Yang membuat wisuda menjadi berkesan justru adalah situasi ketidakpastian mengenai rencana studi D.Th ke depan. Saya pernah menulis mengenai kebingungan apakah harus mengambil D.Th atau tidak di sini. Saya tidak menulis tentang hasil akhir pergumulan itu, tapi akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar dan melihat bagaimana hasilnya. Ternyata hasilnya adalah saya diterima sebagai mahasiswa program D.Th di TTC. Semuanya sepertinya lancar. Tiba-tiba saya mendapat berita bahwa student pass saya ditolak. Banyak kemungkinan alasan di balik penolakan itu. Apapun itu, kenyataannya adalah saya tidak diberikan izin untuk studi di Singapore.
Dulu saya tidak punya ambisi untuk studi D.Th/Ph.D. Saya tahu saya bukan scholar-type. Itu sebabnya saya bergumul apakah harus mengambil D.Th atau D.Min saja. Studi adalah persiapan untuk melayani di depan. Dan Tuhan yang tahu pelayanan apa yang akan Dia percayakan, tentunya tahu studi apa yang cocok untuk mempersiapkan saya. Tapi karena waktu itu kesempatan terbuka untuk mengambil D.Th di TTC dan sekian bulan saya mengarahkan hati ke program itu, tanpa sadar muncul ambisi dalam diri. Dan kemungkinan untuk tidak bisa mengambil D.Th membuat saya terkejut – padahal harusnya tidak!
Satu hari sebelum wisuda, saya mampir ke TTC, masuk ke perpustakaan, melihat lorong-lorong penuh buku dan meja-meja perpustakaan, tempat saya berputar-putar dan duduk memeras otak selama bertahun-tahun. Saya bernostalgia dan bertanya apakah Tuhan mengizinkan saya untuk melakukannya lagi? Ataukah tidak ada lagi kesempatan? Pada waktu wisuda, melihat dosen pembimbing saya, saya bertanya bisakah saya belajar lagi di bawah dia dan nanti diwisuda sebagai D.Th? Pada waktu berkeliling Singapore dan bertemu dengan jemaat GKY Singapore, saya bertanya apakah Tuhan akan memberikan saya waktu untuk mengalami semuanya lagi? Maka yes… a bit emotional. Tapi di balik semua itu, saya sadar semua keberatan untuk tidak studi D.Th hanyalah bersifat ambisius.
Sekarang saya sedang dalam proses banding memohon ke pihak imigrasi Singapore dan saya tidak tahu bagaimana nanti hasilnya. Mungkin diterima tapi mungkin juga tidak. Tapi bagi saya peristiwa ini adalah kesempatan untuk saya memurnikan hati lagi. Bahwa saya studi harus bukan untuk ambisi pribadi tapi untuk melayani Tuhan. Dan saya membuka hati lagi bahwa Tuhan yang empunya pelayanan, tahu apa yang terbaik untuk mempersiapkan saya. Maka bisa studi D.Th - berarti memberi yang terbaik untuk Tuhan melaluinya, tidak bisa studi D.Th - berarti memberi terbaik melalui program studi lain atau pelayanan lain.
Saat ini saya hanya mau bersyukur untuk studi M.Th yang sudah lalu dan mempercayakan apa yang ada di depan hanya kepada Tuhan. To God be the glory!
@TTC's Library
With some friends from GKY Sg