“Kita bukan saja harus memberitakan Injil kepada orang lain. Kita juga harus mendengar dan menerima berita Injil, bukan hanya satu kali waktu percaya, tetapi terus menerus. Kita harus mengkhotbahkan Injil terus menerus kepada diri kita sendiri.”
Sudah lama saya mendengar pernyataan itu. Saya mengamininya. Tetapi berita Injil seperti apa yang harus kita khotbahkan?
Injil pertama-tama adalah tentang keselamatan. Berita Injil adalah tentang Yesus yang “telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini” (Galatia 1:4). Injil adalah kuasa Allah yang menyelamatkan kita.
Tetapi Injil juga memiliki dimensi yang lain.
Injil juga adalah berita bahwa Tuhan sudah merobohkan tembok pemisah (Efesus 2:11-18). Tidak ada lagi pemisahan suku, yang jauh dan yang dekat dengan Allah. Suku bangsa dan bahasa tidak boleh lagi menjadi pemisah di antara umat Allah. Kita semua dijadikan manusia baru yang diperdamaikan dengan Allah oleh salib. Maka setiap orang yang percaya kepada Allah diterima sebagai kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota keluarga Allah.
Satu catatan yang penting: Tidak berarti ini adalah keluarga yang tanpa aturan – semua, asalkan percaya, tidak peduli bagaimana “percaya”nya dan “kelakuan”nya, harus diterima tanpa ada teguran dan koreksi. Paulus berkata keluarga ini “dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Efesus 2:20) dan menjadi sebuah bangunan “bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan… tempat kediaman Allah, di dalam Roh” (Efesus 2:21-22). Jelas ada pekerjaan rumah yang besar untuk keluarga ini. Tetapi, bagaimanapun, suku bangsa dan bahasa tidak boleh menjadi pemisah atau pembeda di dalam Kristus.
Apakah kita mengkhotbahkan Injil ini terus menerus kepada diri kita sendiri?
Injil adalah berita bahwa Tuhan peduli kepada setiap orang, khususnya mereka yang lemah dan tertindas (Lukas 4:18-19). Berita Injil adalah berita bahwa Tuhan sedang bekerja menjadikan dunia baru, yang penuh keadilan, belas kasihan, dan kebenaran. Tuhan tidak akan tinggal diam dan membiarkan segala ketidakbenaran di dalam dunia terus berjalan. Hari ini, gereja, harus memberitakan ini kepada dunia dan mengerjakannya.
Apakah kita mengkhotbahkan Injil ini terus menerus kepada diri kita sendiri?
Injil juga adalah berita bahwa Tuhan menerima kita apa adanya, tanpa syarat (Roma 5:10). Tuhan mengasihi kita bukan pada waktu kita baik tapi pada waktu kita masih seteru. Bagaimana mungkin hari ini, ketika kita sudah menjadi anak-anakNya, Dia tidak mengasihi kita ketika kita melakukan kesalahan? Sebesar apapun kesalahan kita, tidak akan membuat Dia membatalkan kasihNya bagi kita. Sebesar apapun kebaikan kita, tidak akan membuat Dia lebih mengasihi kita.
Sebuah kalimat di dalam film The Greatest Showman sangatlah baik: “You don’t need everyone to love you, just a few good people.” Engkau tidak perlu dikasihi semua orang, cukup beberapa orang yang baik saja. Bukankah yang terbesar di antara “beberapa yang baik” itu adalah Yesus? Jika Yesus mengasihi kita, itu sudah lebih dari cukup. Bonusnya adalah beberapa orang di sekitar kita yang melaluinya Tuhan berbisik: Aku mengasihimu.
Apakah kita mengkhotbahkan Injil ini terus menerus kepada diri kita sendiri?
Kalau Injil adalah Tuhan menerima kita apa adanya, maka Injil juga adalah Tuhan menerima dan mengasihi saudara-saudara seiman kita apa adanya. Mereka mungkin punya banyak kelemahan yang mengganggu kita. Mereka mungkin tidak cocok dengan kita. Bahkan mereka mungkin menyakiti kita. Tetapi, kalau Tuhan mengasihi mereka, bukankah kita harus mengasihi mereka juga? Kalau Tuhan mengampuni mereka, bukankah kita harus mengampuni mereka juga?
Injil juga adalah pengharapan bahwa hidup kita sedang menuju kepada sebuah keadaan dimana Tuhan akan menghapuskan segala yang jahat di dunia ini dan menyempurnakan segala yang masih menunggu (Wahyu 20:1-5). Bukan hanya sakit dan penderitaan yang akan dihapuskan, tetapi kasih yang sulit di tengah keluarga yang tidak sempurna, relasi yang berantakan karena kesalahan, dan pelayanan yang seperti tidak ada hasilnya, akan menemui kesempurnaannya.
Sejujurnya, saya sering tidak mengkhotbahkan Injil itu kepada diri sendiri. Di tengah tekanan kehidupan, saya sering berjuang sendiri dan gagal sendiri. Akhirnya saya tidak mengingat dengan kuat siapa Tuhan, siapa saya, siapa orang lain, dan untuk apa saya hidup. Maka betapa saya perlu lagi dan lagi datang kepada salib Kristus, dan mendengar berita InjilNya. Hanya dengan itu saya punya kekuatan untuk hidup dan melayani.
Sudahkah mendengar berita Injil, hari ini?
Friday, October 05, 2018
Wednesday, July 11, 2018
The Conviction to Lead–Albert Mohler
Albert Mohler, The Conviction to Lead: 25 Principles for Leadership that Matters (Minneapolis: Bethany House, 2012), 220 pages.
Saya tertarik membaca buku ini karena dua hal.
Pertama, karena saya sadar bahwa menjadi gembala GKY Green Ville is no joke. Saya perlu mencari pertolongan dari orang lain untuk mengajari saya bagaimana memimpin. Tetapi, saya memilih untuk belajar dari orang yang saya percaya kualitas dan keyakinannya. Albert Mohler memenuhi kriteria itu.
Kedua, karena kisah dramatis di awal kepemimpinan Albert Mohler. Dia dipercaya untuk menjadi presiden dari Southern Baptist Theological Seminary pada usia 33 tahun di tahun 1993. Saat itu SBTS sudah berusia 144 tahun! Mohler sendiri baru empat tahun sebelumnya lulus dengan PhD dari sekolah itu. Dia diminta untuk membalikkan total arah dari seminari itu kembali kepada keyakinan iman semula dan dia harus menghadapi tentangan luar biasa dari mahasiswa dan hampir semua dosen yang ada. Sejak hari pertama dia memimpin, mahasiswa sudah berkumpul untuk demonstrasi dan setiap saat ada wartawan di depan kantornya. Hampir semua dosen kemudian mengundurkan diri. Tetapi, Mohler kemudian berhasil menjadikan SBTS kembali menjadi sekolah yang besar.
Buku ini berisi 25 bab pendek, masing-masing hanya sekitar 6-8 halaman. Setiap bab bisa dibaca dalam waktu singkat. Bahkan saya merasa buku ini sebaiknya dibaca sedikit demi sedikit daripada sekaligus. Tentu tidak semua bab itu bisa diterapkan di dalam semua konteks. Tetapi, banyak di antaranya yang memberikan inspirasi.
Hal paling penting yang menjadi dasar dari semua bab di dalam buku ini adalah seorang pemimpin harus memimpin berdasarkan keyakinan. Kepemipinan dimulai dengan tujuan dan bukan rencana. Keyakinan dan tujuan itulah yang harus terlihat dari seorang pemimpin dan menginspirasi orang yang dipimpinnya. Kemudian dia membahas banyak hal mengenai tantangan, kesempatan, dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Berikut adalah beberapa judul bab dalam buku ini untuk memberikan gambaran:
Leaders Understand Worldviews
Leaders Are Thinkers
Leaders Are Teachers
The Leader and Power
Leaders Are Managers
The Leader as Writer
The Digital Leader
Sejujurnya dia meletakkan standar yang sangat tinggi – yang membuat saya ngeri. Tetapi, dia bukan menulis dari menara gading. Jelas bahwa apa yang dia tulis sudah dan sedang dia jalankan. He walks the talk.
Saya merasa perlu waktu lebih lama untuk membuat merenungkan apa yang dia tulis.
Recommended!
Saya tertarik membaca buku ini karena dua hal.
Pertama, karena saya sadar bahwa menjadi gembala GKY Green Ville is no joke. Saya perlu mencari pertolongan dari orang lain untuk mengajari saya bagaimana memimpin. Tetapi, saya memilih untuk belajar dari orang yang saya percaya kualitas dan keyakinannya. Albert Mohler memenuhi kriteria itu.
Kedua, karena kisah dramatis di awal kepemimpinan Albert Mohler. Dia dipercaya untuk menjadi presiden dari Southern Baptist Theological Seminary pada usia 33 tahun di tahun 1993. Saat itu SBTS sudah berusia 144 tahun! Mohler sendiri baru empat tahun sebelumnya lulus dengan PhD dari sekolah itu. Dia diminta untuk membalikkan total arah dari seminari itu kembali kepada keyakinan iman semula dan dia harus menghadapi tentangan luar biasa dari mahasiswa dan hampir semua dosen yang ada. Sejak hari pertama dia memimpin, mahasiswa sudah berkumpul untuk demonstrasi dan setiap saat ada wartawan di depan kantornya. Hampir semua dosen kemudian mengundurkan diri. Tetapi, Mohler kemudian berhasil menjadikan SBTS kembali menjadi sekolah yang besar.
Buku ini berisi 25 bab pendek, masing-masing hanya sekitar 6-8 halaman. Setiap bab bisa dibaca dalam waktu singkat. Bahkan saya merasa buku ini sebaiknya dibaca sedikit demi sedikit daripada sekaligus. Tentu tidak semua bab itu bisa diterapkan di dalam semua konteks. Tetapi, banyak di antaranya yang memberikan inspirasi.
Hal paling penting yang menjadi dasar dari semua bab di dalam buku ini adalah seorang pemimpin harus memimpin berdasarkan keyakinan. Kepemipinan dimulai dengan tujuan dan bukan rencana. Keyakinan dan tujuan itulah yang harus terlihat dari seorang pemimpin dan menginspirasi orang yang dipimpinnya. Kemudian dia membahas banyak hal mengenai tantangan, kesempatan, dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Berikut adalah beberapa judul bab dalam buku ini untuk memberikan gambaran:
Leaders Understand Worldviews
Leaders Are Thinkers
Leaders Are Teachers
The Leader and Power
Leaders Are Managers
The Leader as Writer
The Digital Leader
Sejujurnya dia meletakkan standar yang sangat tinggi – yang membuat saya ngeri. Tetapi, dia bukan menulis dari menara gading. Jelas bahwa apa yang dia tulis sudah dan sedang dia jalankan. He walks the talk.
Saya merasa perlu waktu lebih lama untuk membuat merenungkan apa yang dia tulis.
Recommended!
Friday, July 06, 2018
Penggambaran Sikap Doa
Dari sekian banyak penggambaran sikap orang ketika berdoa, saya tidak tahu mengapa dua gambaran di bawah ini paling menggerakkan hati saya.
Pertama, orang yang berlutut berdoa sambil menengadahkan tangannya.
Kedua, orang yang berdoa sambil mengulurkan tangannya ke atas.
Seringkali ketika melihat penggambaran seperti itu saya merasakan ada koneksi dengan hati saya.
Mungkin karena menengadahkan tangan sebagai sikap berdoa menunjukkan sikap seseorang yang membutuhkan Tuhan dan memohon supaya Tuhan memberikan kekuatan di tengah pergumulan hidupnya. Seakan-akan dia sedang memohon, berulang kali, “Tuhan, berkatilah aku… berkatilah aku!”
Mungkin juga karena mengulurkan tangan ke atas sebagai sikap berdoa menunjukkan sikap seseorang yang dalam keadaan tertekan dan berusaha menggapai ke Tuhan. Saya ingat Mazmur 77:3 “Pada hari kesusahanku aku mencari Tuhan; malam-malam tanganku terulur dan tidak menjadi lesu…” Istilah “terulur” berarti “menggapai ke atas”. Pemazmur bercerita bahwa di dalam usahanya mencari Tuhan pada hari kesusahannya, tangannya terulur tanpa lelah! Seakan-akan dia memohon, berulang kali, “Tuhan, kasihanilah aku.... kasihanilah aku!”
Saya tidak bisa sepenuhnya menjelaskan mengapa dua penggambaran di atas lebih menggerakkan saya dibanding yang lainnya. Pergumulan hidup dan kesusahan yang saya alami sangatlah tidak berarti dibanding banyak orang kudus lain. Tetapi sebagai orang yang penuh dengan kelemahan, semakin lama semakin saya merasakan kebutuhan akan belas kasihan Tuhan dan berkat Tuhan. Saya membutuhkan Tuhan!
Beberapa waktu lalu saya menemukan gambar di bawah ini dari Logos dan saya jadikan sebagai wallpaper di laptop saya.
Saya tahu bahwa di dalam anugrahNya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan saya dan jauh dari saya. Tetapi, pertolongan Tuhan diberikan kepada mereka yang menantikannya dengan rendah hati. So I want to pray like that!
Pertama, orang yang berlutut berdoa sambil menengadahkan tangannya.
Kedua, orang yang berdoa sambil mengulurkan tangannya ke atas.
Seringkali ketika melihat penggambaran seperti itu saya merasakan ada koneksi dengan hati saya.
Mungkin karena menengadahkan tangan sebagai sikap berdoa menunjukkan sikap seseorang yang membutuhkan Tuhan dan memohon supaya Tuhan memberikan kekuatan di tengah pergumulan hidupnya. Seakan-akan dia sedang memohon, berulang kali, “Tuhan, berkatilah aku… berkatilah aku!”
Mungkin juga karena mengulurkan tangan ke atas sebagai sikap berdoa menunjukkan sikap seseorang yang dalam keadaan tertekan dan berusaha menggapai ke Tuhan. Saya ingat Mazmur 77:3 “Pada hari kesusahanku aku mencari Tuhan; malam-malam tanganku terulur dan tidak menjadi lesu…” Istilah “terulur” berarti “menggapai ke atas”. Pemazmur bercerita bahwa di dalam usahanya mencari Tuhan pada hari kesusahannya, tangannya terulur tanpa lelah! Seakan-akan dia memohon, berulang kali, “Tuhan, kasihanilah aku.... kasihanilah aku!”
Saya tidak bisa sepenuhnya menjelaskan mengapa dua penggambaran di atas lebih menggerakkan saya dibanding yang lainnya. Pergumulan hidup dan kesusahan yang saya alami sangatlah tidak berarti dibanding banyak orang kudus lain. Tetapi sebagai orang yang penuh dengan kelemahan, semakin lama semakin saya merasakan kebutuhan akan belas kasihan Tuhan dan berkat Tuhan. Saya membutuhkan Tuhan!
Beberapa waktu lalu saya menemukan gambar di bawah ini dari Logos dan saya jadikan sebagai wallpaper di laptop saya.
Saya tahu bahwa di dalam anugrahNya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan saya dan jauh dari saya. Tetapi, pertolongan Tuhan diberikan kepada mereka yang menantikannya dengan rendah hati. So I want to pray like that!
Tuesday, May 29, 2018
The End of A Very Long Chapter
Note: Sudah lama saya mengabaikan blog ini. Alasannya apa lagi kalau bukan kesibukan. Sesungguhnya sulit bagi saya untuk mulai menulis lagi. Tetapi saya masih merasa blog ini adalah media pelayanan yang efektif. So here I come again :-) Tapi sebelum saya mulai menulis artikel lagi, saya ingin menutup sebuah "bab" yang sangat panjang dalam hidup saya dengan tulisan di blog ini. Peringatan: Tulisan ini panjang!
Pada bulan April 2017, saya kembali ke Jakarta dalam kondisi disertasi yang belum selesai. Saya berjuang untuk menyelesaikannya. Tetapi, saya hampir tidak punya waktu untuk menulis apapun ketika berada di Jakarta. Maka setiap kali memungkinkan, saya kembali ke Singapore untuk meneruskan penulisan disertasi itu. Jangan tanya bagaimana saya bisa menyelesaikan disertasi dengan cara seperti itu. Saya juga tidak tahu.
Tanggal 6-13 Februari 2018 saya ke Singapore lagi dengan harapan bahwa itu adalah yang terakhir kalinya untuk menyelesaikan penulisan disertasi. Kalaupun tidak bisa selesai, saya bertekad untuk menyelesaikan semuanya di Jakarta. Tetapi, Tuhan sangat baik. Pada waktu di Singapore, begitu banyak "untung" dan "kebetulan" yang membuat saya berhasil menyelesaikan penulisan dan supervisor saya menyetujui disertasi saya untuk diserahkan ke penguji. Jangan tanya bagaimana lelahnya saya waktu itu. Tapi, yang pasti legaaaa... sekali rasanya.
Langkah berikutnya adalah menunggu jadwal sidang. Biasanya perlu waktu minimal tiga bulan sejak disertasi diserahkan sampai sidang dilakukan. Tetapi, wisuda akan dilakukan tanggal 12 Mei dan itu berarti tidak akan keburu dan saya mungkin harus menunda wisuda ke tahun 2019. Walaupun bagi saya, asalkan-selesai-ya-sudah-lah, tetap rasanya akan ada sesuatu yang mengganjal. Ajaibnya, keburu!
Saya ke Singapore lagi untuk sidang tanggal 4 April. Penguji saya adalah Prof. G. Walter Hansen dari Fuller Theological Seminary dan Dr. Leonard Wee sebagai internal examiner. Sebetulnya saya sangat tidak siap untuk sidang karena kesibukan yang luar biasa di Jakarta. Saya tidak bisa membayangkan pertanyaan yang akan diberikan oleh penguji dan saya lebih tidak bisa membayangkan lagi bagaimana menjawabnya. Jangan tanya bagaimana tegangnya. Level tertinggi. Jangan tanya juga bagaimana saya bisa lulus. Mukjizat.
Prof. G. Walter Hansen adalah seorang accomplished scholar dalam Perjanjian Baru dan juga ahli dalam surat Galatia. Maka beberapa komentar dari dia di bawah ini membuat saya sangat bersyukur. Bukan karena merasa hebat, tetapi karena saya ingat bagaimana Tuhan memimpin saya menulis bab demi bab:
From the good survey of references to the Spirit in Jewish literature to the in-depth analysis of metaphors of the Spirit, this thesis admirably exemplifies the kind of breadth and depth we look for in a doctoral thesis.
Rather than wondering what central point this thesis wants to make, we know from the beginning to the end that it argues for one central point: living in conformity to the ethics of the Spirit, not the ethics of the Torah, leads to final justification.
He has done an admirable work in producing such a major thesis. So much of his work contributes to our understanding of Galatians.
Dengan murah hati, dia kemudian menulis email kepada saya secara pribadi:
My first and special thanks go to my wise Doktorvater, Dr. Tan Kim Huat, for his insightful comments and patience. He had also supervised me in writing my thesis for Master of Theology degree, which was also done at Trinity Theological College. It is a great privilege for me that I can study with him for about eight years and I hope that the result does not disappoint him too much. Thank you Dr. Tan! My examiners, Prof. G. Walter Hansen and Dr. Leonard Wee, have offered helpful corrections and advice. Whatever deficiencies remain in the present work is my sole responsibility.
I owe a warm word of thanks to the leaders and members of my church in Jakarta, Gereja Kristus Yesus Green Ville. They have patiently waited for me to finish my study and to be back in the ministry while also graciously providing financial support throughout the years. All for the greater glory of God! To the leaders and members of Gereja Kristus Yesus Singapore, thanks for the fellowship and all the support given to me and my wife since the first day we moved to Singapore. Thanks, too, to the Brash Trust, who has provided substantial amount of scholarship during my study in Singapore.
And to my wife, Yudith, what else can I say about her? She is such a great blessing and constant encouragement for me. To her, many thanks are given, beyond what words can express. I devote this work to my Savior God, Jesus Christ, and to her.
Thanks all! It's been a long journey!
With my supervisor, Prof. Tan Kim Huat.
Thanks a bunch GKYers Singapore!
With Dr. Edmund Fong. We were in the same batch during our M.Th study in TTC.
With Dr. Michael Mukunthan. TTC's librarian.
With Duy - D.Th candidate from Vietnam. My neighbor in the library :-)
Some important people in the background :-)
With Anthony and his family - a Malaysian friend.
Mandatory pose in a mandatory spot!
Thanks for many durian treats during the past 9 years!
Pada bulan April 2017, saya kembali ke Jakarta dalam kondisi disertasi yang belum selesai. Saya berjuang untuk menyelesaikannya. Tetapi, saya hampir tidak punya waktu untuk menulis apapun ketika berada di Jakarta. Maka setiap kali memungkinkan, saya kembali ke Singapore untuk meneruskan penulisan disertasi itu. Jangan tanya bagaimana saya bisa menyelesaikan disertasi dengan cara seperti itu. Saya juga tidak tahu.
Tanggal 6-13 Februari 2018 saya ke Singapore lagi dengan harapan bahwa itu adalah yang terakhir kalinya untuk menyelesaikan penulisan disertasi. Kalaupun tidak bisa selesai, saya bertekad untuk menyelesaikan semuanya di Jakarta. Tetapi, Tuhan sangat baik. Pada waktu di Singapore, begitu banyak "untung" dan "kebetulan" yang membuat saya berhasil menyelesaikan penulisan dan supervisor saya menyetujui disertasi saya untuk diserahkan ke penguji. Jangan tanya bagaimana lelahnya saya waktu itu. Tapi, yang pasti legaaaa... sekali rasanya.
Langkah berikutnya adalah menunggu jadwal sidang. Biasanya perlu waktu minimal tiga bulan sejak disertasi diserahkan sampai sidang dilakukan. Tetapi, wisuda akan dilakukan tanggal 12 Mei dan itu berarti tidak akan keburu dan saya mungkin harus menunda wisuda ke tahun 2019. Walaupun bagi saya, asalkan-selesai-ya-sudah-lah, tetap rasanya akan ada sesuatu yang mengganjal. Ajaibnya, keburu!
Saya ke Singapore lagi untuk sidang tanggal 4 April. Penguji saya adalah Prof. G. Walter Hansen dari Fuller Theological Seminary dan Dr. Leonard Wee sebagai internal examiner. Sebetulnya saya sangat tidak siap untuk sidang karena kesibukan yang luar biasa di Jakarta. Saya tidak bisa membayangkan pertanyaan yang akan diberikan oleh penguji dan saya lebih tidak bisa membayangkan lagi bagaimana menjawabnya. Jangan tanya bagaimana tegangnya. Level tertinggi. Jangan tanya juga bagaimana saya bisa lulus. Mukjizat.
Prof. G. Walter Hansen adalah seorang accomplished scholar dalam Perjanjian Baru dan juga ahli dalam surat Galatia. Maka beberapa komentar dari dia di bawah ini membuat saya sangat bersyukur. Bukan karena merasa hebat, tetapi karena saya ingat bagaimana Tuhan memimpin saya menulis bab demi bab:
From the good survey of references to the Spirit in Jewish literature to the in-depth analysis of metaphors of the Spirit, this thesis admirably exemplifies the kind of breadth and depth we look for in a doctoral thesis.
Rather than wondering what central point this thesis wants to make, we know from the beginning to the end that it argues for one central point: living in conformity to the ethics of the Spirit, not the ethics of the Torah, leads to final justification.
He has done an admirable work in producing such a major thesis. So much of his work contributes to our understanding of Galatians.
Dengan murah hati, dia kemudian menulis email kepada saya secara pribadi:
Congratulations,
Jeffrey!
I pray that you will be "led by the Spirit," not only as you complete your work on this good thesis, but also as you carry on your ministry to proclaim the “truth of the gospel.”
The Lord bless you and keep you!
Walter Hansen
I pray that you will be "led by the Spirit," not only as you complete your work on this good thesis, but also as you carry on your ministry to proclaim the “truth of the gospel.”
The Lord bless you and keep you!
Walter Hansen
Tuhan tahu bahwa hari dimana saya sidang adalah hari besar bagi saya - akhir perjalanan studi selama lima tahun, bahkan sembilan tahun kalau dihitung sejak studi M.Th, ditentukan hari itu - dan saya sepenuhnya bergantung kepada Tuhan. Saya bukan hanya berlutut. Saya tiarap. Maka, hari itu, Tuhan menggerakkan sangat banyak orang berdoa untuk saya. Saya tidak cerita ke banyak orang bahwa hari itu saya sidang disertasi tapi berita itu menyebar. Sejak pagi hari itu saya menerima banyak sekali ucapan dukungan. Istri saya berkata, "banyak sekali orang berdoa untuk kamu" - dan dia benar. Selesai sidang, saya menangis karena terharu. Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan.
Di bawah ini adalah ucapan terima kasih yang saya tuliskan di dalam disertasi saya:
All who have undergone the task of writing a dissertation would agree that without the presence of so many people who had supported them, even sacrificed for them, they would never have been able to complete it. I am grateful for the presence of many such people around me during my study at Trinity Theological College. To them, I am much indebted.
My first and special thanks go to my wise Doktorvater, Dr. Tan Kim Huat, for his insightful comments and patience. He had also supervised me in writing my thesis for Master of Theology degree, which was also done at Trinity Theological College. It is a great privilege for me that I can study with him for about eight years and I hope that the result does not disappoint him too much. Thank you Dr. Tan! My examiners, Prof. G. Walter Hansen and Dr. Leonard Wee, have offered helpful corrections and advice. Whatever deficiencies remain in the present work is my sole responsibility.
I owe a warm word of thanks to the leaders and members of my church in Jakarta, Gereja Kristus Yesus Green Ville. They have patiently waited for me to finish my study and to be back in the ministry while also graciously providing financial support throughout the years. All for the greater glory of God! To the leaders and members of Gereja Kristus Yesus Singapore, thanks for the fellowship and all the support given to me and my wife since the first day we moved to Singapore. Thanks, too, to the Brash Trust, who has provided substantial amount of scholarship during my study in Singapore.
My thanks and affection also go to my family for their love and support. They have always been a precious part of my life. I am indebted, too, to my close friends and “spiritual children” in Singapore and in Jakarta. They have played a vital role in keeping me both sane and motivated.
And to my wife, Yudith, what else can I say about her? She is such a great blessing and constant encouragement for me. To her, many thanks are given, beyond what words can express. I devote this work to my Savior God, Jesus Christ, and to her.
To God be the glory!
With my supervisor, Prof. Tan Kim Huat.
Thanks a bunch GKYers Singapore!
With Dr. Michael Mukunthan. TTC's librarian.
With Duy - D.Th candidate from Vietnam. My neighbor in the library :-)
Some important people in the background :-)
With Anthony and his family - a Malaysian friend.
Mandatory pose in a mandatory spot!
Subscribe to:
Posts (Atom)