Monday, April 26, 2010
Permata di Balik Air Mata
Isinya tentang pergumulan sepasang suami istri hamba Tuhan: Hendra dan Esther J. Rey untuk pergi dan kemudian melayani di China.
Saya baru saja selesai membaca buku itu. Isinya sangat sederhana, kisah-kisah biasa tentang pergumulan, doa, pimpinan Tuhan, kejutan-kejutan mukjizat Tuhan, dan kesulitan hidup dan pelayanan di China.
Buku ini membuat saya bernostalgia. I was there. Beberapa kesan dan pengalaman yang mereka ceritakan serupa dengan yang saya alami. Dengan segala hal yang sering membuat saya kesal di sana, tapi tetap perasaan saya adalah: I miss China.
Buku ini juga membuat saya 'terbakar'. Walaupun pelayanan saya dulu di China tidak persis seperti pelayanan Pak Hendra dan Ibu Esther, tetapi beberapa hal serupa dengan yang saya lakukan. Saya ingat kondisi gereja di sana, tempat-tempat pelatihan, murid-murid yang pernah saya ajar, ketegangan karena harus selalu siap lari, kesepian yang sulit diceritakan, macam-macam. Mungkin sekarang saya mulai terlalu 'nyaman'.
Saya tidak pernah melupakan mereka yang di China, tapi jujur saya sudah lama tidak berdoa bagi mereka. Saya akan berdoa lagi... kiranya Tuhan memberkati pekerjaanNya di China, melindungi dan terus menguatkan anak-anakNya.
Saturday, April 24, 2010
2 Raja-raja 6:24-7:16 Doa Dalam Kesukaran
Tuesday, April 20, 2010
Petrus 'Takut' Kepada Kalangan Yakobus?
Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (Galatia 2:11-13)
Kita tidak tahu berapa lama Petrus tinggal di Antiokhia, tetapi di dalam beberapa kesempatan dia, dan tentu dengan Paulus dan Barnabas, makan bersama dengan jemaat disana baik Yahudi maupun non Yahudi. Makan bersama (table-fellowship) adalah tanda persekutuan dan bagi jemaat mula-mula itu mungkin berarti makan bersama dalam perjamuan kudus dan perjamuan kasih. Kemauan Petrus untuk ikut makan bersama dengan mereka seperti memberikan pengesahan dari pimpinan gereja di Yerusalem bahwa orang non Yahudi diterima dalam gereja. Mereka adalah sama satu tubuh Kristus. Sangat indah!
Sangat disayangkan, keindahan itu terganggu ketika "beberapa orang dari kalangan Yakobus" datang. Siapa mereka? Kita hanya bisa menebak, mungkin mereka adalah utusan Yakobus, untuk menyampaikan sesuatu kepada jemaat di Antiokhia atau kepada Petrus. Atau mungkin mereka adalah murid-murid Yakobus. G. Walter Hansen (IVPNTC: Galatians) mengatakan pertanyaan yang lebih penting adalah apa yang mereka katakan kepada Petrus? Apa yang mereka sampaikan kepada Petrus sehingga dia tidak lagi mau makan bersama jemaat non Yahudi "karena takut akan saudara-saudara yang bersunat"?
Siapa "saudara-saudara yang bersunat" itu? Hansen mengatakan mereka bukan "kalangan Yakobus". Petrus adalah salah seorang pilar jemaat di Yerusalem, mengapa dia harus takut kepada utusan atau murid Yakobus? Di dalam surat Galatia, "saudara-saudara yang bersunat" itu adalah orang Yahudi, bisa orang Yahudi Kristen atau non Kristen.
Banyak penafsir setuju bahwa untuk mengerti ini kita harus melihat konteks sejarah. Ronald Y.K. Fung (NICNT: The Epistle to the Galatians) memberikan 2 alasan:
Pertama, Petrus adalah pimpinan pekerjaan misi gereja Yerusalem kepada orang Yahudi, dan kalau berita ia makan bersama dengan orang non Yahudi dipakai sebagai berita bahwa ia murtad dari agama Yahudi, maka ia menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang dia Injili.
Kedua, orang Kristen Yahudi di daerah Yerusalem dan Yudea sudah cukup terancam oleh saudara-saudara Yahudi mereka dan kalau berita bahwa orang Yahudi yang menjadi Kristen sekarang sudah tidak ada bedanya lagi dengan orang non Yahudi, maka keselamatan mereka akan makin terancam. Maka berita dari "kalangan Yakobus" itu mungkin adalah permohonan kepada Petrus untuk berhati-hati demi saudara-saudara yang lain.
Dengan latar belakang ini, kita sangat bisa mengerti alasan Petrus. Saudara-saudaranya sesama orang Yahudi Kristen akan marah kepadanya, "gara-gara kamu kami dianiaya! bukankah kamu bisa lebih bijaksana?" Dan orang Yahudi non Kristen yang dia Injili akan berkata "benar kata para pemimpin kami, Yesus bukan penggenap Taurat seperti yang kamu katakan, tapi pemurtad Taurat! buat apa kami jadi Kristen dan murtad kepada Allah?" Hansen mengatakan, apa salahnya kalau Petrus menjaga preference and sensitivity gerejanya? Kalau Paulus boleh menjadi seperti orang non Yahudi kepada orang non Yahudi, maka mengapa ia tidak boleh menjadi seperti orang Yahudi kepada orang Yahudi?
Kita sangat bisa mengerti apa yang dilakukan Petrus. Tetapi bagi Paulus, apapun alasannya, yang dilakukan oleh Petrus dan Barnabas adalah munafik. Mereka percaya bahwa di dalam Kristus tidak ada perbedaan, tetapi kelakuan mereka berbeda dengan apa yang mereka percaya. Dan dalam hal ini, bagi Paulus, Injil adalah taruhannya.
Scot McKnight (NIVAC: Galatians) menyimpulkan keadaan ini sebagai Peer Pressure. Kita biasa beranggapan peer pressure terbatas dialami oleh remaja, padahal itu dialami oleh setiap kita. Dalam kasus Petrus, ini bukan peer pressure biasa (sekedar mengikuti kelakuan atau gaya hidup tertentu) tetapi ada alasan lebih kuat di baliknya: kekhawatiran akan pemberitaan Injil atau keselamatan saudara-saudara seiman. Tetapi Petrus tetap salah. Merenungi kisah ini membuat saya bertanya, seberapa jauh saya juga dikendalikan oleh peer pressure? Saya tidak bebas dari itu. Sebagai penutup, saya mengutip kalimat dari McKnight:
"It doesn't seem to matter what decisions we make; someone will criticize our choices. If we are handcuffed by a fear of people's criticisms, we will never accomplish anything. Such fear is nothing more than peer pressure. Peter made a bad decision when he felt that pressure; we will too. But God calls us to a fearless obedience of his will as we live in the Spirit. What we need is courage, courage to live according to our faith and its implications rather than according to our emotions, fleeting passions, and fear of others".
Oh Lord, help us to live a free lives, free from all kinds of bondage that You have set us free!Tuesday, April 06, 2010
Sombong Dan Disombongin
Belajar untuk tidak sombong adalah satu hal. Tapi belajar untuk menerima disombongin adalah hal lain lagi. Esensinya sama tapi nuansanya berbeda.
Belajar untuk tidak sombong sudah sangat sulit. Kita harus selalu mengingat kelemahan kita, mengingat bahwa apa yang kita miliki semuanya dari Tuhan dan bukan dari kita, mengingat bahwa di atas kita selalu masih ada orang lain. Kita tidak boleh membanggakan diri dan menunjukkan kehebatan atau superioritas kita dengan tujuan dipuji. Itulah belajar untuk tidak sombong.
Tapi ketika kita merasa sudah lumayan, cukup tidak sombong, tiba-tiba datanglah seseorang yang sangat sombong. Dia merendahkan kita, terang-terangan menganggap kita lebih rendah dari dia dan membanggakan dirinya di depan kita, padahal menurut penilaian kita, dia masih lebih buruk dari kita. Gayanya dan bualannya bahkan membuat sebagian orang percaya. Saat itu apa yang terjadi? Pertama, sebal. Kedua, marah. Ketiga, dalam hati muncul pikiran "gile ni orang, masih bagusan juga gua". Keempat, kalau orang lain percaya sama kesombongannya, kita gatal sekali untuk kasih tahu orang-orang kejelekan dia dan kebagusan kita.
Saya kira banyak dari kita pernah punya pengalaman seperti di atas. Pertanyaannya, kalau kita bereaksi seperti itu ketika disombongin, apakah betul kita sudah tidak sombong? Saya kira kita tahu jawabannya.
Maka belajar untuk tidak sombong memang adalah satu hal dan belajar untuk menerima disombongin adalah hal lain lagi. Tapi esensinya sama. Mungkin lebih baik kita katakan, pada waktu kita disombongin, itulah saatnya kita melihat lebih dalam lagi ke dalam hati kita dan bertanya "apa betul saya tidak sombong?"