Beberapa jemaat memperhatikan ketika pengkhotbah menyampaikan khotbah yang
pernah mereka dengar sebelumnya. Dan berbagai komentar pun bermunculan:
“Perasaan udah pernah dengar khotbah yang ini!”
“Lho, kok khotbahnya sama seperti yang dulu di gereja itu?”
“Diulang ya khotbahnya?”
Beberapa jemaat berpendapat bahwa pengkhotbah seharusnya tidak mengulang
khotbahnya. Seakan-akan itu haram. Kurang persiapan. Tidak orisinil. Hanya comot
naskah khotbah. Kesannya gampang. Beberapa pengkhotbah juga merasa gengsi mengulang khotbahnya. Sangat bangga
rasanya bisa berkata “saya tidak pernah mengulang khotbah saya!” (*dengan muka
bangga*). Rasanya pandai.
Saya tidak setuju! Saya tidak melihat alasan mengapa mengulang khotbah itu
tidak baik.
Pertama, sebuah khotbah adalah usaha menjelaskan sebagian Firman Tuhan.
Pikiran kita sebagai manusia sangat terbatas. Kretifitas kita terbatas, apalagi
ketika usia semakin tua. Menggali Firman Tuhan, merenungkannya, dan kemudian
menyusunnya menjadi suatu khotbah adalah sebuah seni. Sangat sulit menuntut si
pengkhotbah untuk mengkhotbahkan bagian Alkitab yang sama dengan cara yang terus
berbeda-beda. Maka alternatif lainnya adalah bagian Alkitab yang pernah
dikhotbahkan tidak boleh dikhotbahkan lagi oleh dia. Tapi mengapa si pengkhotbah
tidak boleh menjelaskan bagian Firman Tuhan itu dengan cara yang sama kepada
pendengar lain? Mengapa khotbah itu hanya boleh eksklusif didengar oleh jemaat
di gereja itu tanggal itu?
Kedua, sebuah khotbah yang baik memerlukan waktu persiapan yang panjang.
Perlu usaha yang sangat besar untuk membaca, menggali, dan merenungkan bagian
Firman Tuhan yang akan dikhotbahkan. Setelah si pengkhotbah melakukannya,
mengapa dia tidak boleh mengkhotbahkannya lebih dari 1X?
Ketiga, berita yang baik yang pernah didengar oleh jemaat di gereja A, sayang
sekali jika tidak boleh didengar di gereja B hanya karena “tidak mau mengulang
khotbah”.
Saya sendiri sering mengulang khotbah. Tapi saya tidak pernah mengulangnya sama persis. Sederhananya, persiapan khotbah itu ada bagian penggaliannya, ada bagian
merenungkan signifikansinya bagi jemaat, dan ada bagian menyusunnya
menjadi presentasi khotbah. Saya mungkin tidak mengulang mempersiapkan bagian penggaliannya,
tapi saya selalu memikirkan lagi apakah signifikansi/berita yang dulu pernah
saya pikir untuk gereja A juga cocok dengan gereja B ini. Dan kadang saya
mengubah susunannya atau pengkalimatannya. Maka walaupun diulang, khotbah itu
selalu fresh. Karena khotbah bukan mengajar – menyampaikan materi, tapi
khotbah itu memberitakan – dengan hati dan kesungguhan. Dan itu tidak mungkin
dilakukan dengan hanya mencomot naskah khotbah lama. Khotbah lama itu perlu
“dipanaskan” lagi sebelum disajikan.
Menghibur bagi saya ketika menemukan bahkan Jonathan Edwards, pengkhotbah dan
teolog besar abad ke-18 itu, juga sering mengulang khotbahnya. Kadang dia mengulang
persis. Kadang dia menggabungkan beberapa naskah khotbah menjadi naskah khotbah
yang baru.
Sebetulnya masalahnya adalah banyak jemaat yang pindah-pindah gereja atau
“mengejar” pengkhotbah. Kadang mungkin ada pengkhotbah yang lupa bahwa dia pernah mengkhotbahkan naskah itu di gereja yang sama. Untuk menghindari hal itu, saya sendiri punya catatan lengkap tentang kapan,
dimana, dan naskah khotbah mana yang saya khotbahkan. Tapi bagi jemaat
yang pindah-pindah gereja, tidak terhindari dia mungkin akan mendengar khotbah yang sama.
Tetapi kalaupun itu terjadi, kita perlu ingat bahwa mendengar khotbah bukanlah mendengar seminar atau bahan kuliah. Mendengar khotbah adalah momen dimana kita berhadapan dengan kebenaran. Pada waktu mendengar khotbah, kita bukan sekedar berhadapan dengan naskah khotbah dan si pengkhotbah, tetapi dengan Tuhan yang Firman-Nya sedang diuraikan dan diberitakan. Maka khotbah yang sama persis pun bisa dipakai Tuhan bicara lagi kepada kita. Apalagi kita itu pelupa. Ketika mendengar khotbah yang sama dengan yang
pernah kita dengar lima tahun lalu, mungkin sedikit pun kita tidak
ingat. Lalu mengapa kita tidak boleh diingatkan lagi akan berita itu?