Sebutan umum bagi mereka yang masuk sekolah teologi dan kemudian melayani secara penuh waktu adalah 'hamba Tuhan'. Sebutan ini dipakai begitu saja dan jarang dipertanyakan ketepatannya. Mungkin istilah ini sudah terlalu sering didengar sehingga tidak lagi menggelitik telinga kita, atau mungkin kita berpikir “apalah arti sebuah nama”.
Dengan berpikir sederhana saja kita akan menyadari ketidak-tepatan sebutan ini. Siapakah hamba Tuhan? Setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan. Hamba Tuhan adalah umat Tuhan yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang Tuhan yang ajaib untuk memberitakan perbuatan yang besar itu. Maka istilah hamba Tuhan tidak tepat dipakai hanya untuk menunjuk sekelompok orang Kristen. Karena kalau begitu, lalu yang lain hamba siapa? Seakan-akan ada hamba Tuhan dan ada yang bukan hamba Tuhan.
Tetapi saya mengakui tidak mudah menemukan istilah penggantinya.
Alkitab Perjanjian Lama menyebut orang yang melayani dengan cara yang mirip seperti 'hamba Tuhan' hari ini sebagai: nabi atau imam. Tetapi istilah ini pun tidak tepat dipakai karena nabi dan imam menunjuk kepada jabatan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Nabi adalah juru bicara Tuhan, penyambung lidah Tuhan, penyampai firman Tuhan. Mereka menerima langsung firman dari Tuhan dan menyampaikannya dengan otoritas. Tulisan merekalah yang kemudian menjadi bagian dari Alkitab. Fungsi kenabian yaitu menyampaikan suara Tuhan terus ada sampai sekarang tetapi jabatan itu tidak ada lagi. Kita hanya menyampaikan dan menjelaskan berita yang sudah diterima oleh para nabi. Imam adalah mereka yang berdiri menjadi perantara antara Tuhan dan umatNya. Mereka berdoa, memohonkan ampun bagi umat Tuhan dan menyatakan apa yang suci, tahir dan yang najis. Dalam Perjanjian Baru, jabatan ini pun tidak ada lagi karena Yesus sudah menjadi imam kita. Fungsi keimaman itu kita teruskan dengan satu imam besar kita yaitu Yesus Kristus.
Maka istilah apa yang tepat? Alkitab sebenarnya memberikan satu istilah yang sangat baik: "Gembala". Para pemimpin umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama disebut sebagai Gembala dan di Perjanjian Baru ditegaskan bahwa para pemimpin gereja harus menjadi Gembala bagi umat Tuhan. Tidak seperti istilah 'hamba Tuhan' yang menyatakan keadaan atau status semua orang Kristen, istilah “Gembala” langsung menggambarkan fungsi dari mereka yang dipanggil Tuhan untuk pelayanan Firman dan doa. Istilah “Gembala” begitu sarat dengan makna, membangkitkan imajinasi dan menegaskan tanggung jawab.
Sayangnya istilah “Gembala” juga sudah dirusak di dalam gereja. Gembala biasa dipakai untuk menunjuk 'hamba Tuhan' yang menjadi pimpinan di sebuah gereja. Padahal setiap orang yang menyerahkan diri untuk melayani Tuhan penuh waktu dalam pelayanan Firman dan doa adalah Gembala. Kepada mereka Tuhan perintahkan “gembalakanlah domba-dombaKu”.
Saya tidak bermaksud mengganti begitu saja sebutan 'hamba Tuhan' karena sebutan itu sudah begitu umum dan saya tidak berada pada kapasitas untuk mengganti sebutan itu (maka dengan sedikit terpaksa saya akan tetap memakai istilah itu). Tetapi yang saya sayangkan adalah rusaknya istilah “Gembala”. Ketika menyebut “Gembala”, yang terpikir adalah jabatan sebagai pemimpin gereja dan bukan tanggung jawab, pengorbanan, kasih yang Tuhan bebankan pada orang yang menjadi Gembala. Istilah itu tidak lagi disebut dengan pengertian yang benar. Sementara bagi mereka yang bukan Gembala, mereka kehilangan pengingat akan fungsi mereka sebagai Gembala. Mereka hanya ingat mereka adalah 'hamba Tuhan'.
Dengan berpikir sederhana saja kita akan menyadari ketidak-tepatan sebutan ini. Siapakah hamba Tuhan? Setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan. Hamba Tuhan adalah umat Tuhan yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang Tuhan yang ajaib untuk memberitakan perbuatan yang besar itu. Maka istilah hamba Tuhan tidak tepat dipakai hanya untuk menunjuk sekelompok orang Kristen. Karena kalau begitu, lalu yang lain hamba siapa? Seakan-akan ada hamba Tuhan dan ada yang bukan hamba Tuhan.
Tetapi saya mengakui tidak mudah menemukan istilah penggantinya.
Alkitab Perjanjian Lama menyebut orang yang melayani dengan cara yang mirip seperti 'hamba Tuhan' hari ini sebagai: nabi atau imam. Tetapi istilah ini pun tidak tepat dipakai karena nabi dan imam menunjuk kepada jabatan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Nabi adalah juru bicara Tuhan, penyambung lidah Tuhan, penyampai firman Tuhan. Mereka menerima langsung firman dari Tuhan dan menyampaikannya dengan otoritas. Tulisan merekalah yang kemudian menjadi bagian dari Alkitab. Fungsi kenabian yaitu menyampaikan suara Tuhan terus ada sampai sekarang tetapi jabatan itu tidak ada lagi. Kita hanya menyampaikan dan menjelaskan berita yang sudah diterima oleh para nabi. Imam adalah mereka yang berdiri menjadi perantara antara Tuhan dan umatNya. Mereka berdoa, memohonkan ampun bagi umat Tuhan dan menyatakan apa yang suci, tahir dan yang najis. Dalam Perjanjian Baru, jabatan ini pun tidak ada lagi karena Yesus sudah menjadi imam kita. Fungsi keimaman itu kita teruskan dengan satu imam besar kita yaitu Yesus Kristus.
Maka istilah apa yang tepat? Alkitab sebenarnya memberikan satu istilah yang sangat baik: "Gembala". Para pemimpin umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama disebut sebagai Gembala dan di Perjanjian Baru ditegaskan bahwa para pemimpin gereja harus menjadi Gembala bagi umat Tuhan. Tidak seperti istilah 'hamba Tuhan' yang menyatakan keadaan atau status semua orang Kristen, istilah “Gembala” langsung menggambarkan fungsi dari mereka yang dipanggil Tuhan untuk pelayanan Firman dan doa. Istilah “Gembala” begitu sarat dengan makna, membangkitkan imajinasi dan menegaskan tanggung jawab.
Sayangnya istilah “Gembala” juga sudah dirusak di dalam gereja. Gembala biasa dipakai untuk menunjuk 'hamba Tuhan' yang menjadi pimpinan di sebuah gereja. Padahal setiap orang yang menyerahkan diri untuk melayani Tuhan penuh waktu dalam pelayanan Firman dan doa adalah Gembala. Kepada mereka Tuhan perintahkan “gembalakanlah domba-dombaKu”.
Saya tidak bermaksud mengganti begitu saja sebutan 'hamba Tuhan' karena sebutan itu sudah begitu umum dan saya tidak berada pada kapasitas untuk mengganti sebutan itu (maka dengan sedikit terpaksa saya akan tetap memakai istilah itu). Tetapi yang saya sayangkan adalah rusaknya istilah “Gembala”. Ketika menyebut “Gembala”, yang terpikir adalah jabatan sebagai pemimpin gereja dan bukan tanggung jawab, pengorbanan, kasih yang Tuhan bebankan pada orang yang menjadi Gembala. Istilah itu tidak lagi disebut dengan pengertian yang benar. Sementara bagi mereka yang bukan Gembala, mereka kehilangan pengingat akan fungsi mereka sebagai Gembala. Mereka hanya ingat mereka adalah 'hamba Tuhan'.