Tulisan ini terutama adalah untuk rekan-rekan hamba Tuhan.
Marva Dawn mengutip surat dari Friedrich von Bodelschwingh untuk seorang anaknya yang baru mulai melayani di gereja (Dortmund) - gereja yang pertama untuknya (John W. Doberstein, ed., Minister’s Prayer Book: An Order of Prayers and Readings (Philadelphia: Fortress, n.d.), 210, dikutip oleh Marva Dawn dalam The Sense of the Call):
Aku meminta kepadamu, jangan melihat Dortmund sebagai batu loncatan, tetapi sebaliknya berkatalah: Di sini aku akan tinggal selama yang Tuhan mau; jika itu kehendak-Nya, sampai aku mati. Lihatlah pada setiap anak, setiap orang yang di sidi, setiap anggota jemaat seperti engkau harus memberi pertanggung jawaban untuk setiap jiwa pada hari Tuhan Yesus. Setiap hari serahkanlah semua jiwa manusia-manusia ini dari tangan terburuk dan terlemah, yaitu tanganmu, kepada tangan terbaik dan terkuat. Maka engkau akan mampu menjalankan pelayananmu bukan hanya dengan hati-hati tapi juga dengan sukacita yang melimpah dan pengharapan penuh sukacita.
Dawn kemudian berkomentar bahwa, instruksi seperti ini (dari akhir abad ke-19) sangat diperlukan hari ini di tengah pendapat bahwa pemimpin gereja harus pindah ke gereja yang lebih besar (dan seringkali dianggap lebih baik). Pemimpin gereja dianggap harus “naik” karirnya. Bisakah kita belajar betapa bernilainya concentrated commitment pada orang-orang yang sekarang ini sedang kita layani?
Saya sangat tertarik dengan tulisan Bodelschwingh di atas. Tidak berarti seorang hamba Tuhan tidak boleh pindah tempat pelayanan. Saya percaya boleh dan kadang harus! Tidak berarti juga seorang hamba Tuhan tidak boleh pindah ke tempat yang lebih besar atau mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Tapi masalahnya adalah ketika kita memandang pelayanan sebagai jenjang karir. Mengapa tidak bertanya kemana yang Tuhan mau, yang sesuai dengan karunia yang Tuhan berikan, dan setia melayani di situ – selama yang Tuhan mau?
Saya tersentuh dengan kalimat dari John Watson (1850-1907) ketika dia menceritakan tentang seorang pendeta dari masa kecilnya. Dia menggambarkan pendeta itu sebagai seorang yang selalu memikirkan jemaatnya, menjaga mereka, mengunjungi mereka, sampai figurnya di jalan seperti menghubungkan masa lalu dan masa kini, sorga dan bumi, dan membuka harta memori yang suci. Pendeta itu adalah orang yang kepadanya secara instink orang datang dalam sukacita maupun kesedihan, dalam krisis kehidupan. Mereka menyerahkan anggota keluarga yang sekarat kepadanya. Dia menjadi keluarga bagi mereka yang tidak memiliki keluarga dan menjadi sahabat bagi semua jiwa yang lemah. Sepuluh mil dari tempatnya melayani, orang tidak mengenal namanya, tapi bagi jemaatnya tidak ada yang lebih dihormati daripada dia, dan Tuhan sangat tahu itu.
Saya tahu itu konteksnya adalah 150 tahun lalu. Sekali lagi, tidak berarti seorang hamba Tuhan tidak boleh terkenal atau tidak boleh melayani lebih luas, tetapi masalahnya adalah ketika kita mengejar itu.
Kita bisa pindah kemana saja, kapan saja, ke tempat seperti apa saja. Tapi ketika berada di sebuah tempat, kita perlu belajar fully present (kontras dengan “orangnya di situ tapi hatinya dimana”) dan memusatkan komitmen kita untuk jemaat di situ.
Merenungkan kisah di atas menolong kita melawan kecenderungan kita untuk suka pada popularitas, karir, dan “kesuksesan”.