Saya suka cara Marva Dawn menggambarkan Sabat (Lihat Marva Dawn, The Sense of the Call, p. 36):
(Dengan kalimat saya sendiri) Puncak dari penciptaan Allah adalah hari dimana Allah beristirahat. Manusia diciptakan di hari yang ke-enam. Bayangkan kalau manusia diciptakan di akhir hari ke-enam itu karena sebelumnya Allah menciptakan hewan terlebih dulu, begitu selesai diciptakan apa yang dilakukan manusia? Allah mengumumkan hari istirahat. Maka yang pertama dilakukan oleh manusia adalah istirahat! Semua tugas mengerjakan taman, mengelola kebun, harus menunggu keesokan harinya. Manusia hari ini terbalik. Konsep kita adalah kerja terus supaya akhirnya kita bisa istirahat. Kita kerja mati2an sambil membayangkan hari-hari liburan. Awalnya kerja, akhirnya istirahat. Tapi pada waktu penciptaan, yang diberikan Allah kepada manusia adalah istirahat dulu, lalu keluar dari sukacita karena istirahat itu, kita bekerja untuk enam hari berikutnya.
Saya tidak ingin menjadi dogmatik dalam hal ini – dan saya kira Dawn juga tidak bermaksud demikian. Tetapi saat menulis ini saya sedang melakukan hal yang serupa.
Ketika menulis ini, saya sedang berada di Rumah Doa Bethel di Lembang. Saya datang ke sini lebih untuk apa yang ada di depan dan bukan karena yang di belakang. Maksudnya, saya ke tempat ini bukan sekedar ingin istirahat, merasa terlalu cape dengan yang di belakang, dan sekarang waktunya santai menikmati ketenangan. Walaupun ada unsur itu, tapi saya ke tempat ini lebih karena ingin mempersiapkan yang di depan.
Saya merasa beberapa waktu terakhir di Singapore, hidup saya berantakan. Saya terlalu sibuk, hidup terasa penuh dengan tekanan, terlalu banyak agenda yang disodorkan kepada saya, ketidak beresan demi ketidak beresan muncul, ditambah lagi dengan berbagai masalah yang saya hadapi. Semua membuat hidup saya tidak lagi fokus tapi terpecah seperti ditarik kesana kemari. Sukacita dan semangat melayani Tuhan seperti disedot keluar dari saya. Alarm rohani saya berkali-kali berbunyi. Saya bersyukur Tuhan memelihara sehingga saya tidak berkeping-keping.
Tapi saya ke sini bukan sebagai reward untuk susah payah di masa lalu. Saya ke sini untuk mempersiapkan yang di depan. Saya tahu saya perlu waktu memulihkan ‘stamina’ rohani saya. Saya perlu anugrah Tuhan membungkus luka-luka saya. Saya perlu arah untuk maju ke depan. Saya perlu kekuatan untuk melangkah. Saya perlu menata hati saya. Dan karena itulah saya ke sini. Tanpa itu semua, bagaimana mungkin saya melangkah ke depan.
Maka ya dan amin, Sabat adalah anugrah Tuhan yang kita nikmati. Setelah itu, dengan sukacita, arahan, kekuatan dari Tuhan yang kita alami waktu Sabat, kita mulai bekerja lagi.