Wednesday, June 17, 2015
"Orang Dalam" - For My Wife
Salah satu sindrom yang sangat manusiawi di dalam relasi keluarga adalah sindrom “orang dalam”.
Kita bisa sungkan untuk marah kepada teman tetapi tidak sungkan marah kepada orang tua kita. Kita bisa sungkan untuk minta tolong kepada teman tetapi dengan seenaknya menyuruh suami atau istri kita. Kenapa bisa begitu? Karena mereka “orang dalam”! Kita bisa seenaknya, sebebas-bebasnya, boleh marah, boleh tidak senang, boleh nyuruh, tanpa merasa tidak enak, karena mereka “orang dalam”.
Di satu sisi, kita butuh perasaan adanya “orang dalam”. Itu menenangkan buat kita, nyaman, dan membuat kita diterima apa adanya. Di sisi lain, perasaan “orang dalam” ini kadang kebablasan dan itu membuat kita tidak lagi menghargai mereka sebagaimana seharusnya bahkan tidak lagi bersyukur untuk keberadaan mereka. Kebablasan seperti ini bukan saja merusak relasi tetapi juga kerohanian kita. Seriously!
Saya sudah menikah dengan Yudith lebih dari 14 tahun. Sejujurnya, saya pun mengalami sindrom “orang dalam” itu terhadap dia. Betapapun saya sering mengucapkan “terima kasih” kepadanya karena memasak, mencuci piring, menyeterika, menemani saya pergi, merawat saya ketika sakit, dan berbagai hal lainnya, tetap saja banyak hal sebetulnya saya “take it for granted” karena dia adalah “orang dalam” bagi saya. Padahal kalau saya menghitung apa yang dia lakukan untuk saya dan bagaimana Tuhan memakai dia untuk saya, sungguh terlalu banyak.
Saya menikah dengan Yudith tepat ketika akan memasuki masa praktek pelayanan. Artinya sepanjang usia pernikahan kami, dia sudah mendampingi saya menjadi hamba Tuhan penuh waktu.
Dia mendampingi saya melayani sebagai mahasiswa praktek di sebuah gereja di Jakarta. Waktu itu kami masih sama-sama polos dan bingung, hanya belajar setia saja melayani. Kemudian dia ikut dengan saya melayani di Beijing. Selama di sana kami bersama-sama menanggung banyak kesulitan, ketakutan, dan kesepian. Setelah itu dia ikut bersama saya kembali lagi melayani di Jakarta, kali ini menjadi pembimbing pemuda dan remaja. Kami bertumbuh dan mensyukuri begitu banyak berkat Tuhan di sana. Walaupun sebagai hamba Tuhan, kelihatannya saya yang “tampil”, tapi banyak pelayanan yang sebetulnya tidak mampu saya kerjakan tanpa dia. Lalu dia ikut saya lagi pergi ke Singapore mengerjakan an impossible task – studi M.Th sambil menjadi gembala. Maka kali itu dia harus mengerjakan begitu banyak tugas pelayanan (bahkan lebih banyak dari saya) sementara suaminya sibuk studi. Dan sekarang, di tengah begitu banyak tekanan yang saya hadapi, dia terus mendampingi saya.
Saya bahkan makin sadar bahwa saya dikenal sebagaimana adanya saya sekarang oleh orang-orang adalah karena dia. Kami bergaul dengan jemaat bersama. Kami mengundang orang makan di rumah bersama. Kami punya anak rohani bersama. Tanpa dia, orang akan mengenal saya sebagai orang yang berbeda dari hari ini. Maka Jeffrey yang sekarang adalah “Jeffrey-karena-Yudith” dan “Jeffrey-dan-Yudith”.
Saya juga mencoba mengingat ke belakang bagaimana Tuhan membentuk saya. Tuhan lah yang membentuk hidup saya, bukan siapapun, ya dan amin. Tapi Tuhan banyak mengerjakan itu melalui pernikahan kami. Gesekan demi gesekan mengasah kami. Di dalam melalui berbagai pergumulan dan kesulitan, kami saling menguatkan. Di dalam kelemahan, kami saling mengingatkan akan Tuhan. Kami juga saling berbagi apa yang Tuhan ajarkan kepada kami masing-masing. Waktu-waktu makan bersama sering menjadi waktu kami bersyukur kepada Tuhan dan berbagi beban dan berkat Tuhan. Kami berdoa dan menangis bersama juga tertawa dan sukacita bersama. Saya kehabisan kata-kata untuk menceritakan semuanya.
Maka apa yang bisa saya katakan sekarang?
Beberapa waktu lalu di internet beredar sebuah video, tentang pasangan muda (Travis dan Kristie) yang didandani oleh make-up artists dengan membayangkan seperti apa penampilan mereka ketika berusia 50an, 70an dan 90an. Pada waktu mereka saling memandang dengan wajah “usia 90an,” mereka menjadi emosional… wajah dan penampilan mereka sudah sangat tua. Lalu mereka ditanya, apa kira-kira kata terakhir yang akan kalian ucapkan kepada satu sama lain? Kristie menjawab: “I would want to make sure he knew how much I loved him and how important he has been to me.” Dan Travis kemudian berkata kepada Kristie, “You made me a better person. There are so many things I couldn’t be without you and will never be without you.”
Video itu mendorong saya untuk memikirkan juga mengenai pernikahan saya dengan Yudith. Waktu video itu dibuat, Travis dan Kristie belum menikah dan mereka mengucapkan kalimat itu sambil membayangkan ketika mereka sudah berusia 90an dan sedang mengucapkan kata-kata terakhir mereka. Saya dan Yudith berbeda dengan mereka. Sekarang, kami sudah saling mengenal selama 23 tahun dan lebih dari 14 tahun di antaranya sebagai suami istri.
Maka setelah semua yang saya lalui bersama Yudith, setelah semua yang Tuhan kerjakan di dalam dan melalui pernikahan kami, saya tidak perlu tunggu “kata terakhir yang akan saya ucapkan,” saya in a far better position untuk bisa berkata kepada Yudith dengan tulus, “You made me a better person. There are so many things I couldn’t be without you and will never be without you.” I know that. Thank you!
Happy birthday my wife! :-)
Monday, June 15, 2015
Chosen by God - R.C. Sproul
R.C. Sproul adalah salah satu teolog yang sangat membentuk pemikiran saya, khususnya mengenai Calvinisme, waktu saya masih mahasiswa di Trisakti. Dua buku teologi pertama yang saya baca habis, cover to cover, keduanya adalah tulisan dia. Buku ini adalah salah satunya. Waktu itu saya membaca versi terjemahan bahasa Indonesia-nya: Kaum Pilihan Allah (terbitan SAAT- Malang).
Saya menemukan review singkat tentang buku ini dari Tim Challies di sini, yang saya kira sangat tepat mewakili apa yang juga ingin saya katakan. Maka daripada menulis lagi, saya cuplik dan terjemahkan sebagian dari review yang dia tulis :-)
Sejak diterbitkan pada tahun 1986, Chosen by God (Kaum Pilihan Allah) sudah menjadi buku klasik pengantar kepada Calvinisme. Buku ini jelas adalah salah satu pengantar terbaik tentang Calvinisme yang tersedia saat ini. R.C. Sproul, adalah seorang teolog dengan karunia membuat hal yang kompleks menjadi sederhana. Dia memulai dengan introduksi kepada kedaulatan Allah dan kemudian menjelaskan kehendak bebas (free will) sebelum kemudian membahas mengenai 5 Pokok Calvinisme (5 points of Calvinism) yang sering disingkat sebagai TULIP. Dia mengubah beberapa istilahnya sehingga singkatannya menjadi RULEP, dan dia memberikan alasan yang baik untuk itu. Sproul juga membahas mengenai double predestination (Info: Tuhan menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan dan juga menetapkan sebagian orang untuk binasa – double) dan jaminan keselamatan. Buku ini ditutup dengan bagian “Pertanyaan dan Keberatan” yang menjawab berbagai keberatan yang umum terhadap Calvinisme, seperti “Apakah predestinasi berarti fatalisme?” dan “Apa kaitan predestinasi dengan tugas penginjilan?”Buku ini sangat enak dibaca, mudah dicerna, karena keahlian Sproul menyederhanakan topik yang sulit. Tetapi buku ini juga mendalam. Dia mengajak kita berpikir, bolak-balik, menantang kita dengan berbagai argumen yang sangat kuat dari sudut pandang Calvinisme. Seingat saya, waktu itu, paling sedikit 3X saya membaca buku ini!
Sebagai gambaran, berikut adalah daftar Bab dalam buku ini:
1. The Struggle
2. Predestination and the Sovereignty of God
3. Predestination and Free Will
4. Adam’s Fall and Mine
5. Spiritual Death and Spiritual Life: Rebirth and Faith
6. Foreknowledge and Predestination
7. Double, Double, Toil and Trouble: Is Predestination Double?
8. Can We Know That We Are Saved?
9. Questions and Objections Concerning Predestination
Kalau anda ingin mengerti tentang keselamatan, tentang pemilihan Allah (predestinasi), tentang kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia, saya sangat merekomendasikan buku ini.
Kalau anda tidak ingin mengerti semua itu, saya juga sangat merekomendasikan buku ini. Karena kalau anda tidak tertarik dengan semua itu, dengan sesuatu yang sangat penting bagi iman Kristen, justru anda lebih perlu lagi membaca buku ini.
Highly recommended!
Thursday, June 11, 2015
Bangga Akan Dosa
Dulu saya ini orang yang sangat jahat sampai akhirnya suatu hari saya dengar khotbah dan jadi Kristen. Puji Tuhan, saya bertobat dan kenal Tuhan. Sekarang saya melayani di gereja. Dulu itu saya bukan cuma suka mabuk-mabukan, judi. mencuri, tapi saya bahkan juga berani merampok dan membunuh. Tidak ada orang yang berani dengan saya. Wah.. kalau pas minum, saya ini kuat sekali, minum berbotol-botol brandy juga tidak mabuk. Kalau pas judi, saya hampir selalu menang. Uang saya banyak dari hasil judi. Kalau diterusin, bisa kaya sekali saya ini. Terus kalau berkelahi, lawan 5 orang sekaligus juga saya tidak takut. Orang mau tusuk saya, nggak mempan, saya terlalu jago, dia yang saya tusuk duluan. Kalau saya merampok, saya punya ilmu yang bikin orang ketakutan dan cepet sekali serahkan semua barang. Kalau saya nggak jadi orang Kristen, mungkin sekarang saya sudah terkenal banget di dunia kejahatan…Ok, mungkin cerita imajiner di atas agak ekstrim. Tapi pernahkah mendengar kesaksian yang kira-
kira nadanya mirip seperti di atas?
Sebuah kesaksian mengenai pertobatan dan anugrah keselamatan yang Tuhan berikan, tetapi yang isinya jauh lebih banyak tentang betapa “hebat”nya dia di dalam berbuat dosa. Tidak ada penyesalan di wajahnya ketika menceritakan dosanya. Sebaliknya dia cenderung bangga akan apa yang pernah dia perbuat.
Mendengar kesaksian seperti demikian membuat saya jadi bertanya-tanya: Apakah dia sungguh bersyukur untuk keselamatannya? Apakah dia sungguh menangis, memukul diri dan menyesali dosa-dosanya? Apakah dia tersentuh oleh kasih Yesus yang menderita karena dosa-dosanya? Apakah dia bangga akan salib Yesus? Jika “ya”, lalu mengapa dia begitu bangga akan dosa?
Di dalam percakapan sehari-hari, saya sering menjumpai “kesaksian” yang serupa – tentu tidak se-ekstrim di atas. Tapi sungguhan, ada banyak orang “Kristen” (apakah benar dia orang Kristen, saya tidak tahu) yang bangga akan dosanya di masa lalu. Dia bangga bahwa dulu dia berangasan, kasar, galak, sadis. Dia bangga bahwa dulu dia jagoan berantem. Dia bangga bahwa dulu dia pemabuk. Dia bangga bahwa dulu dia sudah “mencicipi” berbagai dosa seksual yang menjijikkan – pornografi, free sex, pelacuran, dan sebagainya.
Yang selalu paling jelas adalah mimik wajahnya waktu menceritakan semua itu sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, malu, “memukul diri,” tetapi seakan berkata: “Semua itu gua udah pernah… apa sih yang gua nggak tau… orang mau sombong pernah gini gitu? alaahh… gua juga pernah… kalo dulu ya, gua nih…”
Maka saya bertanya-tanya: Apakah sikap seperti itu adalah sikap Kristen? Atau lebih jauh lagi, mungkinkah orang Kristen bersikap seperti itu?
Mungkinkah sikap seperti itu sebenarnya berakar pada dosa “kesombongan” – pride? Dia ingin membanggakan DIRI-nya. Seperti anak kecil yang ingin tampil hebat dan dilihat orang. Dia tidak bisa membanggakan kerendahan hati dan tidak mungkin membanggakan penyesalan! Maka apa yang mau dibanggakan? Dosa.
Atau mungkinkah sikap seperti ini menunjukkan dosa yang mulai mencengkeram lagi hatinya? Seperti seorang pelacur yang sudah ditebus, dikeluarkan dari perbudakan, dilimpahi dengan kasih sayang yang suci, tetapi sekarang mulai main mata lagi dengan pelacuran! Dia mengingat-ingat kembali betapa enaknya hidup melacur. Dia mulai tidak bangga dengan penebusan, pembebasan dan kasih sayang suci yang dinikmatinya. Dia tidak berpikir betapa memalukan dan menjijikkan “pelacuran” yang dia banggakan itu di mata Tuhan. Dosa sudah mengintai, mengajaknya bermain mata dan dia mulai tertarik lagi.
Atau mungkinkah lebih serius lagi, dia memang tidak mengenal Allah!? Dia tidak mengenal Allah dengan segala keindahan-Nya, kesucian-Nya, dan kecemburuan-Nya. Oh, dia mungkin ke gereja, pelayanan, tetapi dia tidak mengenal Allah. Itu sebabnya dia tidak menganggap dosa sebagai sampah yang memalukan, tetapi malah menganggapnya sebagai permata yang bisa dibanggakan. Apa yang dibenci Allah, disukai oleh dia. Bukankah itu tanda dia tidak mengenal Allah?
Saya tidak tahu yang mana.
Tetapi, setiap kali seseorang mulai membanggakan dosa, mari kita tidak kagum tapi waspada. Mari kita melihatnya sebagai tanda yang sangat jelas bahwa dosa sedang bekerja di dalam diri orang itu. Dan mari kita bertanya: Apakah dia mengenal Allah?
Kalau kita sendiri lah yang suka membanggakan dosa… setiap kali kita sadar, bertobatlah! Karena “dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau” (Kej 4:7).
Tuesday, June 02, 2015
Pemudi Kekasih Yesus
(Dipersembahkan bagi para pemudi Kristen)
Aku pernah mendengar sebuah khotbah yang terngiang-ngiang di telingaku sampai sekarang:
“Pemudi Kristen adalah pemudi kekasih Yesus!”
Sebagai seorang pemudi Kristen, aku pun tersentak. Betapa benarnya itu! Betapa bahagianya para pemudi Kristen karena dikasihi oleh Yesus! Tetapi, berkali-kali aku tertunduk sedih, sakit hati dan marah, ketika menyadari bahwa seringkali kami sendiri, para kekasih Yesus, yang membiarkan diri dirusak.
Aku dulu bertemu dengan dia di gereja. Seorang pemuda yang baik, rajin ke gereja dan terlibat pelayanan. Awalnya biasa saja bagiku, tetapi perhatiannya, kelembutannya, humornya, makin lama makin memikat hatiku. Akhirnya aku berkata "ya" menyambut cintanya. Awalnya pacaran kami sangat sehat. Kami bahkan banyak bicara tentang pelayanan. Tetapi kadang kami pergi berdua dan di saat sepi dia suka membelaiku. Jujur aku sangat menikmatinya. Lama kelamaan sentuhan, belaian, ciuman, menjadi semakin agresif. Hubungan kami makin lama makin jauh dan kami pun jatuh dalam dosa seksual yang paling dalam. Aku menangis dan dia pun meminta maaf. Kami berdoa dan meminta ampun ke Tuhan. Perasaanku tidak karuan setiap kali mengingat hal itu. Tapi entah mengapa, kami mengulanginya lagi.. dan lagi… Aku benar-benar ingin berhenti. Aku jijik dengan diriku. Aku marah dengan dia. Tapi aku tidak berani memutuskan hubungan itu. Hubungan kami dengan Tuhan pun semakin menjauh. Di hadapan banyak orang, kami adalah pasangan yang baik. Tetapi, itu justru membuatku semakin tertekan karena aku tahu, kami sangat munafik.
Sekian tahun aku bersama dengannya dan akhirnya… kami pun menikah. Tidak ada yang tahu kepedihan yang kurasakan pada waktu mengenakan cadar tanda kesucian, mendengar dia mengucapkan janji nikah yang sulit untuk kupercaya, dan menerima berkat dalam pernikahan kudus. Seperti apa hidupku nanti?
Itu sebabnya sangat sakit hatiku ketika baru-baru ini aku mendengar seorang pemudi kekasih Yesus bercerita:
Seakan masih belum cukup, aku mendengar juga seorang pemudi kekasih Yesus lainnya bercerita:
aku Yesus sedih dan marah. Ingin rasanya aku berteriak kepada
mereka “Jangan bodoh! Jangan hancurkan hidupmu!”
Aku ingat lagi kalimat-kalimat di dalam khotbah pendeta itu:
Ya, waktu akan berlalu. Sekalipun relasimu dengan dia berlanjut ke pernikahan, seperti yang kualami, luka itu tetap akan membekas. Luka itu akan terasa waktu kamu mengingat semuanya. Luka itu akan terasa waktu kamu bertemu dengan pemudi lain yang mengalami hal serupa sepertimu. Luka itu akan terasa waktu kamu sulit percaya kepada pasanganmu. Luka itu akan terasa waktu dia kasar dan tidak mempedulikan perasaanmu, apalagi waktu dia memukulimu. Luka itu akan terasa waktu dia meninggalkanmu mengejar wanita lain. Luka itu akan terasa waktu kamu menyadari bahwa dia terikat dengan pornografi, dan itulah yang membuat dia dulu begitu agresif kepadamu. Luka itu akan terasa waktu kamu harus mendidik anakmu sendiri untuk hidup dalam kekudusan. Luka itu akan sangat terasa, waktu dia memperlakukanmu dengan tidak hormat karena kamu dulu begitu mudah dilecehkan.
Oh, aku bersyukur… Walaupun sekian lama aku juga harus menanggung bekas luka itu, Yesus sungguh mengampuni dan memulihkan aku dan suamiku. Anugrah-Nya begitu besar. Tetapi tidak semua pemudi mengalami itu.
Aku sangat mengerti bahwa kasih Tuhan tidaklah bisa dibandingkan dengan kasih manusia. Kasih Tuhan itu sempurna dan kasih manusia itu cacat. Maka tak mungkin kita menemukan kasih yang sempurna dari sesama manusia. Tetapi mengapa kita memilih kasih yang bukan sekedar cacat, tetapi rusak, bobrok, najis, bahkan sama sekali bukan-kasih!? Mengapa kita biarkan itu?
Oh, pemudi kekasih Yesus, aku berdoa supaya kamu hidup kudus dan tak bercela. Sekalipun kamu tidak menemukan pasangan di dunia ini, ingatlah bahwa kamu terikat dengan kekasihmu yang sejati di sorga. Dan jikalau kamu menemukan pasangan di dunia ini, dia haruslah orang yang MENGINGINKAN kamu hidup kudus dan tak bercela bahkan RELA MENGORBANKAN DIRI untuk menjagamu kudus dan tak bercela.
Seperti Yesus, ya… seperti Yesus.
Wahai pemudi kekasih Yesus, demi kebaikanmu sendiri, demi kasih Allah, janganlah kecewakan Yesus yang mengasihimu. Engkau adalah pemudi kekasih Yesus, carilah pasangan yang mengasihimu… seperti Yesus mengasihimu.
Aku pernah mendengar sebuah khotbah yang terngiang-ngiang di telingaku sampai sekarang:
“Pemudi Kristen adalah pemudi kekasih Yesus!”
Sebagai seorang pemudi Kristen, aku pun tersentak. Betapa benarnya itu! Betapa bahagianya para pemudi Kristen karena dikasihi oleh Yesus! Tetapi, berkali-kali aku tertunduk sedih, sakit hati dan marah, ketika menyadari bahwa seringkali kami sendiri, para kekasih Yesus, yang membiarkan diri dirusak.
Aku dulu bertemu dengan dia di gereja. Seorang pemuda yang baik, rajin ke gereja dan terlibat pelayanan. Awalnya biasa saja bagiku, tetapi perhatiannya, kelembutannya, humornya, makin lama makin memikat hatiku. Akhirnya aku berkata "ya" menyambut cintanya. Awalnya pacaran kami sangat sehat. Kami bahkan banyak bicara tentang pelayanan. Tetapi kadang kami pergi berdua dan di saat sepi dia suka membelaiku. Jujur aku sangat menikmatinya. Lama kelamaan sentuhan, belaian, ciuman, menjadi semakin agresif. Hubungan kami makin lama makin jauh dan kami pun jatuh dalam dosa seksual yang paling dalam. Aku menangis dan dia pun meminta maaf. Kami berdoa dan meminta ampun ke Tuhan. Perasaanku tidak karuan setiap kali mengingat hal itu. Tapi entah mengapa, kami mengulanginya lagi.. dan lagi… Aku benar-benar ingin berhenti. Aku jijik dengan diriku. Aku marah dengan dia. Tapi aku tidak berani memutuskan hubungan itu. Hubungan kami dengan Tuhan pun semakin menjauh. Di hadapan banyak orang, kami adalah pasangan yang baik. Tetapi, itu justru membuatku semakin tertekan karena aku tahu, kami sangat munafik.
Sekian tahun aku bersama dengannya dan akhirnya… kami pun menikah. Tidak ada yang tahu kepedihan yang kurasakan pada waktu mengenakan cadar tanda kesucian, mendengar dia mengucapkan janji nikah yang sulit untuk kupercaya, dan menerima berkat dalam pernikahan kudus. Seperti apa hidupku nanti?
Itu sebabnya sangat sakit hatiku ketika baru-baru ini aku mendengar seorang pemudi kekasih Yesus bercerita:
“Dia diperkenalkan kepadaku oleh seorang teman. Dia terlihat dewasa dan bertanggung jawab. Dari perkenalan, lalu mulai sering chatting, pergi bersama teman, dan akhirnya kami pacaran. Sama seperti semua hubungan lainnya, setelah beberapa lama berpacaran, masalah di antara kami mulai muncul. Sebenarnya hampir semua hanyalah masalah kecil, kesalahpahaman, dan yah… seputar itu lah. Tapi yang membuatku terkejut adalah ketika marah, dia sering mengucapkan kata-kata kasar kepadaku. Waktu aku menegurnya, kadang dia meminta maaf, tetapi lebih sering dia membela diri. Aku tidak bisa mengerti emosinya yang meledak-ledak dan mudah marah. Belakangan ini, ternyata bukan saja mulut tapi tangan juga ikut berbicara. Sakit hatiku lebih sakit dari bekas tamparannya. Tetapi dia meminta maaf, dengan bersujud dia mohon ampun kepadaku dan berjanji tidak akan mengulanginya. Aku percaya kepadanya, apalagi kemudian dia berubah menjadi sangat baik kepadaku. Tapi ternyata peristiwa itu bukan yang pertama kali, bahkan bukan yang kedua kali… Tapi aku masih percaya dia akan berubah nanti walaupun entah kapan.”Oh.. ingin aku berteriak kepadanya untuk memutuskan hubungan itu dan tidak membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu.
Seakan masih belum cukup, aku mendengar juga seorang pemudi kekasih Yesus lainnya bercerita:
“Aku baru baru saja putus dengan pacarku. Sakit hati, kesedihan, membuat kesepian makin menjadi. Lalu datanglah seorang pemuda ke hidupku. Dia terlihat percaya diri, pandai bicara, dan menarik. Awalnya hanya chatting, lama kelamaan… dia makin terlihat menarik. Ah, perasaan ini melambung setiap kali dia memberi perhatian. Kesepianku tidak lagi terasa. Maka tanpa pikir panjang, dengan senang hati kuterima cintanya. Beberapa minggu berpacaran, aku terkejut ketika dia mencium bibirku. Rasanya aneh, terlalu cepat, dan ah… tidak benar. Tapi dia terlihat tenang dan yakin. Aku pun membiarkannya. Tetapi, aku lebih kaget lagi ketika tangannya semakin berani menggerayangi tubuhku. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak berani menolak. Kami memang tidak meneruskannya lebih jauh tetapi hampir setiap kali berduaan dia akan melakukannya. Aku merasa direndahkan dan dilecehkan. Aku ingin dia berhenti melakukannya tapi aku juga menikmatinya dan itu makin membuatku merasa bersalah. Di sisi lain, aku takut dia marah lalu memutuskan hubungan ini dan aku akan merasa kesepian lagi. Apa yang harus aku lakukan?”Cerita-cerita seperti ini yang dituturkan beberapa pemudi kekasih Yesus, dan juga dialami olehku, ya… cerita-cerita seperti inilah yang membuat
Aku ingat lagi kalimat-kalimat di dalam khotbah pendeta itu:
Wahai pemudi kekasih Yesus, tidakkah kamu mengerti betapa Yesus mengasihimu? Mengapa kamu biarkan seorang pria menghinamu, merusakmu, mengambil keuntungan darimu?
Tidak pernahkah kamu baca di Alkitab, perintah Tuhan kepada para suami adalah: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.” (Efesus 5:25-27)
Yesus begitu mengasihimu, sehingga DIA MATI BAGIMU, demi untuk MENGUDUSKANMU dan menjadikanmu TIDAK BERCELA! Maka demikianlah Ia memerintahkan para suami untuk memperlakukanmu dan demikianlah juga kamu harus memilih dan menilai pria yang pantas untuk menjadi pasanganmu!
Wahai pemudi kekasih Yesus, tidak tahukah kamu bahwa dengan membiarkan dirimu menjadi tidak kudus dan bercela, itu mendukakan Yesus yang mengasihimu?
Wahai pemudi kekasih Yesus, tidak tahukah kamu bahwa tidak ada alasan untuk kamu mencari kasih yang palsu, bobrok dan bukan-kasih hanya karena kamu kesepian?
Yesus mengasihimu dan itu lebih dari cukup. Yesus menginginkan yang terbaik bagimu. Yesus menginginkan kamu hidup KUDUS dan TAK BERCELA, dengan atau tanpa pendamping seorang pria! DIA MATI BAGIMU untuk itu!Izinkan aku memberikan nasihat kepadamu pemudi-pemudi kekasih Yesus. Waktu akan berlalu. Relasimu dengan dia mungkin tidak berlanjut ke jenjang pernikahan. Tetapi, luka yang ditimbulkannya kepadamu akan membekas.
Ya, waktu akan berlalu. Sekalipun relasimu dengan dia berlanjut ke pernikahan, seperti yang kualami, luka itu tetap akan membekas. Luka itu akan terasa waktu kamu mengingat semuanya. Luka itu akan terasa waktu kamu bertemu dengan pemudi lain yang mengalami hal serupa sepertimu. Luka itu akan terasa waktu kamu sulit percaya kepada pasanganmu. Luka itu akan terasa waktu dia kasar dan tidak mempedulikan perasaanmu, apalagi waktu dia memukulimu. Luka itu akan terasa waktu dia meninggalkanmu mengejar wanita lain. Luka itu akan terasa waktu kamu menyadari bahwa dia terikat dengan pornografi, dan itulah yang membuat dia dulu begitu agresif kepadamu. Luka itu akan terasa waktu kamu harus mendidik anakmu sendiri untuk hidup dalam kekudusan. Luka itu akan sangat terasa, waktu dia memperlakukanmu dengan tidak hormat karena kamu dulu begitu mudah dilecehkan.
Oh, aku bersyukur… Walaupun sekian lama aku juga harus menanggung bekas luka itu, Yesus sungguh mengampuni dan memulihkan aku dan suamiku. Anugrah-Nya begitu besar. Tetapi tidak semua pemudi mengalami itu.
Aku sangat mengerti bahwa kasih Tuhan tidaklah bisa dibandingkan dengan kasih manusia. Kasih Tuhan itu sempurna dan kasih manusia itu cacat. Maka tak mungkin kita menemukan kasih yang sempurna dari sesama manusia. Tetapi mengapa kita memilih kasih yang bukan sekedar cacat, tetapi rusak, bobrok, najis, bahkan sama sekali bukan-kasih!? Mengapa kita biarkan itu?
Oh, pemudi kekasih Yesus, aku berdoa supaya kamu hidup kudus dan tak bercela. Sekalipun kamu tidak menemukan pasangan di dunia ini, ingatlah bahwa kamu terikat dengan kekasihmu yang sejati di sorga. Dan jikalau kamu menemukan pasangan di dunia ini, dia haruslah orang yang MENGINGINKAN kamu hidup kudus dan tak bercela bahkan RELA MENGORBANKAN DIRI untuk menjagamu kudus dan tak bercela.
Seperti Yesus, ya… seperti Yesus.
Wahai pemudi kekasih Yesus, demi kebaikanmu sendiri, demi kasih Allah, janganlah kecewakan Yesus yang mengasihimu. Engkau adalah pemudi kekasih Yesus, carilah pasangan yang mengasihimu… seperti Yesus mengasihimu.
Subscribe to:
Posts (Atom)