Di dalam pesawat di tengah perjalanan panjang setelah pelayanan, saya membaca
biografi singkat
tentang Adoniram Judson yang ditulis oleh John Piper. Berikut
beberapa hal berkesan yang saya baca.
Adoniram Judson memasuki Burma (sekarang Myanmar) pada bulan Juli 1813,
negara yang waktu itu sangat mengerikan. Beberapa bulan sebelum tiba di sana,
Adoniram bertemu dengan William Carey di India yang memperingatkan dia untuk
tidak pergi ke Burma. Negara itu penuh dengan kekerasan, dalam keadaan perang,
resiko penyerbuan, pemberontakan terus menerus, dan tidak ada toleransi agama
sama sekali. Semua misionaris yang ke sana sudah pergi meninggalkan Burma atau
mati di sana. Tetapi Adoniram yang berusia 24 tahun tetap pergi ke sana dengan
istrinya yang berusia 23 tahun dan baru menikah denganya selama 17 bulan.
Adoniram akhirnya melayani di Burma selama 38 tahun sampai dia meninggal di usia
61 tahun, dan hanya satu kali pulang ke rumahnya di Amerika.
Harga yang dia bayar sangatlah besar. Piper menggambarkan dia seperti “benih
yang jatuh ke tanah dan mati”. Tetapi, buah yang Tuhan berikan sangatlah besar.
Adoniram Judson adalah seorang Calvinis dari gereja Baptis. Hari ini
diperkirakan ada 3.700 gereja Baptis di sana dengan 617.781 anggota dan 1.900.000
pengunjung – buah dari benih yang mati ini.
Adoniram Judson adalah seorang anak yang sangat cerdas. Ibunya mengajarinya
membaca hanya dalam satu minggu pada waktu dia berusia tiga tahun. Pada usia 16
tahun dia masuk Brown University dan tiga tahun kemudian lulus sebagai lulusan
terbaik. Selama di universitas dia berteman dengan Jacob Eames yang adalah
seorang Deist (kepercayaan bahwa sekalipun ada Tuhan pencipta, Dia sudah
meninggalkan dunia berjalan sendiri). Adoniram Judson sangat terpengaruh dengan
temannya ini dan akhirnya dia pun meninggalkan iman Kristen. Dia pergi ke New
York untuk menjadi penulis teater. Tetapi di sana kehidupannya berantakan. Suatu
hari dia pergi mengunjungi pamannya, dan di sana dia bertemu dengan seorang
pemuda Kristen yang sangat teguh imannya. Itu membuat dia tertegun. Keesokan
harinya dia menginap di sebuah penginapan kecil di sebuah desa. Pemilik
penginapan meminta maaf karena orang di sebelah kamarnya sedang sakit parah dan
mungkin akan mengganggu tidurnya. Betul, sepanjang malam itu dia mendengar orang
di sebelah kamarya merintih dan terengah-engah. Dia sangat terganggu dan dia
berpikir bahwa orang itu pasti tidak siap untuk mati. Tetapi kemudian dia
berpikir tentang dirinya sendiri dan dia juga takut memikirkan kematiannya. Dia
merasa bodoh karena seorang Deist tidak seharusnya takut dengan kematian
(sebagian Deist percaya pada kehidupan setelah kematian, sebagian lagi tidak).
Keesokan paginya dia bertanya kepada pemilik penginapan tentang orang di sebelah
kamarnya. Pemilik penginapan berkata, “Dia sudah mati”. Adoniram tersentak lalu
bertanya, “Tahukah siapa dia?” Pemilik penginapan itu berkata nama orang itu
adalah Jacob Eames! Shocking! Berjam-jam lamanya Adoniram merenung tentang kematian
temannya. Perlahan-lahan Adoniram bertobat dan dia masuk ke sebuah seminari.
Pada tanggal 28 Juni 1810, Adoniram menyerahkan diri menjadi misionaris. Hari
yang sama dia bertemu dengan Ann dan jatuh cinta. Mereka menikah dan berangkat
ke India 12 hari setelah menikah. Dari India mereka menuju Rangoon dan tiba di
sana tanggal 13 Juli 1813. Penderitaan dimulai sebelum tiba di sana, anak mereka
yang pertama meninggal dalam perjalanan menuju Burma. Di sana kemudian mereka
berjuang melawan kolera, malaria, disentri, dan berbagai penderitaan dan
penyakit lainnya.
Setelah enam tahun di ladang pelayanan, mereka membaptis orang Burma pertama
yang bertobat melalui pelayanan mereka. Pada tahun ke delapan, Ann sakit parah
dan harus kembali ke Amerika. Dia baru kembali setelah dua tahun empat bulan!
Sebelum dia tiba, berita terakhir tentang Ann yang diterima oleh Adoniram adalah
sepuluh bulan yang lalu! Anak mereka yang kedua hidup selama 17 bulan dan
kemudian juga meninggal.
Dua tahun kemudian mereka pindah dari Rangoon ke Ava, ibukota Burma. Pada
tahun itu tentara Inggris mulai menyerang Burma dan semua orang kulit putih
dianggap mata-mata oleh pemerintah Burma. Adoniram masuk penjara. Kakinya
dibelenggu dan pada malam hari, kaki yang terbelenggu itu digantung pada sebilah
bambu panjang sehingga hanya kepala dan bahunya yang menyentuh lantai. Ann
sedang mengandung anak mereka yang ketiga waktu itu, tetapi tiap hari dia
berjalan 3km ke istana memohon supaya Adoniram dilepaskan. Hampir setahun
kemudian, Adoniram dipindahkan ke penjara lain yang lebih jauh. Tubuhnya kurus
kering, matanya kosong, pakaiannya compang-camping, timpang karena penyiksaan,
dan di sana gigitan nyamuk dari sawah hampir membuat para tahanan menjadi gila.
Anaknya sudah lahir waktu itu dan Ann hampir sama sakitnya dan kurusnya seperti
Adoniram, tetapi dia masih berusaha merawat bayinya dan juga Adoniram
semampunya. Air susunya menjadi kering dan dia harus memohon kepada wanita lain
di desa untuk menyusui bayinya.
Pada tanggal 4 November 1825, Adoniram dibebaskan karena pemerintah
membutuhkan penerjemah untuk bernegosiasi dengan Inggris. 17 bulan dalam penjara
berakhir! Tetapi kesehatan Ann memburuk dan 11 bulan kemudian dia meninggal.
Lalu 6 bulan kemudian anak ketiga mereka juga meninggal.
Selama kurang lebih 3 tahun, Adoniram hidup dalam keadaan depresi. Dia
membuang gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Brown University yang pernah
diterimanya. Dia memberikan semua hartanya di Amerika kepada gereja. Dia meminta
gajinya dikurangi menjadi seperempat. Dia pergi membangun pondok di hutan dan
hidup sendirian. Dia menggali kubur di sebelah pondok dan merenungi tahapan
tubuh membusuk ketika menjadi mayat. Dia merasa sangat hancur dan berkata:
“Allah bagiku adalah the Great Unknown. Aku percaya kepada-Nya, tetapi aku tidak
menemukan-Nya”.
Titik balik bagi Adoniram adalah ketika adiknya meninggal pada tanggal 8 May
1829. Karena adiknya yang dia tinggalkan 17 tahun sebelumnya, dulu tidak percaya
Kristus, tetapi meninggal sebagai orang percaya. Adoniram keluar dari
kegelapan.
Pada tahun 1831, Adoniram melaporkan kebangunan mulai terjadi. Dia melihat
dimana-mana orang ingin tahu tentang kekristenan. Dia dan teman-temannya
membagikan hampir 10.000 traktat kepada orang yang meminta. Sebagian orang
bahkan berjalan dua atau tiga bulan hanya untuk bertemu dengan dia dan bertanya
tentang Injil. Penuaian besar-besaran dimulai.
Tetapi, penderitaannya untuk Injil belum selesai. Adoniram menikah lagi
dengan Sarah pada tahun 1834, delapan tahun setelah Ann meninggal. Mereka
memperoleh delapan anak dan hanya lima yang hidup sampai dewasa. Sebelas tahun
kemudian, Sarah sakit parah dan mereka kembali ke Amerika. Tetapi, di tengah
perjalanan Sarah meninggal. Sampai di Amerika, Adoniram meninggalkan tiga
orang anaknya yang besar di sana, lalu kembali ke Burma.
Adoniram kemudian menikah lagi pada usia 57 tahun dengan Emily yang berusia
29 tahun. Mereka punya satu orang anak. Dan Tuhan memberi mereka empat tahun
yang sangat bahagia dalam hidup mereka. Ketika Adoniram sakit, sementara Emily
mengandung anak yang kedua, seorang temannya menemani Adoniram pergi berobat ke
Perancis. Tetapi di tengah perjalanan, Adoniram meninggal pada usia 61 tahun.
Sepuluh hari kemudian, Emily melahirkan anak mereka yang kedua yang langsung
meninggal saat itu juga. Baru empat bulan kemudian Emily menerima berita bahwa
Adoniram sudah meninggal. Dia pun kembali ke Amerika dan meninggal tiga tahun
kemudian karena tuberculosis pada usia 37 tahun.
Kisah pelayanan mereka di Burma berakhir. Tetapi pada waktu Adoniram dan
Emily meninggal, terjemahan Alkitab sudah selesai, kamus Inggris-Burma sudah
selesai dan sudah ada ratusan orang Burma yang menjadi pemimpin gereja. Hari
ini, ada sekitar 3700 gereja Baptis di Myanmar yang kalau ditelusuri jejaknya
berasal dari pekerjaan kasih satu orang ini.
Saya tersentuh sekali membaca kisah Adoniram Judson, “benih yang jatuh ke
tanah dan mati” ini. Beberapa waktu ini, dalam kelelahan, dalam kesulitan, saya
mengingat lagi kisahnya dan saya tidak berani mengeluh. Bagaimana saya, di
posisi saya, juga bisa menjadi “benih yang jatuh ke tanah dan mati” seperti
dia?
Piper menutup buku pendek ini dengan berkata: “Pertanyaannya bagi kita
bukanlah apakah kita akan mati, tetapi apakah kita akan mati dengan cara yang
menghasilkan banyak buah”.
Buku singkat ini bisa di-download gratis di: http://www.desiringgod.org/books/adoniram-judson