegelisahan ini menyebabkan saya mau belajar. Tetapi kegelisahan saya menjadi-jadi ketika sadar bahwa banyak orang Kristen tidak gelisah! Bahkan banyak hamba Tuhan tidak gelisah, bertahun-tahun melayani dan setiap tahun hanya membaca beberapa halaman buku teologi! Bagaimana kita bisa menjadi serupa dengan Kristus sementara kita tidak mengenal Dia dengan baik? Bagaimana kita bisa bertahan bahkan bercahaya di dalam dunia ini sementara kita tidak mengenal kebenaran Tuhan? Dan, bagaimana kita mengajarkan Firman Tuhan?
Belajar teologi dengan dalam memang bukan segala-galanya. Tetapi belajar teologi adalah salah satu disiplin rohani (yang banyak diabaikan oleh orang Kristen). Belajar teologi adalah bagian dari mencintai Tuhan. Belajar teologi adalah bagian dari kegelisahan melihat dunia yang perlu dilayani. Saya ingin kegelisahan ini dirasakan oleh para hamba Tuhan dan orang Kristen. Maukah ikut gelisah bersama saya?
Saya menyadari bahwa pertanyaan seperti itu hanya salah satu cerminan dari masalah kebutaan orang Kristen terhadap teologi. Kalau saja mereka belajar teologi, dengan sendirinya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.
Salah satu kesan yang saya alami ketika baru masuk ke sekolah teologi, mengikuti berbagai kuliah dan melihat perpustakaan dengan buku yang begitu banyak, saya merasa dunia teologi seperti samudra luas. Begitu banyak yang harus dipelajari, begitu banyak bidang, semua berkaitan, semua saling menunjang, dan uniknya langsung atau tidak langsung semua berpusat pada satu buku kecil yang dimiliki oleh hampir semua orang Kristen (apalagi di Indonesia) yaitu Alkitab.
Sejak lulus dari sekolah teologi, sebenarnya saya tidak pernah berhenti membaca buku. Masa praktek pelayanan 1 tahun saya lewati dengan mengajar 2 mata kuliah di sekolah teologi (dan itu memaksa saya untuk membaca buku) dan sangat banyak berkhotbah. Setelah itu selama 1 tahun saya menggembalakan sebuah jemaat di Beijing dan praktis setiap minggu saya berkhotbah (itupun membuat saya membaca buku). Setelah itu, selama 1 tahun berikutnya saya mengajar 7 mata kuliah di sebuah sekolah teologi di China (dan itu sangat.. sangat.. memaksa saya untuk membaca buku!). Setelah pulang ke Indonesia dan melayani di gereja, saya juga tidak berhenti membaca buku (walaupun hampir selalu sebagai persiapan untuk berkhotbah).
Tetapi belakangan ini saya gelisah karena menemukan bahwa saya masih sangat kurang pengetahuan. Terlalu banyak hal yang saya tidak tahu! Saya tidak berharap untuk tahu segalanya. Tetapi setelah sekian tahun belajar teologi dan menjadi murid Alkitab yang, menurut saya, cukup serius, saya terkejut ketika menyadari bahwa terlalu banyak yang saya tidak tahu. Saya terkejut ketika melihat ada masalah atau fenomena tertentu dan tidak tahu bagaimana menjawabnya. Saya terkejut ketika menyadari ketidakpekaan teologis saya pada isu-isu tertentu. Dan saya sangat terkejut saat saya membaca ulang Injil, banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya sendiri dan tidak bisa saya jawab. Sekali lagi, saya tidak berharap bahwa saya bisa menjawab semua pertanyaan, tetapi paling tidak jangan sebanyak itu yang tidak bisa saya jawab!
Beberapa tahun yang lalu saya sangat gelisah melihat banyak orang Kristen hampir tidak tahu apa-apa tentang teologi. Tetapi sekarang saya menjadi lebih gelisah lagi karena menyadari saya pun kurang belajar. Saya mulai sadar bahwa saya memang tidak pernah berhenti membaca buku, tetapi ternyata jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan yang seharusnya saya baca sebagai murid Alkitab apalagi sebagai orang yang mengajarkan Alkitab. Maka akhir-akhir ini saya memaksa diri untuk lebih banyak membaca buku, baik itu mengenai biblical theology, pastoral, worship, spiritualitas, etika, kebudayaan, apa saja.
Kegelisahan ini menyebabkan saya mau belajar. Tetapi kegelisahan saya menjadi-jadi ketika sadar bahwa banyak orang Kristen tidak gelisah! Bahkan banyak hamba Tuhan tidak gelisah, bertahun-tahun melayani dan setiap tahun hanya membaca beberapa halaman buku teologi! Bagaimana kita bisa menjadi serupa dengan Kristus sementara kita tidak mengenal Dia dengan baik? Bagaimana kita bisa bertahan bahkan bercahaya di dalam dunia ini sementara kita tidak mengenal kebenaran Tuhan? Dan, bagaimana kita mengajarkan Firman Tuhan?
Belajar teologi dengan dalam memang bukan segala-galanya. Tetapi belajar teologi adalah salah satu disiplin rohani (yang banyak diabaikan oleh orang Kristen). Belajar teologi adalah bagian dari mencintai Tuhan. Belajar teologi adalah bagian dari kegelisahan melihat dunia yang perlu dilayani. Saya ingin kegelisahan ini dirasakan oleh para hamba Tuhan dan orang Kristen. Maukah ikut gelisah bersama saya?