Tidak jarang ketika diminta untuk melayani pemberitaan Firman Tuhan, saya menjawab “tidak bisa”. Dan reaksi yang sering saya terima adalah “oh sudah penuh ya Pak?”.
Terus terang saya sulit menjawab reaksi seperti itu, karena saya tidak tahu apa yang dimaksud ‘penuh’. Kalau yang dimaksud adalah setiap hari saya sudah ada pelayanan khotbah, maka jawabannya adalah tidak. Kalau maksudnya tepat hari itu, jam itu, saya ada pelayanan khotbah lain, maka jawabannya juga tidak. Kalau yang dimaksud adalah saya sangat sibuk dan “tidak ada waktu”, ini agak mendekati walaupun juga tidak tepat. Karena kalau “tidak ada waktu” artinya saya sangat banyak pelayanan, sampai tidur pun kurang, tidak punya waktu makan dengan tenang, tidak punya waktu berenang atau jalan-jalan di mal, jawabannya juga tidak.
Saya akan menyebutkan apa yang saya maksudkan dengan “tidak bisa”:
1. Saya membutuhkan waktu lama untuk mempersiapkan khotbah. Sebagai contoh, untuk khotbah di kebaktian, saya membutuhkan 5-8 jam persiapan non stop. Artinya waktunya akan menjadi lebih panjang jika ditambah dengan istirahat, ke kamar mandi, makan, dsb. Lagipula, tidak setiap saat saya ‘in the mood’ untuk persiapan. Ada kalanya saya harus melakukan kegiatan-kegiatan lain terlebih dahulu dan baru bisa kembali pada persiapan saya. Maka total waktu real yang dibutuhkan sangat panjang.
2. Sebagai pembina komisi, pelayanan saya bukan hanya berkhotbah, tetapi juga memikirkan strategi pelayanan, mengerti kondisi yang terjadi, atau menguatkan teman-teman. Dan semua itu perlu waktu.
3. Selain melayani, saya harus memperhatikan hal-hal yang esensial bagi hidup saya seperti: doa, tenang dan berdiam diri, membaca buku, olah raga, rekreasi, menjalin relasi keintiman dengan keluarga dan teman-teman.
Dengan kondisi seperti di atas, sekalipun jadwal saya ‘kosong’, seringkali saya harus berkata “tidak bisa”.
Saya tidak bermaksud menulis artikel ini untuk berkeluh kesah. Tetapi apa yang saya alami, saya yakin banyak juga dialami oleh kita yang sibuk melayani. Orang-orang terus minta kita mengerjakan ini dan itu. Mereka mungkin hanya melihat apa yang kita kerjakan berdasarkan jumlah berapa bidang pelayanan yang kita ambil, tanpa mempedulikan ‘serba-serbi’ yang berkaitan dengan bidang pelayanan itu. Mereka mungkin juga tidak tahu ‘kemampuan’ kita. Mereka juga tidak tahu kondisi kita secara pasti, kondisi fisik kita, keluarga kita apalagi kerohanian kita.
Ada 2 hal yang mempengaruhi cara saya mengatur jadwal pelayanan saya:
1. Khotbah Pdt. Yohan Candawasa di dalam bukunya yang berjudul Ambillah Aku Melayani Engkau. (Teman-teman pengurus KP 1 GKY Green Ville 2005-2006 mungkin masih ingat saya pernah minta kalian membaca seluruh bab itu sebagai bahan saat teduh waktu pembinaan pengurus tahun 2005). Point yang sangat saya ingat adalah: Orang banyak mencari Yesus dan Yesus berkata “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota yang berdekatan supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itulah aku telah datang”. Orang banyak mencari Dia! Mereka sedang membutuhkan pelayananNya, mungkin ada yang sakit keras, mungkin ada yang hampir mati (dan jadi mati betulan karena tidak dilayani Yesus), mungkin ada yang kerasukan setan, mungkin ada yang ingin dengar khotbahNya, tapi YESUS PERGI! Pasti banyak yang kecewa dan memaki-maki Dia. Tapi Dia tahu untuk apa Dia datang ke dunia, bukan melayani semua kemauan orang, tapi ada misi khusus yang Dia terima dari Bapa. Kita masing-masing juga punya panggilan dari Bapa.
2. Saya sadar seringkali kesibukan hanyalah untuk memuaskan kedagingan, supaya kita terlihat penting, dipercaya banyak hal, disukai dan dibutuhkan orang. Mungkin kita bisa merasa bangga punya banyak pelayanan, apalagi sampai semuanya bergantung pada kita. Tetapi itu dosa!
Maka kesibukan kita seharusnya diatur sesuai karunia dan panggilan kita!
Dalam masa beberapa tahun pelayanan, saya menemukan bahwa kesibukan yang pas akan menghasilkan pertumbuhan. Tidak sibuk berarti kemalasan dan itu membuang karunia Tuhan. Tetapi kesibukan yang terlalu sibuk sampai panik akan menghancurkan kerohanian.
Tidak sibuk adalah banyak bermalas-malasan dan tidak menggunakan waktu dengan baik. Saya ingin tekankan ini, saya sama sekali tidak setuju dengan kemalasan yang menggunakan alasan kesibukan. Kita bisa terlihat seperti banyak kegiatan dan sibuk, padahal malas. Hanya kita dan Tuhan yang tahu itu.
Kesibukan yang pas artinya adalah sangat sibuk tetapi tetap mengerjakan semua hal yang esensial bagi kehidupan. Kerohanian pribadi dibangun, keluarga diperhatikan, kondisi fisik dijaga, teman-teman ditolong.
Kesibukan yang terlalu sibuk sebenarnya sama sibuknya dengan kesibukan yang pas tapi mengabaikan banyak hal yang esensial dalam kehidupan.
Kenapa bisa sama sibuknya? Karena waktu kita sama-sama 24 jam. Ini bukan tentang orang yang malas, tapi tentang orang yang rajin. Sama-sama 24 jam, kalau sama-sama rajin, maka pasti sama-sama ‘habis-habisan’. Tapi bagaimana cara pakainya? Sibuk yang pas atau terlalu sibuk?
Beberapa pertanyaan perenungan buat setiap kita:
1. Apakah engkau sudah pakai waktumu dengan baik? Jangan ukur dari jumlah kegiatanmu tapi tanya sungguh-sungguh apakah engkau sudah pakai waktumu dengan baik untuk Tuhan?
2. Kalau engkau sibuk, untuk apa engkau sibuk? Apakah engkau jelas kemana arah kesibukanmu?
3. Apakah hal-hal yang esensial dalam hidupmu engkau kerjakan? Apakah dalam kesibukanmu, ada ketenangan dan kedamaian dalam hati?
Tuesday, November 14, 2006
Tuesday, November 07, 2006
Ke Gereja Harus Memberi Bukan Menerima?
Saya mengajak kita memikirkan satu konsep lagi tentang hidup bergereja yang juga sudah diterima secara umum: “Ke gereja harus memberi bukan hanya menerima”.
Kita harus ‘memberi’: memberi tenaga, waktu, uang, bahkan perasaan. Kita tidak boleh hanya mau ‘menerima’: menerima khotbah yang baik, suasana yang baik, persekutuan yang baik. Maka kalau kita menemukan suatu gereja dalam keadaan yang ‘kurang baik’, kita tetap harus bertahan dan memberi.
Perhatikan kata hanya di atas. Kalau ada kata hanya, kalimat di atas sangat tepat. Tetapi sayangnya ketika diaplikasikan, yang terdengar di telinga kita adalah kalimat yang tanpa hanya: “Ke gereja harus memberi bukan menerima”.
Dampak dari kalimat ini adalah:
1. Kita yang melayani, tidak terlalu peduli apakah jemaat ‘menerima’ sesuatu di gereja kita. Kita anggap bagaimanapun mereka harus setia, harus datang, harus melayani.
Entah darimana datangnya konsep seperti ini. Konsep Alkitab jelas berbeda.
Paulus bicara ini dalam konteks hidup bergereja. Untuk apa Tuhan memberikan rasul, nabi, pemberita Injil, gembala, pengajar? Supaya jemaat yang bersekutu itu, diperlengkapi untuk melayani membangun tubuh Kristus dan bertumbuh makin dewasa dalam iman.
Maka kalau jemaat merasa kering, tidak ‘menerima’ apa-apa, tidak diperlengkapi, tidak bertumbuh, bagaimana mungkin kita mengharapkan mereka datang? Alangkah bersalahnya kita yang tidak ‘memberikan’ apa-apa tapi mengharapkan mereka datang.
2. Banyak orang yang ke gereja sudah tidak 'menerima' apa-apa, tetapi tetap memaksakan diri karena merasa harus setia, harus datang, harus melayani.
Ini yang menyebabkan banyak gereja masih tetap punya jemaat yang ‘setia’. Jemaat merasa “this is my church”, dan apapun yang terjadi saya tetap datang. Padahal mereka sudah ‘hancur-hancuran’ secara rohani. Mereka tidak ‘menerima’ apa-apa dan tidak tahu harus berbuat apa.
Tiap orang Kristen harus melihat lagi kenapa ke gereja: supaya bertumbuh! Bagaimana bisa bertumbuh di gereja? Atau kenapa bertumbuh itu di gereja? (lihat artikel “Ke Gereja Cari Tuhan?” – 1 Nov 2006) Ada 2 hal: Pertama lewat pengajaran Firman. Kedua lewat persekutuan umat Tuhan, yang bersama melayani, bersama beribadah, bersama mengasihi Tuhan dan sesama.
Pertumbuhan adalah sesuatu yang sangat Tuhan rindukan terjadi pada seluruh umatNya. Maka sama seperti gereja bertanggung jawab pada pertumbuhan jemaatnya, kita juga bertanggung jawab untuk pertumbuhan diri kita.
Kita memang tidak boleh hanya mau menerima. Tetapi kita juga harus berjuang untuk ‘menerima’, demi pertumbuhan rohani kita yang dirindukan Tuhan.
Kalau kita tahu kita sudah ‘sakit’ dan sudah tidak bisa menolong diri sendiri, lalu masih berpikir kita bisa, mungkin kita hanya tunggu waktu sampai kita betul-betul collapse.
Kita harus ‘memberi’: memberi tenaga, waktu, uang, bahkan perasaan. Kita tidak boleh hanya mau ‘menerima’: menerima khotbah yang baik, suasana yang baik, persekutuan yang baik. Maka kalau kita menemukan suatu gereja dalam keadaan yang ‘kurang baik’, kita tetap harus bertahan dan memberi.
Perhatikan kata hanya di atas. Kalau ada kata hanya, kalimat di atas sangat tepat. Tetapi sayangnya ketika diaplikasikan, yang terdengar di telinga kita adalah kalimat yang tanpa hanya: “Ke gereja harus memberi bukan menerima”.
Dampak dari kalimat ini adalah:
1. Kita yang melayani, tidak terlalu peduli apakah jemaat ‘menerima’ sesuatu di gereja kita. Kita anggap bagaimanapun mereka harus setia, harus datang, harus melayani.
Entah darimana datangnya konsep seperti ini. Konsep Alkitab jelas berbeda.
"Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul… gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus…" (Efesus 4:11-16)
Paulus bicara ini dalam konteks hidup bergereja. Untuk apa Tuhan memberikan rasul, nabi, pemberita Injil, gembala, pengajar? Supaya jemaat yang bersekutu itu, diperlengkapi untuk melayani membangun tubuh Kristus dan bertumbuh makin dewasa dalam iman.
Maka kalau jemaat merasa kering, tidak ‘menerima’ apa-apa, tidak diperlengkapi, tidak bertumbuh, bagaimana mungkin kita mengharapkan mereka datang? Alangkah bersalahnya kita yang tidak ‘memberikan’ apa-apa tapi mengharapkan mereka datang.
2. Banyak orang yang ke gereja sudah tidak 'menerima' apa-apa, tetapi tetap memaksakan diri karena merasa harus setia, harus datang, harus melayani.
Ini yang menyebabkan banyak gereja masih tetap punya jemaat yang ‘setia’. Jemaat merasa “this is my church”, dan apapun yang terjadi saya tetap datang. Padahal mereka sudah ‘hancur-hancuran’ secara rohani. Mereka tidak ‘menerima’ apa-apa dan tidak tahu harus berbuat apa.
Tiap orang Kristen harus melihat lagi kenapa ke gereja: supaya bertumbuh! Bagaimana bisa bertumbuh di gereja? Atau kenapa bertumbuh itu di gereja? (lihat artikel “Ke Gereja Cari Tuhan?” – 1 Nov 2006) Ada 2 hal: Pertama lewat pengajaran Firman. Kedua lewat persekutuan umat Tuhan, yang bersama melayani, bersama beribadah, bersama mengasihi Tuhan dan sesama.
Pertumbuhan adalah sesuatu yang sangat Tuhan rindukan terjadi pada seluruh umatNya. Maka sama seperti gereja bertanggung jawab pada pertumbuhan jemaatnya, kita juga bertanggung jawab untuk pertumbuhan diri kita.
Kita memang tidak boleh hanya mau menerima. Tetapi kita juga harus berjuang untuk ‘menerima’, demi pertumbuhan rohani kita yang dirindukan Tuhan.
Kalau kita tahu kita sudah ‘sakit’ dan sudah tidak bisa menolong diri sendiri, lalu masih berpikir kita bisa, mungkin kita hanya tunggu waktu sampai kita betul-betul collapse.
Wednesday, November 01, 2006
Ke Gereja Cari Tuhan?
Saya mengajak kita memikirkan ulang konsep yang sering kita dengar dan bahkan sudah diterima secara umum: “Ke gereja cari Tuhan bukan cari manusia”
Kita ke gereja memang untuk mencari Tuhan dan berjumpa dengan Dia. Alangkah tidak dewasanya kalau kita ke gereja karena kebiasaan, karena teman, karena pacar. Maka saya setuju dengan kalimat di atas.
Tetapi bukankah kita ke gereja juga cari manusia? Kalau hanya untuk cari Tuhan, kenapa harus di gereja? Bukankah Tuhan ada dan bisa ditemui di kamar kita? Dan bukankah semua yang dilakukan di gereja bisa kita lakukan di rumah? Mau menyanyi? Tidak ada masalah. Mau dengar khotbah? Ada banyak kaset khotbah. Mau persembahan? Bisa transfer. Semua tidak ada bedanya.
Perjanjian Lama mengajarkan umat Allah untuk mencari Dia di bait suci. Tempat itu adalah simbol kehadiran Tuhan di tengah-tengah umatNya. Tetapi di dalam Perjanjian Baru, kita disebut sebagai bait Roh Kudus karena Roh Allah berdiam di dalam kita. Kitalah gereja! Maka apa bedanya kita ke gedung gereja dan tidak ke gedung gereja, kalau ‘hanya’ untuk mencari Tuhan?
Kita ke gereja adalah untuk mencari Tuhan bersama-sama dengan manusia yang lain, bersehati menyembah Tuhan sebagai satu kumpulan umat Tuhan, yaitu gereja lokal.
Maka kita ke gereja bukan hanya cari Tuhan tetapi juga cari manusia! Kita ingin mencari orang-orang dimana kita bersama bisa bersehati menyembah Dia. Kita ingin mencari orang-orang dimana kita bisa saling menarik lebih dekat kepada Tuhan, lewat persekutuan yang intim, lewat saling menasihati, lewat melayani bersama. Seperti yang dikatakan oleh Dietrich Bonnhoefer “Kita memerlukan saudara-saudara kita untuk ditarik kepada Kristus”.
Maka betapa salahnya kalau kita ke gereja tanpa peduli kepada orang di sekitar kita. Kita tidak saling menyapa, tidak berbicara. Bahkan waktu menyanyi juga tidak merasa menyanyi sebagai satu kumpulan umat Allah. Waktu berdoa kita juga tidak merasa kita sedang berdoa sebagai satu kumpulan umat Allah.
“Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm 133:1)
Simbol dan cara kehadiran Tuhan boleh berubah. Dulu di bait suci, sekarang dalam diri kita. Tetapi kerinduan Tuhan tidak berubah: melihat umatNya bersama-sama, dengan rukun, dengan saling mengasihi, dengan saling menguatkan, dengan saling menasihati, dengan saling menolong, datang menyembah Dia, sebagai kumpulan umat.
Dan Tuhan katakan “kesanalah Tuhan memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya” (Mzm 133:3b).
Kita ke gereja memang untuk mencari Tuhan dan berjumpa dengan Dia. Alangkah tidak dewasanya kalau kita ke gereja karena kebiasaan, karena teman, karena pacar. Maka saya setuju dengan kalimat di atas.
Tetapi bukankah kita ke gereja juga cari manusia? Kalau hanya untuk cari Tuhan, kenapa harus di gereja? Bukankah Tuhan ada dan bisa ditemui di kamar kita? Dan bukankah semua yang dilakukan di gereja bisa kita lakukan di rumah? Mau menyanyi? Tidak ada masalah. Mau dengar khotbah? Ada banyak kaset khotbah. Mau persembahan? Bisa transfer. Semua tidak ada bedanya.
Perjanjian Lama mengajarkan umat Allah untuk mencari Dia di bait suci. Tempat itu adalah simbol kehadiran Tuhan di tengah-tengah umatNya. Tetapi di dalam Perjanjian Baru, kita disebut sebagai bait Roh Kudus karena Roh Allah berdiam di dalam kita. Kitalah gereja! Maka apa bedanya kita ke gedung gereja dan tidak ke gedung gereja, kalau ‘hanya’ untuk mencari Tuhan?
Kita ke gereja adalah untuk mencari Tuhan bersama-sama dengan manusia yang lain, bersehati menyembah Tuhan sebagai satu kumpulan umat Tuhan, yaitu gereja lokal.
Maka kita ke gereja bukan hanya cari Tuhan tetapi juga cari manusia! Kita ingin mencari orang-orang dimana kita bersama bisa bersehati menyembah Dia. Kita ingin mencari orang-orang dimana kita bisa saling menarik lebih dekat kepada Tuhan, lewat persekutuan yang intim, lewat saling menasihati, lewat melayani bersama. Seperti yang dikatakan oleh Dietrich Bonnhoefer “Kita memerlukan saudara-saudara kita untuk ditarik kepada Kristus”.
Maka betapa salahnya kalau kita ke gereja tanpa peduli kepada orang di sekitar kita. Kita tidak saling menyapa, tidak berbicara. Bahkan waktu menyanyi juga tidak merasa menyanyi sebagai satu kumpulan umat Allah. Waktu berdoa kita juga tidak merasa kita sedang berdoa sebagai satu kumpulan umat Allah.
“Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm 133:1)
Simbol dan cara kehadiran Tuhan boleh berubah. Dulu di bait suci, sekarang dalam diri kita. Tetapi kerinduan Tuhan tidak berubah: melihat umatNya bersama-sama, dengan rukun, dengan saling mengasihi, dengan saling menguatkan, dengan saling menasihati, dengan saling menolong, datang menyembah Dia, sebagai kumpulan umat.
Dan Tuhan katakan “kesanalah Tuhan memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya” (Mzm 133:3b).
Wednesday, October 18, 2006
Lukas 10:17-20
“Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Aku melihat iblis jatuh seperti kilat dari langit…. Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.” (dari Luk 10:17-20)
Konteks bagian ini adalah, Yesus baru saja mengutus 70 orang muridNya berdua-dua mendahului Dia ke setiap kota yang hendak dikunjungiNya. Ketika mengutus, Yesus memberi pesan bagaimana mereka harus melayani:
1. Jangan memberi salam, cepat dan jangan bersantai-santai.
2. Kalau masuk rumah katakan shalom.
3. Kalau orang itu menerima, maka tinggal dalam rumah itu, makan apa yang dihidangkan dan layani mereka.
4. Kalau orang itu menolak, maka tinggalkan dia. Orang itu yang akan rugi.
Wah, ini pelayanan yang sangat berotoritas.
Dan pada waktu itu, mereka sudah kembali dengan gembira. Murid-murid itu gembira karena pelayanan mereka berhasil. Mereka bukan saja memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, tetapi mereka juga mengalami bagaimana setan-setan takluk kepada mereka demi nama Yesus.
Atas laporan mereka, Yesus menjawab: “Aku melihat setan jatuh seperti kilat dari langit”. Apa artinya? Ketika para murid menyaksikan bagaimana setan yang memperbudak manusia, merasuk manusia, dipaksa untuk taat kepada mereka dalam nama Yesus, itu adalah tanda bahwa Kerajaan Allah menguasai kerajaan setan. Pengalaman mereka membuktikan bahwa kejatuhan setan itu sudah dimulai.
Saya membayangkan suksesnya pelayanan mereka. Mereka memberitakan Kerajaan Allah. Mereka diterima oleh masyarakat. Mereka berhasil menyembuhkan orang sakit. Mereka mengusir setan. Maka di banyak tempat, mereka mungkin dipuji orang, pelayanan mereka dihargai. Mungkin mereka seperti ‘selebritis rohani’.
Dan tibalah kalimat yang mengejutkan: “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu…”
Yesus memperingatkan mereka agar jangan bersukacita karena keberhasilan pelayanan. Apa yang salah? Bukankah pelayanan mereka murni diberkati Tuhan, ‘perang rohani’ mereka menangkan dengan sukses, iblis dikalahkan demi nama Yesus?
Tetapi Yesus ingin katakan ada yang lebih penting: “…tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga”. Bersukalah atas apa yang Allah telah lakukan bagimu: namamu tertulis dalam kitab kehidupan.
Kalau kita mau jujur, seringkali mana yang lebih membuat kita bersukacita? Diselamatkan Tuhan atau sukses melayani?
Adalah salah untuk bersukacita terlalu banyak atas pelayanan, atas apa yang ‘kita kerjakan untuk Tuhan’. Jauh lebih bersukacita, bahkan mustinya menjadi sukacita kita yang paling dasar, yaitu atas apa yang 'Tuhan kerjakan untuk kita': nama kita tercatat dalam kitab kehidupan.
Konteks bagian ini adalah, Yesus baru saja mengutus 70 orang muridNya berdua-dua mendahului Dia ke setiap kota yang hendak dikunjungiNya. Ketika mengutus, Yesus memberi pesan bagaimana mereka harus melayani:
1. Jangan memberi salam, cepat dan jangan bersantai-santai.
2. Kalau masuk rumah katakan shalom.
3. Kalau orang itu menerima, maka tinggal dalam rumah itu, makan apa yang dihidangkan dan layani mereka.
4. Kalau orang itu menolak, maka tinggalkan dia. Orang itu yang akan rugi.
Wah, ini pelayanan yang sangat berotoritas.
Dan pada waktu itu, mereka sudah kembali dengan gembira. Murid-murid itu gembira karena pelayanan mereka berhasil. Mereka bukan saja memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, tetapi mereka juga mengalami bagaimana setan-setan takluk kepada mereka demi nama Yesus.
Atas laporan mereka, Yesus menjawab: “Aku melihat setan jatuh seperti kilat dari langit”. Apa artinya? Ketika para murid menyaksikan bagaimana setan yang memperbudak manusia, merasuk manusia, dipaksa untuk taat kepada mereka dalam nama Yesus, itu adalah tanda bahwa Kerajaan Allah menguasai kerajaan setan. Pengalaman mereka membuktikan bahwa kejatuhan setan itu sudah dimulai.
Saya membayangkan suksesnya pelayanan mereka. Mereka memberitakan Kerajaan Allah. Mereka diterima oleh masyarakat. Mereka berhasil menyembuhkan orang sakit. Mereka mengusir setan. Maka di banyak tempat, mereka mungkin dipuji orang, pelayanan mereka dihargai. Mungkin mereka seperti ‘selebritis rohani’.
Dan tibalah kalimat yang mengejutkan: “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu…”
Yesus memperingatkan mereka agar jangan bersukacita karena keberhasilan pelayanan. Apa yang salah? Bukankah pelayanan mereka murni diberkati Tuhan, ‘perang rohani’ mereka menangkan dengan sukses, iblis dikalahkan demi nama Yesus?
Tetapi Yesus ingin katakan ada yang lebih penting: “…tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga”. Bersukalah atas apa yang Allah telah lakukan bagimu: namamu tertulis dalam kitab kehidupan.
Kalau kita mau jujur, seringkali mana yang lebih membuat kita bersukacita? Diselamatkan Tuhan atau sukses melayani?
Adalah salah untuk bersukacita terlalu banyak atas pelayanan, atas apa yang ‘kita kerjakan untuk Tuhan’. Jauh lebih bersukacita, bahkan mustinya menjadi sukacita kita yang paling dasar, yaitu atas apa yang 'Tuhan kerjakan untuk kita': nama kita tercatat dalam kitab kehidupan.
Wednesday, September 20, 2006
About Me
Saya seorang Kristen, seorang pastor, dan suami dari Yudith.
Saya alumni dari Universitas Trisakti, Jakarta, STT Reformed Injili Internasional (M.Div) dan Trinity Theological College, Singapore (M.Th dan D.Th).
Saat ini saya melayani sebagai Lead Pastor di GraceLife Community Church, sebuah gereja yang ingin fokus menjalankan Amanat Agung dan berlokasi di daerah Grisenda PIK, Jakarta.
Blog ini adalah blog pribadi saya. Semua tulisan di dalamnya adalah pandangan pribadi saya dan tidak mewakili pandangan dari organisasi/gereja tempat saya melayani.
Saya menggunakan media sosial sebagai tempat berbagi perenungan akan Alkitab dan kehidupan. Silakan follow saya di Instagram @jeffreysiauw atau di Facebook.
Subscribe to:
Posts (Atom)