Thursday, May 30, 2013

Mengulang Khotbah

Beberapa jemaat memperhatikan ketika pengkhotbah menyampaikan khotbah yang pernah mereka dengar sebelumnya. Dan berbagai komentar pun bermunculan:
 “Perasaan udah pernah dengar khotbah yang ini!”
“Lho, kok khotbahnya sama seperti yang dulu di gereja itu?”
“Diulang ya khotbahnya?”

Beberapa jemaat berpendapat bahwa pengkhotbah seharusnya tidak mengulang khotbahnya. Seakan-akan itu haram. Kurang persiapan. Tidak orisinil. Hanya comot naskah khotbah. Kesannya gampang. Beberapa pengkhotbah juga merasa gengsi mengulang khotbahnya. Sangat bangga rasanya bisa berkata “saya tidak pernah mengulang khotbah saya!” (*dengan muka bangga*). Rasanya pandai.

Saya tidak setuju! Saya tidak melihat alasan mengapa mengulang khotbah itu tidak baik.

Pertama, sebuah khotbah adalah usaha menjelaskan sebagian Firman Tuhan. Pikiran kita sebagai manusia sangat terbatas. Kretifitas kita terbatas, apalagi ketika usia semakin tua. Menggali Firman Tuhan, merenungkannya, dan kemudian menyusunnya menjadi suatu khotbah adalah sebuah seni. Sangat sulit menuntut si pengkhotbah untuk mengkhotbahkan bagian Alkitab yang sama dengan cara yang terus berbeda-beda. Maka alternatif lainnya adalah bagian Alkitab yang pernah dikhotbahkan tidak boleh dikhotbahkan lagi oleh dia. Tapi mengapa si pengkhotbah tidak boleh menjelaskan bagian Firman Tuhan itu dengan cara yang sama kepada pendengar lain? Mengapa khotbah itu hanya boleh eksklusif didengar oleh jemaat di gereja itu tanggal itu?

Kedua, sebuah khotbah yang baik memerlukan waktu persiapan yang panjang. Perlu usaha yang sangat besar untuk membaca, menggali, dan merenungkan bagian Firman Tuhan yang akan dikhotbahkan. Setelah si pengkhotbah melakukannya, mengapa dia tidak boleh mengkhotbahkannya lebih dari 1X?

Ketiga, berita yang baik yang pernah didengar oleh jemaat di gereja A, sayang sekali jika tidak boleh didengar di gereja B hanya karena “tidak mau mengulang khotbah”.

Saya sendiri sering mengulang khotbah. Tapi saya tidak pernah mengulangnya sama persis. Sederhananya, persiapan khotbah itu ada bagian penggaliannya, ada bagian merenungkan signifikansinya bagi jemaat, dan ada bagian menyusunnya menjadi presentasi khotbah. Saya mungkin tidak mengulang mempersiapkan bagian penggaliannya, tapi saya selalu memikirkan lagi apakah signifikansi/berita yang dulu pernah saya pikir untuk gereja A juga cocok dengan gereja B ini. Dan kadang saya mengubah susunannya atau pengkalimatannya. Maka walaupun diulang, khotbah itu selalu fresh. Karena khotbah bukan mengajar – menyampaikan materi, tapi khotbah itu memberitakan – dengan hati dan kesungguhan. Dan itu tidak mungkin dilakukan dengan hanya mencomot naskah khotbah lama. Khotbah lama itu perlu “dipanaskan” lagi sebelum disajikan.

Menghibur bagi saya ketika menemukan bahkan Jonathan Edwards, pengkhotbah dan teolog besar abad ke-18 itu, juga sering mengulang khotbahnya. Kadang dia mengulang persis. Kadang dia menggabungkan beberapa naskah khotbah menjadi naskah khotbah yang baru.

Sebetulnya masalahnya adalah banyak jemaat yang pindah-pindah gereja atau “mengejar” pengkhotbah. Kadang mungkin ada pengkhotbah yang lupa bahwa dia pernah mengkhotbahkan naskah itu di gereja yang sama. Untuk menghindari hal itu, saya sendiri punya catatan lengkap tentang kapan, dimana, dan naskah khotbah mana yang saya khotbahkan. Tapi bagi jemaat yang pindah-pindah gereja, tidak terhindari dia mungkin akan mendengar khotbah yang sama.

Tetapi kalaupun itu terjadi, kita perlu ingat bahwa mendengar khotbah bukanlah mendengar seminar atau bahan kuliah. Mendengar khotbah adalah momen dimana kita berhadapan dengan kebenaran. Pada waktu mendengar khotbah, kita bukan sekedar berhadapan dengan naskah khotbah dan si pengkhotbah, tetapi dengan Tuhan yang Firman-Nya sedang diuraikan dan diberitakan. Maka khotbah yang sama persis pun bisa dipakai Tuhan bicara lagi kepada kita. Apalagi kita itu pelupa. Ketika mendengar khotbah yang sama dengan yang pernah kita dengar lima tahun lalu, mungkin sedikit pun kita tidak ingat. Lalu mengapa kita tidak boleh diingatkan lagi akan berita itu?

Tuesday, May 21, 2013

M.Th – de jure dan D.Th – hesito

Walaupun berita kelulusan sudah saya terima sejak awal Desember 2012 – dan saya sudah M.Th de facto sejak itu, tapi saya baru diwisuda tiga hari yang lalu – dan baru menjadi M.Th de jure. Upacara wisuda sebetulnya sangat biasa. Dibilang senang, ya senang juga. Tapi itu hanya upacara. Tidak hadir pun, kenyataannya saya tetap sudah lulus.

Yang membuat wisuda menjadi berkesan justru adalah situasi ketidakpastian mengenai rencana studi D.Th ke depan. Saya pernah menulis mengenai kebingungan apakah harus mengambil D.Th atau tidak di sini. Saya tidak menulis tentang hasil akhir pergumulan itu, tapi akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar dan melihat bagaimana hasilnya. Ternyata hasilnya adalah saya diterima sebagai mahasiswa program D.Th di TTC. Semuanya sepertinya lancar. Tiba-tiba saya mendapat berita bahwa student pass saya ditolak. Banyak kemungkinan alasan di balik penolakan itu. Apapun itu, kenyataannya adalah saya tidak diberikan izin untuk studi di Singapore.

Dulu saya tidak punya ambisi untuk studi D.Th/Ph.D. Saya tahu saya bukan scholar-type. Itu sebabnya saya bergumul apakah harus mengambil D.Th atau D.Min saja. Studi adalah persiapan untuk melayani di depan. Dan Tuhan yang tahu pelayanan apa yang akan Dia percayakan, tentunya tahu studi apa yang cocok untuk mempersiapkan saya. Tapi karena waktu itu kesempatan terbuka untuk mengambil D.Th di TTC dan sekian bulan saya mengarahkan hati ke program itu, tanpa sadar muncul ambisi dalam diri. Dan kemungkinan untuk tidak bisa mengambil D.Th membuat saya terkejut – padahal harusnya tidak!

Satu hari sebelum wisuda, saya mampir ke TTC, masuk ke perpustakaan, melihat lorong-lorong penuh buku dan meja-meja perpustakaan, tempat saya berputar-putar dan duduk memeras otak selama bertahun-tahun. Saya bernostalgia dan bertanya apakah Tuhan mengizinkan saya untuk melakukannya lagi? Ataukah tidak ada lagi kesempatan? Pada waktu wisuda, melihat dosen pembimbing saya, saya bertanya bisakah saya belajar lagi di bawah dia dan nanti diwisuda sebagai D.Th? Pada waktu berkeliling Singapore dan bertemu dengan jemaat GKY Singapore, saya bertanya apakah Tuhan akan memberikan saya waktu untuk mengalami semuanya lagi? Maka yes… a bit emotional. Tapi di balik semua itu, saya sadar semua keberatan untuk tidak studi D.Th hanyalah bersifat ambisius.

Sekarang saya sedang dalam proses banding memohon ke pihak imigrasi Singapore dan saya tidak tahu bagaimana nanti hasilnya. Mungkin diterima tapi mungkin juga tidak. Tapi bagi saya peristiwa ini adalah kesempatan untuk saya memurnikan hati lagi. Bahwa saya studi harus bukan untuk ambisi pribadi tapi untuk melayani Tuhan. Dan saya membuka hati lagi bahwa Tuhan yang empunya pelayanan, tahu apa yang terbaik untuk mempersiapkan saya. Maka bisa studi D.Th - berarti memberi yang terbaik untuk Tuhan melaluinya, tidak bisa studi D.Th - berarti memberi terbaik melalui program studi lain atau pelayanan lain.

Saat ini saya hanya mau bersyukur untuk studi M.Th yang sudah lalu dan mempercayakan apa yang ada di depan hanya kepada Tuhan. To God be the glory!


 @TTC's Library




With my supervisor: Dr. Tan Kim Huat... what a privilege!


 With some friends from GKY Sg