Valentine Day is just around the corner again. It seems to be an
appropriate time to talk about dating :-)
Ok, saya tidak bermaksud menulis textbook cara “pendekatan”. Tapi
setelah mendengar berbagai cerita “gosip-seputar-pdkt-dan-pacaran”, saya merasa
ada yang kurang “pas”. Maka saya berharap paling tidak tulisan pendek ini bisa
sedikit menolong mereka yang sedang bergumul - untuk bergumul dengan benar.
Apa itu “pacaran”? Sederhananya, pacaran adalah masa dimana seorang pria dan
seorang wanita mengambil komitmen untuk lebih saling mengenal dan menjajaki
menuju ke pernikahan.
Perhatikan definisi itu. Hanya seorang pria dan seorang wanita, tidak bisa
“seorang” dengan “beberapa orang”. Lalu ada “komitmen”. Tetapi komitmennya bukan
untuk “hidup bersama”. Komitmennya bukan “to stay together forever
and ever”. Komitmennya bukan “you are mine and I am yours”. Tidak ada hal seperti itu dalam pacarana! Komitmennya hanyalah “lebih
saling mengenal dan menjajaki menuju ke pernikahan”. Maka di dalam pacaran, SAMA
SEKALI tidak boleh ada relasi yang sifatnya seksual. Relasi yang dijalin bukan
bersifat fisik tetapi komunikasi – pemikiran, perasaan, pengalaman, nilai hidup,
iman, dst. Komitmennya hanyalah menjajaki apakah saya dan dia bisa hidup bersama
seumur hidup nantinya.
Walaupun pacaran memang tidak ada komitmen seperti pernikahan, bukan berarti
boleh dimulai dengan sembarangan. Bagaimanapun pacaran melibatkan emosi, waktu
dan tenaga dari dua pihak, yang sangat sayang untuk disia-siakan. Maka untuk
mulai berpacaran harus ada “tingkat kepastian tertentu” – merasa
suka, cocok, mau komitmen berelasi, barulah dimulai. Sehingga faktor
“gambling” dan “sembarangan” diminimalisir. Di masa pacaran nanti,
kedua belah pihak akan sama-sama lagi menilai dan berdoa apakah benar bisa
dilanjutkan ke pernikahan. Artinya setelah ada “tingkat kepastian yang lebih tinggi” baru memberanikan diri masuk ke komitmen seumur hidup.
Untuk masuk ke masa pacaran, ada 2 pertanyaan yang perlu ditanyakan terlebih
dulu oleh setiap orang:
Pertama, apakah benar ada ketertarikan, ada perasaan suka,
dan melihat ada kecocokan? Tidak bisa tidak, perlu waktu untuk menjawab ini.
Kedua, apakah benar mau berkomitmen memasuki masa pacaran?
Memang bukan komitmen untuk menikah atau apapun yang serius, tapi hanya komitmen
mengkhususkan waktu, tentunya juga emosi dan pikiran, untuk mengenal dan menguji
kecocokan menuju ke pernikahan.
Pikirkan dan doakan untuk menjawab 2 pertanyaan itu. Libatkanlah Tuhan di dalam
pergumulan yang sangat penting ini.
Mulai dari yang pria, kalau memang jawaban untuk yang pertama dan kedua
adalah “ya”, BARU sesudah itu dia boleh menyatakan secara eksplisit ke yang
wanita. Ini penting! Hanya setelah yang pria yakin, BARU dia boleh menyatakan.
Lalu tunggu jawaban apakah yang wanita juga setuju untuk masuk ke masa pacaran.
Maka giliran si wanita untuk bertanya kepada diri sendiri dua pertanyaan di atas
itu dan mendoakannya.
Urutan di atas harus jelas.
Beberapa kesalahan yang biasa terjadi:
Pertama, terlalu cepat memasuki masa pacaran. Tanpa ada
“tingkat kepastian tertentu” - hanya berdasarkan perasaan suka (yang
mungkin sesaat) lalu berani masuk ke masa pacaran.
Emosi memang selalu melambung jauh lebih cepat dari akal sehat. Pada waktu
emosi melambung, dengan cepat kita akan berkata “tertarik, suka, cocok, MAU!”
Itu sebabnya perlu waktu untuk membuat emosi "turun" dan stabil dulu, baru bisa
berpikir jernih apakah memang tertarik, suka, cocok dan mau pacaran. Jangan
mengambil komitmen apapun dalam keadaan emosi yang sedang sangat melambung.
Banyak orang yang nekat mengambil komitmen waktu lagi “melayang-layang” dan
kecewa setelah “layangan”nya turun ke bumi.
Berikan waktu beberapa bulan untuk berteman saja (tanpa romantisme at
all!) dan usahakan tidak pergi berduaan tapi selalu bersama dengan
teman-teman lain. Jika relasi disertai banyak romantisme – kata-kata mesra,
kontak terus menerus, sering pergi berduaan, apalagi ada kontak fisik, maka
tidak pernah akan ada kematangan dalam pergumulan. Romantisme dan kontak fisik
sudah berjalan mendahului komitmen dan akal sehat akan jauh tertinggal di
belakang.
Kesalahan kedua, berlawanan dengan yang pertama, yaitu
terlalu lama mengambil keputusan. Pria memang harus bertanya kepada diri sendiri
dua pertanyaan di atas dan mendoakan. Tetapi jangan lupa, ini bukan mencari
kepastian untuk “menikah” tapi untuk “memasuki masa penjajakan menuju ke
pernikahan”. Jadi tidak bisa harus pasti dan yakin “she is the one”
baru mau pacaran. Tidak akan pernah yakin! Keyakinan itu baru bisa didapat nanti
waktu di masa pacaran. Maka masa memikirkan dan mendoakan ini tidak perlu
terlalu lama (walaupun bukan berarti terlalu cepat dan sembarangan).
Alasannya adalah: Ketika seorang pria merasa suka, sadar atau tidak sadar dia
akan banyak “mendekati” si wanita. Dia akan cukup sering kontak, memberi
perhatian, dsb. Kalau si wanita tidak suka dengan dia, maka gampang, si wanita
pasti akan menjauh. Tapi kalau si wanita suka, maka dia akan kasihan sekali
karena perasaannya terus diaduk-aduk. Di satu sisi dia merasa si pria mendekati
dia (membuat dia berharap), tapi di sisi lain si pria tidak maju-maju. Jadi
seperti digantung – friendzoned. Apalagi kalau kemudian setelah sekian
lama, akhirnya si pria memutuskan untuk tidak mau memasuki masa pacaran. Sekian lama si
wanita merasa didekati, diperhatikan, lalu si pria tiba-tiba menjauh! Itu sangat
menyakitkan. Memang namanya juga lagi bergumul dan jawabannya bisa “tidak”, tapi
justru itu sebabnya jangan terlalu lama. Kasarnya, mau ya mau, nggak ya nggak
:-)
Dengan alasan yang sama, setelah pria menyatakan, jangan yang wanita kemudian
giliran friendzoning dia. Memang pasti perlu waktu untuk berpikir dan
berdoa. Tidak ada patokan juga berapa waktu yang diperlukan, tapi 6 bulan pasti
terlalu lama.
Kesalahan ketiga, si pria yang sama sekali belum ada
kepastian ini bilang ke si wanita, “saya lagi mendoakan kamu”. Woohooo…. Bagi
wanita (yang cenderung lebih emosional), informasi itu tidak ada bedanya dengan
“pernyataan langsung”. Bagi dia itu artinya si pria menyukai dia. Dia akan
sangat berharap dan sangat sakit hati ketika akhirnya “hasil doa” si pria adalah
“tidak”. Maka saya sangat tidak setuju dengan cara seperti itu.
Pria harus berpikir dan berdoa sendiri dulu, walaupun sambil mendekati – asal
jangan lama-lama. Setelah ada keputusan bahwa dia mau, BARU menyatakan. Barulah
saat itu “bola”nya dilempar ke si wanita untuk memutuskan. Jangan sampai setelah
bola dilempar ke si wanita, dengan alasan “sama-sama mendoakan”, lalu si wanita
memutuskan “mau” sementara si pria memutuskan “tidak”. Bukan begitu urutannya.
I hope that helps. Selamat bergumul – dengan benar :-)