Beberapa waktu lalu seorang jemaat berkata kepada saya, "Kenapa ya hamba Tuhan di Singapore kalau diminta khotbah 40 menit, bisa selesai dalam 40 menit dan ada isinya, tapi hamba Tuhan di Indonesia ngomong ngalor ngidul panjang tapi sedikit isinya?"
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan kalimat itu. Tetapi dia
insist bahwa itulah yang dia temui selama ini. Mungkin pernyataan dia ada benarnya, walaupun tidak 100%. Dalam percakapan kami kemudian ada 1 point yang muncul dalam pikiran saya: Budaya Membaca (Saya pernah menulis tentang
Budaya Membaca dan kali ini saya teringat lagi).
Budaya membaca orang Indonesia memang masih sangat jauh dari orang Singapore. Salah satu contoh yang jelas terlihat adalah di
public libraries. Saya terkagum-kagum dengan
public libraries di Singapore (bukan hanya 1 tapi banyak), fasilitas yang baik, koleksi buku yang banyak, sistem yang canggih dan terutama ketertarikan banyak orang untuk nongkrong di situ dari anak usia sekolah sampai mereka yang lanjut usia (ya lah.. saya tahu sebagian hanya baca koran sambil menikmati AC gratis, tapi tidak semua begitu). Ingin membandingkan dengan suasana perpustakaan umum di Indonesia? Keinginan membaca bagi anak usia sekolah? Atau orang tua? Lebih baik jangan.
Saya juga cukup sering ke toko buku rohani di Singapore dan beberapa kali berbincang sedikit dengan pengunjung lain. Mereka adalah hamba Tuhan di gereja, tetapi yang menarik bagi saya adalah buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang termasuk kategori 'berat'. Artinya selepas dari sekolah teologi, mereka tidak berhenti membaca buku-buku kategori 'berat' (saya tahu, pasti tidak semua seperti itu, tetapi cukup banyak yang seperti itu). Bandingkan dengan para hamba Tuhan di Indonesia (lebih baik saya persempit kepada hamba Tuhan di gereja Injili berlatar belakang Chinese karena saya lebih tahu kondisinya dibandingkan dengan di gereja lain). Saya pernah menulis tentang keprihatinan saya tentang ini. Berapa banyak hamba Tuhan di Indonesia yang masih membaca buku-buku teologi, 1 saja dalam 1 tahun?
You will be surprised!
Di Trinity Theological College, siapa saja boleh masuk dan menggunakan perpustakaan dengan membayar $5 (kira-kira Rp.33.000)/hari tanpa fasilitas peminjaman. Dan sangat sering saya melihat tamu-tamu seperti itu. Bandingkan lagi dengan di Indonesia. Waktu saya di Jakarta, ada 1 sekolah teologi yang memberikan fasilitas kepada kami untuk menjadi anggota. Dengan hanya membayar Rp.100.000/tahun kami bisa bebas datang kapan saja dan bahkan meminjam 5 buku setiap kalinya. Berapa banyak hamba Tuhan yang memanfaatkan fasilitas ini?
Better not ask!
Bagaimana mungkin hamba Tuhan yang tugasnya adalah belajar dan mengajar Firman Tuhan, begitu tidak tertarik untuk belajar? Mengapa? Bagaimana membangkitkan semangat belajar di antara para hamba Tuhan? Paling tidak, itu harus mulai dari sekolah teologi. Tapi saya yakin gereja juga harus berperan mendukung dan mendorong hamba Tuhan untuk terus belajar. Jangan hanya lihat kepandaiannya bersosialisasi, menajemennya, kerajinannya membesuk, keahliannya melakukan ini dan itu. Berikan waktu, berikan kesempatan, berikan penghargaan kepada hamba Tuhan yang mau belajar. Dan mungkin salah satu yang penting, yang akan menimbulkan kerusuhan kalau dilakukan di Indonesia, jangan biarkan mereka yang tidak mau belajar terus menjadi pengajar jemaat! Wow.. pasti rusuh!