Saya baru selesai membaca Hakim-hakim 17-21. Apa yang saya baca disana membuat perasaan saya campur aduk.
Di dalam lima pasal itu, kita menemukan betapa besarnya kejahatan manusia dan betapa ngerinya kehidupan umat Tuhan yang sudah menyeleweng. Dan keadaan itu berkali-kali ditekankan oleh penulis Hakim-hakim sebagai: “In those days Israel had no king; everyone did as he saw fit”.
Pasal 17 bercerita tentang seorang bernama Mikha yang membuat baginya berhala (bukan satu tapi banyak!). Seorang Lewi yang kebetulan lewat di situ diangkat menjadi imam untuk keluarganya. Bayangkan seorang Lewi! Dia mengembara mungkin karena tidak ada lagi pekerjaan dan uang karena Israel tidak mentaati perintah Tuhan. Dan dia mau menjadi imam dari berhala. Dan motivasinya jelas adalah uang, karena ketika ada tawaran lebih baik dia pindah.
Pasal 18 bercerita tentang suku Dan yang juga mengembara mencari tanah. Mereka sudah diberikan tanah oleh Tuhan tapi mereka tidak mampu (atau tidak mau, atau tidak bergantung pada Tuhan) untuk merebutnya. Maka mereka pergi mencari tanah lain, Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan kuil berhala dan orang Lewi yang menjadi imam keluarga Mikha ini. Mereka mengambil semua berhala di situ dan menawarkan pekerjaan kepada orang Lewi itu. Satu suku sepakat menyembah berhala! Dan Mikha sendiri frustasi karena allahnya, yang tidak bisa melindungi diri sendiri itu, diambil dan membuat dia kehilangan perlindungan. Ironis bukan!?
Pasal 19 bercerita tentang seorang Lewi yang menjemput gundiknya. Di tengah perjalanan dia menginap di Gibea, salah satu kota Israel. Malam itu penduduk kota itu menggedor rumah itu dan ingin memperkosa dia. Praktek homoseksual sangat luas dilakukan orang Kanaan dan orang Israel juga melakukannya. Orang ini, dengan sangat kejam, menyeret gundiknya keluar sebagai ganti dirinya untuk diperkosa. Dan semalaman wanita malang itu dipermainkan dan diperkosa oleh mereka. Pagi harinya dia menemukan gundiknya sudah mati. Dan dia memutilasi gundiknya, memotongnya menjadi 12 bagian dan dikirimkan ke daerah Israel sebagai panggilan membangkitkan kemarahan akan betapa jahatnya Gibea (ironis, karena dia sendiri sangat jahat!).
Pasal 20 menceritakan bagaimana seluruh Israel berkumpul untuk menghukum Gibea. Tapi karena Gibea adalah bagian dari suku Benyamin, maka suku Benyamin membelanya. Dan perang saudara terjadi. Puluhan ribu orang mati, dan dari suku Benyamin hanya tersisa 600 orang laki-laki saja. Semua wanita (dan anak-anak?) sudah dibunuh oleh Israel. Betapa kejamnya!
Pasal 21 menceritakan bahwa orang Israel menangis. Mereka menyesal bahwa orang Benyamin hanya sisa 600 orang pria. Dan mereka sudah bersumpah untuk tidak memberikan anak perempuan mereka kepada orang Benyamin. Maka bagaimana Benyamin bisa bertahan? Jalan keluarnya: (1) Orang-orang Yabesh-Gilead (bagian dari Israel) yang tidak ikut berperang dibunuh semuanya, laki-laki atau perempuan, hanya yang masih gadis yang tidak dibunuh. Mereka dibawa untuk dikawinkan dengan orang Benyamin. (2) Ketika ada perayaan di Silo (juga bagian dari Israel), orang-orang Benyamin atas restu suku Israel lain, menculik perempuan-perempuan Silo yang menari-nari dan memaksa mereka menjadi istri.
Saya tertegun membaca rentetan kisah-kisah itu. Betapa mengerikannya! Beginikah hidup umat Tuhan?
Dua hal yang membuat kisah-kisah ini lebih ironis lagi: Pertama, sepanjang lima pasal ini berkali-kali nama Yahweh (LAI: TUHAN) disebut. Mereka tahu TUHAN, mereka tahu Allah, mereka tahu mereka adalah orang Israel yang adalah umat Tuhan. Tapi betapa mereka sudah tidak mengenal Tuhan!
Kedua, orang Lewi yang menjadi imam berhala untuk keluarga Mikha dan kemudian menjadi imam berhala suku Dan, adalah: Yonatan bin Gersom bin Musa (18:30). Dia adalah cucu dari Musa!!! Beberapa ahli Taurat, penyalin Kitab Suci, belakangan mengubah nama Musa menjadi Manasye. Mungkin saking hormatnya kepada Musa, mereka tidak ingin nama Musa menjadi rusak. Tapi jelas salinan yang lebih lama menuliskan “Musa”. Dan sangat besar kemungkinan yang dimaksud adalah MUSA yang itu dan bukan Musa yang lain yang tidak dikenal. Baru sampai generasi cucunya Musa, mereka sudah begitu jauh dari Tuhan.
Tidak ada raja, tidak ada pemimpin, tidak ada gembala, berarti tidak ada aturan sosial, tidak ada yang mengajarkan kebenaran, tidak ada yang berotoritas untuk menegur. Dan hasilnya: “Everyone did as he saw fit”. Betapa mengerikannya hidup tanpa takut akan Tuhan.
Kita punya semuanya hari ini, ada raja, ada pemimpin, ada gembala, ada gereja, ada Alkitab, ada khotbah, dll, dll, tapi apakah kita jauh lebih baik dari mereka? Kita tahu kita orang Kristen, kita tahu Tuhan, kita punya Alkitab di rumah, tapi betulkah kita takut akan Tuhan? Ohh… mohon Tuhan mengasihani kita!