Beberapa bulan lalu ada diskusi di koran-koran Singapore tentang penerapan service charge di restoran. Service charge biasanya dikenakan kepada setiap konsumen untuk kemudian dibagikan kepada para karyawan. Sebagian berpendapat ini baik supaya karyawan bekerja tanpa mengharapkan tip dan memilih-milih konsumen. Sebagian lagi berpendapat cara seperti ini sering di-abuse oleh pihak manajemen yang tidak pernah membagikannya kepada para karyawan. Maka lebih baik mengizinkan pemberian tip sukarela karena akan memacu karyawan untuk memberikan pelayanan yang baik dan juga sebagai evaluasi bagi diri mereka.
Perdebatannya sebetulnya hanyalah seputar sistem mana yang terbaik untuk menghasilkan pelayanan yang baik di industri jasa itu. Satu prinsip dasar yang ada di balik semua itu adalah, mereka akan memberikan pelayanan yang baik kalau itu menguntungkan bagi mereka. Senyum, muka ramah, sikap sopan, pelayanan yang cepat, semua bukan karena mereka senang dan ingin melakukannya tetapi karena itu menguntungkan. Si pemberi jasa berada di posisi yang 'lebih rendah', ia diharapkan untuk melayani, ia diharapkan untuk berbuat seperti yang diinginkan oleh konsumen. Dan kalau konsumen puas, maka dia juga menerima keuntungan. Sekalipun tanpa tip atau service charge, paling tidak si karyawan akan tetap memberi pelayanan yang baik karena takut kepada supervisor yang mengawasi.
Sekarang bayangkan kalau si pemberi jasa berada di posisi yang 'lebih tinggi' dan dia tidak menerima keuntungan apa-apa dari puas atau tidaknya si konsumen. Dia menerima keuntungan kalau atasannya senang bukan kalau anda senang, Misalnya: dosen, administrasi di sekolah dan pegawai kantor pemerintah. Mereka adalah pemberi jasa tapi dalam pengertian tertentu berada di atas yang diberikan jasa. Dosen memberikan nilai. Sekolah bisa menghentikan proses belajar. Administrasi bisa mempermudah/mempersulit. Kantor pemerintah bisa menahan, menghukum atau menolak izin tertentu. Saat itu, kondisi terbalik. Anda marah, anda yang sulit! Apakah pelayanan yang diberikan tetap baik? Apa betul si 'karyawan' berusaha dengan sopan, ramah, dan murah hati, melayani?
Tentu bukan maksud saya bahwa murid itu raja atau rakyat itu bebas berbuat apa saja dan dosen atau pegawai pemerintah harus memenuhi semua permintaan. Tapi mari pikir ulang apa itu service? Apa itu pelayanan? Dalam dunia yang sangat mementingkan diri, sebetulnya tidak ada yang pernah mengerti apa itu pelayanan. Masing-masing melayani hanya kalau menguntungkan dan kalau saya berada di posisi 'lebih rendah'.
Saya jadi membandingkannya lagi dengan gereja dan sekolah teologi. Bagaimana sikap para hamba Tuhan senior terhadap yang yunior? Bagaimana sikap para dosen yang bisa menentukan 'hidup/mati'nya murid dengan nilai dan kebijakan? Bagaimana sikap para karyawan di tata usaha gereja atau administrasi sekolah teologi? Apakah mereka melayani dengan baik? Memperlakukan yang dilayani dengan baik? Merendahkan diri untuk melayani?
Alangkah ironisnya kalau kita sebagai orang kristen juga ikut aturan main dunia - cari apa yang menguntungkan, bermain tinggi rendah posisi, memberikan profesionalitas tanpa pelayanan - dan bukan aturan main Tuhan. Kita tidak pernah boleh lupa apa yang Firman Tuhan ajarkan:
"Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih" (Gal 5:13)
"dan rendahkanlah dirimu seorang akan yang lain di dalam takut akan Kristus" (Ef 5:21)
Apakah kita lakukan itu? Dimana contoh keteladanan pelayanan hari ini? Mengapa makin jarang?