Bulan lalu saya baru membaca buku Andrew Gih - "Twice Born - And Then?" Buku ini separuhnya berisi autobiografi dari Andrew Gih dan separuh lagi berisi naskah khotbahnya.
Autobiografinya tidak ditulis berurutan dan sama sekali tidak lengkap tapi berisi berbagai kisah yang menurut saya sangat menarik. Nama Andrew Gih masih cukup terkenal di Indonesia karena dia adalah pendiri dari SAAT - Malang dan juga gereja serta sekolah Kalam Kudus.
Salah satu cerita yang sangat menyentuh adalah ketika dia menerima panggilan menjadi hamba Tuhan di dalam kebaktian yang dipimpin oleh Paget Wilkes, seorang misionari dari Inggris. Berikut adalah cuplikan ceritanya yang saya terjemahkan bebas:
Aku merasa bahwa panggilan itu adalah bagiku. Aku mengalami desakan dari dalam bahwa aku harus mengambil keputusan. Ketika orang-orang maju ke depan berlutut mempersembahkan diri, aku merasa aku harus maju ke sana juga, tapi terjadi pergumulan dalam hatiku. Aku bisa meninggalkan pekerjaanku dan pergi berkhotbah, tapi darimana nanti dukungan keuangan untuk mama?
Dan kejadian-kejadian masa lalu muncul kembali dalam pikiranku. Setelah papa meninggal, mama bekerja sangat keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dia bangun sangat pagi dan bekerja sampai malam sekali ketika anak-anak sudah tidur. Aku tidak pernah lupa. Aku masih bisa mendengar mama menenun dan memintal. Aku punya tiga adik perempuan, yang paling kecil baru berusia beberapa bulan. Mama tidak sanggup memelihara kami semua, maka ia harus memberikan adik yang paling kecil ke orang lain...
Kadang-kadang ketika kami bangun tengah malam dan mendengar mama masih bekerja, kami memanggil "Mama, ayo istirahat". Mama akan berkata "Jangan ribut. Mama masih akan bekerja sedikit lagi"". Dalam hatiku yang masih kecil aku berkata, "Betapa baiknya mama kami, bekerja keras, menderita, berkorban, hanya untuk kepentingan anak-anaknya, untuk membesarkan mereka". Waktu itu aku memutuskan dalam hati bahwa pada waktu aku besar, jika aku bisa bekerja, aku harus mendukung dia sebagai balasan.
Aku ingat suatu kali waktu kami pulang, tidak ada makan siang. Kami memanggil mama dan berkata kami lapar. Mama mengumpulkan kami di sekitarnya. Kami merasakan tangannya bergetar, suaranya bergetar, lalu air mata mengalir di matanya. Dia berkata, "Anak-anak, maafkan mama. Kita tidak punya apa-apa untuk dimasak saat ini. Dua tangan mama tidak cukup untuk mengirim kalian ke sekolah, memberi makan dan memberi pakaian untuk kalian". Kami semua menangis di sekeliling mama. Dia memberitahu kami supaya rajin belajar dan tidak memberitahu orang lain tentang kemiskinan kami. Mama ingin kami dihormati dan tidak ingin kami mengasihani diri. Kami pergi ke sekolah dengan perut kosong, dan sebelum masuk ke kelas kami menghapus air mata kami. Apa artinya anak yatim? Apa artinya kemiskinan? Apa artinya kelaparan? Kami tahu semuanya.
Hal-hal seperti ini membuatku memutuskan untuk tidak bergantung pada orang lain. Aku ingin mendukung mama supaya orang tidak menghina kami tapi menghormati kami. Dan sekarang datang panggilan Tuhan. Aku bergumul untuk melepaskan pekerjaanku. Ya, aku tahu Tuhan mencintaiku. Yesus Kristus mati bagiku, Dia memberikan segalanya bagiku. Aku mencintai Dia dan tahu harus memberikan diriku kepadaNya. Sepertinya aku bisa memberikan segalanya yang lain bagi Dia, tapi bukan mamaku. Ketika aku sedang bergumul, kalimat berharga dari Tuhan sendiri datang kepada saya. "Aku tidak akan meninggalkanmu atau melepaskanmu. Letakkanlah bebanmu kepadaKu". Dan Dia memberiku kemenangan. Aku menyerahkan diri kepadaNya. Puji Tuhan untuk keputusan itu. Aku tidak akan menyesalinya.
Ketika cerita itu sampai ke mama, aku bisa melihat kekecewaan dan kesedihan dalam hatinya. Dia selalu lembut dan tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar, maka dia mendengarkan sambil aku memberitahu dia keinginanku untuk bekerja dan pergi keluar dan belajar berkhotbah. Dia tidak berkata apa-apa, tapi masuk ke kamarnya. Aku mengikutinya beberapa menit kemudian. Sebelum aku masuk ke kamarnya, aku mendengar dia terisak-isak. Aku masuk dan melihat dia berbaring di ranjang sambil menangis.
"Mama, kenapa?" Aku bertanya.
"Oh", dia terisak, "Mama tadi berpikir bahwa mama akan harus menenun dan memintal sampai tengah malam lagi".
Kalimat itu membuat hatiku hancur. Oh, mama, mamaku yang sangat setia, yang berkorban sangat banyak bagiku! Aku tidak bisa tahan melihat kesedihan hatinya. Aku hampir ingin kembali menarik persembahan diriku, tapi aku diingatkan akan firman Tuhan, "Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku, dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku" (Mat 10:37-38).
Dan kisah selanjutnya adalah Andrew Gih menjadi hamba Tuhan yang luar biasa dipakai oleh Tuhan. Pengaruh pelayanannya meluas ke beberapa negara dan ribuan orang bertobat melalui pelayanannya.
Mengenai keluarganya, ia tidak menceritakan bagaimana keuangan keluarganya setelah ia menjadi hamba Tuhan, tetapi ia menceritakan bagaimana kemudian seluruh keluarganya termasuk mamanya menjadi percaya.
Saya tidak bermaksud cerita ini diterapkan langsung kepada setiap kita dan kita melakukan yang sama seperti Andrew Gih. Bagi setiap orang ada pimpinan Tuhan yang khusus dan juga anugrah yang khusus. Tapi mari belajar percaya kepada Tuhan dan rela menyerahkan diri kepada Tuhan seperti Andrew Gih.