Waktu awal mengerjakan thesis, tiap hari saya harus mengatur bagaimana menyimpan, membawa dan membereskan banyak buku setiap hari. Akhirnya saya mendekati librarian di TTC, dan atas kebaikannya saya mendapat sebuah meja khusus untuk mengerjakan thesis. Mejanya tidak besar, bahkan bisa dibilang kecil sekali, tapi lumayan lah... :-0
Dan di situlah saya duduk sekitar 5-7 jam setiap hari, 3-5 hari setiap minggu, entah sampai berapa bulan ke depan.
Kadang saya mengeluh dengan gelapnya tempat itu, khususnya ketika hujan dan librarian kurang bermurah hati untuk menyalakan lampu, tapi sekarang saya punya lampu meja. Kadang saya mengeluh dengan kecilnya meja itu, tapi jauh lebih baik daripada tiap hari saya harus mengatur bagaimana membawa dan membereskan buku2 sebanyak itu. Kadang saya mengeluh dengan sulitnya bolak-balik mengambil buku di lantai 1 (buku-buku Biblika ada di lt.1), tapi dari situ saya lebih dekat untuk bolak-balik ke toilet :-) There is always a reason to thank God, isn't it!?
Monday, November 28, 2011
Friday, November 25, 2011
Selling Jesus: What’s Wrong With Marketing the Church-Douglas Webster
Dua kata yang seringkali dipertentangkan orang ketika bicara pertumbuhan gereja adalah: “kualitas”
dan “kuantitas”. Mana duluan? Apa yang harus dipentingkan? Sebagian berkata “kualitas”, perhatikan iman jemaat, pembinaan yang mendalam, dst. Sebagian lagi berkata “kuantitas”, perhatikan bagaimana menginjili, bagaimana menarik orang datang, dst, Lalu ada yang mendamaikan dengan berkata kalau ada “kualitas” pasti ada “kuantitas”. Kalau tidak ada “kuantitas” itu tandanya tidak ada “kualitas”. Maka mana dulu? Dua2nya berjalan bersama! Saya tidak terlalu setuju.
Gerakan ‘Church Growth’ dimulai beberapa puluh tahun yang lalu dan entah kapan juga mulai populer di Indonesia. Gerakan ini dimulai dengan concern akan banyaknya gereja tradisional yang menua dan perlahan-lahan mati. Tidak ada lagi gairah di dalam gereja, tidak ada semangat untuk membawa orang percaya kepada Tuhan, semua dilakukan serba rutinitas dan kebiasaan. Gerakan ini mendorong gereja kembali menjadi gereja yang bermisi dan memperhatikan bagaimana membawa orang datang ke gereja dan percaya kepada Yesus. Mereka menganalisa berbagai faktor, dengan menempatkan diri sebagai orang yang belum percaya dan ‘orang baru’ dalam gereja, apa yang membuat mereka akhirnya mau datang dan bahkan stay di suatu gereja? Istilah yang kemudian menjadi populer adalah ‘seeker sensitive’.
Gerakan ini masih sangat populer, demikian pula di Indonesia. Tapi kelemahan utama gerakan ini adalah justru di fokusnya yang pada ‘seeker sensitive’, sudut pandang orang yang belum percaya atau baru datang. Tidak selalu salah. Tapi begitu fokusnya mereka pada hal itu sehingga tanpa sadar yang mereka lakukan tidak beda seperti sedang memasarkan gereja, ‘marketing the church’, menawarkan barang dagangan yaitu gereja dan Yesus. Itulah yang dikritik oleh Douglas Webster dalam buku ini.
Manusia punya kebutuhan, “the real need”. Tapi tidak semua sadar itu, sebagian hanya tahu “the felt need”. Alangkah bahayanya kalau kita menawarkan untuk memenuhi “the felt need”. Tidak heran banyak gereja yang dangkal.
Perhatian utama gereja adalah pada keteraturan manajemen, multimedia yang canggih, sound system yang sangat baik, hamba Tuhan yang hangat, humoris, energetik, segala macam pelayanan untuk segala macam kebutuhan, dan seterusnya. Sekali lagi, tidak sepenuhnya salah, tapi salahnya adalah fokusnya hanya di situ.
Saya sendiri tidak percaya bahwa “kualitas” selalu menghasilkan “kuantitas”. Tidak tentu! Ketika Yesus memberikan “the felt need”, mukjizat, makanan, kesembuhan, orang berbondong mengikut Dia. Ketika Dia mengajarkan bahwa Dialah roti yang turun dari sorga, Dia ditinggalkan orang! “Kualitas” mungkin menghasilkan “kuantitas” tapi tidak selalu.
Buku ini memberikan beberapa sorotan yang tajam untuk kecenderungan kita memasarkan gereja (dan mungkin juga memasarkan Yesus)!
dan “kuantitas”. Mana duluan? Apa yang harus dipentingkan? Sebagian berkata “kualitas”, perhatikan iman jemaat, pembinaan yang mendalam, dst. Sebagian lagi berkata “kuantitas”, perhatikan bagaimana menginjili, bagaimana menarik orang datang, dst, Lalu ada yang mendamaikan dengan berkata kalau ada “kualitas” pasti ada “kuantitas”. Kalau tidak ada “kuantitas” itu tandanya tidak ada “kualitas”. Maka mana dulu? Dua2nya berjalan bersama! Saya tidak terlalu setuju.
Gerakan ‘Church Growth’ dimulai beberapa puluh tahun yang lalu dan entah kapan juga mulai populer di Indonesia. Gerakan ini dimulai dengan concern akan banyaknya gereja tradisional yang menua dan perlahan-lahan mati. Tidak ada lagi gairah di dalam gereja, tidak ada semangat untuk membawa orang percaya kepada Tuhan, semua dilakukan serba rutinitas dan kebiasaan. Gerakan ini mendorong gereja kembali menjadi gereja yang bermisi dan memperhatikan bagaimana membawa orang datang ke gereja dan percaya kepada Yesus. Mereka menganalisa berbagai faktor, dengan menempatkan diri sebagai orang yang belum percaya dan ‘orang baru’ dalam gereja, apa yang membuat mereka akhirnya mau datang dan bahkan stay di suatu gereja? Istilah yang kemudian menjadi populer adalah ‘seeker sensitive’.
Gerakan ini masih sangat populer, demikian pula di Indonesia. Tapi kelemahan utama gerakan ini adalah justru di fokusnya yang pada ‘seeker sensitive’, sudut pandang orang yang belum percaya atau baru datang. Tidak selalu salah. Tapi begitu fokusnya mereka pada hal itu sehingga tanpa sadar yang mereka lakukan tidak beda seperti sedang memasarkan gereja, ‘marketing the church’, menawarkan barang dagangan yaitu gereja dan Yesus. Itulah yang dikritik oleh Douglas Webster dalam buku ini.
Manusia punya kebutuhan, “the real need”. Tapi tidak semua sadar itu, sebagian hanya tahu “the felt need”. Alangkah bahayanya kalau kita menawarkan untuk memenuhi “the felt need”. Tidak heran banyak gereja yang dangkal.
Perhatian utama gereja adalah pada keteraturan manajemen, multimedia yang canggih, sound system yang sangat baik, hamba Tuhan yang hangat, humoris, energetik, segala macam pelayanan untuk segala macam kebutuhan, dan seterusnya. Sekali lagi, tidak sepenuhnya salah, tapi salahnya adalah fokusnya hanya di situ.
Saya sendiri tidak percaya bahwa “kualitas” selalu menghasilkan “kuantitas”. Tidak tentu! Ketika Yesus memberikan “the felt need”, mukjizat, makanan, kesembuhan, orang berbondong mengikut Dia. Ketika Dia mengajarkan bahwa Dialah roti yang turun dari sorga, Dia ditinggalkan orang! “Kualitas” mungkin menghasilkan “kuantitas” tapi tidak selalu.
Buku ini memberikan beberapa sorotan yang tajam untuk kecenderungan kita memasarkan gereja (dan mungkin juga memasarkan Yesus)!
Thursday, November 10, 2011
'Sharing' di Dunia Maya
Internet mempercepat informasi. Apa yang kita tulis dalam sekejap mata bisa dibaca oleh orang di belahan dunia lain. Tidak perlu susah2, ada banyak jaringan untuk mempublikasikan diri kita, lewat facebook, mailing list, twitter, blog, dll. Ketik, tekan tombol ‘publish’ (atau tombol apapun itu) dan voila… siapa saja bisa membacanya.
Kita merasa berkuasa karena semua terserah kita. Ingin menulis apa? Silakan! Ingin marah? Silakan! Ingin menyatakan frustasi? Silakan! Terserah kita tulis apa, karena ini facebook kita, twitter kita, blog kita. Tidak ada yang bisa menghalangi kita menulis apapun dan… kita berkuasa untuk menekan tombol ‘publish’ itu.
Kita lupa ada satu – yang sangat penting dan besar – yang tidak mampu kita kontrol: pembaca! Maksud saya apa yang kita tulis akan dibaca orang! Apa yang kita tulis, sedikit banyak, mempengaruhi orang! Apa yang kita tulis membuat orang berpikir sesuatu tentang kita!
Sama seperti tindakan dan perkataan, tulisan juga keluar dari diri kita dan menghasilkan dampaknya. Sekali keluar ia tidak bisa dihentikan lagi. Kita tidak berkuasa lagi atasnya. Ia bisa menolong, bisa merusak, bisa membangun, bisa menyakiti! Dan sama seperti tindakan dan perkataan, tulisan juga mempengaruhi penilaian orang kepada kita.
Saya tidak habis pikir banyak orang yang lupa bahwa menulis di dunia maya bukanlah menulis di ruang private tapi public! Ketika ‘sharing’ di dunia maya, banyak orang mengungkapkan kekesalannya kepada si ini, si itu, tanpa dia sadar si ini dan si itu (atau kenalannya) membaca tulisannya. Banyak (orang Kristen) yang mengeluh teruuusss… sehingga orang lain cape membaca tulisannya dan bertanya2 apakah dia punya iman? Banyak orang yang menulis apa saja yang ada di perasaannya tanpa berpikir benarkah dia mau orang lain tahu? Untuk apa orang lain tahu? Bagaimana ketika orang lain tahu? Banyak orang yang bercerita hal pribadi dan kemudian bingung atau marah ketika orang lain tahu! Aneh bukan? Tapi inilah fenomena baru, ‘sharing’ di dunia maya dengan ilusi ‘terserah saya’. Betulkah?
Bahkan sebetulnya ketika kita ingin ‘publish’ atau ‘posting’ sesuatu, kita harus berpikir dulu apakah yang kita tulis berguna? membangun? perlu? Buat apa kita menghabiskan waktu ratusan ‘friends’ kita membaca sesuatu yang tidak perlu!? (1 menit X 200 orang = 3 jam 20 menit waktu yang terbuang). Bukankah waktu-waktu itu lebih baik dipakai untuk hal yang lebih berguna? Tapi sekali lagi inilah juga fenomena baru, semua orang berilusi ‘saya adalah pusat perhatian’! Betulkah?
Seperti di dunia realita, tiap hal harus kita pikirkan baik2, demikian pula di dunia maya. Mungkinkah kita sudah terlalu banyak bersentuhan dengan dunia maya sehingga kita kurang mengerti dunia realita lagi?
Kita merasa berkuasa karena semua terserah kita. Ingin menulis apa? Silakan! Ingin marah? Silakan! Ingin menyatakan frustasi? Silakan! Terserah kita tulis apa, karena ini facebook kita, twitter kita, blog kita. Tidak ada yang bisa menghalangi kita menulis apapun dan… kita berkuasa untuk menekan tombol ‘publish’ itu.
Kita lupa ada satu – yang sangat penting dan besar – yang tidak mampu kita kontrol: pembaca! Maksud saya apa yang kita tulis akan dibaca orang! Apa yang kita tulis, sedikit banyak, mempengaruhi orang! Apa yang kita tulis membuat orang berpikir sesuatu tentang kita!
Sama seperti tindakan dan perkataan, tulisan juga keluar dari diri kita dan menghasilkan dampaknya. Sekali keluar ia tidak bisa dihentikan lagi. Kita tidak berkuasa lagi atasnya. Ia bisa menolong, bisa merusak, bisa membangun, bisa menyakiti! Dan sama seperti tindakan dan perkataan, tulisan juga mempengaruhi penilaian orang kepada kita.
Saya tidak habis pikir banyak orang yang lupa bahwa menulis di dunia maya bukanlah menulis di ruang private tapi public! Ketika ‘sharing’ di dunia maya, banyak orang mengungkapkan kekesalannya kepada si ini, si itu, tanpa dia sadar si ini dan si itu (atau kenalannya) membaca tulisannya. Banyak (orang Kristen) yang mengeluh teruuusss… sehingga orang lain cape membaca tulisannya dan bertanya2 apakah dia punya iman? Banyak orang yang menulis apa saja yang ada di perasaannya tanpa berpikir benarkah dia mau orang lain tahu? Untuk apa orang lain tahu? Bagaimana ketika orang lain tahu? Banyak orang yang bercerita hal pribadi dan kemudian bingung atau marah ketika orang lain tahu! Aneh bukan? Tapi inilah fenomena baru, ‘sharing’ di dunia maya dengan ilusi ‘terserah saya’. Betulkah?
Bahkan sebetulnya ketika kita ingin ‘publish’ atau ‘posting’ sesuatu, kita harus berpikir dulu apakah yang kita tulis berguna? membangun? perlu? Buat apa kita menghabiskan waktu ratusan ‘friends’ kita membaca sesuatu yang tidak perlu!? (1 menit X 200 orang = 3 jam 20 menit waktu yang terbuang). Bukankah waktu-waktu itu lebih baik dipakai untuk hal yang lebih berguna? Tapi sekali lagi inilah juga fenomena baru, semua orang berilusi ‘saya adalah pusat perhatian’! Betulkah?
Seperti di dunia realita, tiap hal harus kita pikirkan baik2, demikian pula di dunia maya. Mungkinkah kita sudah terlalu banyak bersentuhan dengan dunia maya sehingga kita kurang mengerti dunia realita lagi?
Thursday, November 03, 2011
Book Lover?
Suatu kali ada pemberitahuan dari TTC bahwa salah seorang alumni TTC ingin menjual sebagian bukunya dan membagikan sebagian lagi bukunya. Yang berminat, silakan langsung menghubungi dia.
Tadinya saya tidak tertarik kesana karena saya terlalu sibuk. Tapi akhirnya saya menghubungi dia dan kemudian pergi ke rumahnya. Saya datang agak ‘terlambat’ karena sudah banyak orang yang ke rumahnya dan mengambil buku2 yang baik. Tapi masih cukup banyak buku yang dia tumpuk begitu saja di ruang depan rumahnya. Dan saya dipersilakan untuk melihat, memilih dan mengambil berapa saja yang saya inginkan. Ada yang dia jual ada yang dia berikan gratis.
Saya sempat bertanya kepada dia apa alasannya. Dia berkata bahwa dia ingin pindah ke rumah yang lebih kecil dan rumahnya tidak akan mampu menampung buku2 yang dia miliki. Dia punya sekitar 8000 buku! Saya kaget, itu jumlah yang sangat besar! Dan dia berkata bahwa dia ingin kurangi sampai sekitar 1000 saja yang dia bawa. Usianya sudah hampir 60 tahun dan dia merasa sudah cukup untuk dia memiliki buku2 itu, tidak banyak lagi kesempatan membaca dan sudah waktunya untuk dia bagikan ke orang lain. Lalu dia berkata, “berpisah dengan buku2 ini, saya merasa sakit.”
Mendengar kalimat dia membuat saya berpikir bahwa suatu kali saya juga akan melakukan yang sama seperti dia. Saya juga pencinta buku – book lover – dan pasti juga sakit bagi saya berpisah dengan buku2 saya (sekarang saja saya kangen dengan buku2 yang saya tinggal di Jakarta). Tapi saya juga jadi berpikir, apakah perlu untuk memiliki buku sebanyak itu? Beberapa buku saya lihat masih baru, tidak ada tanda bekas dibaca. Bahkan ada yang masih dibungkus platik belum dibuka.
Peristiwa ini menjadi reminder bagi saya. Kita manusia selalu cenderung berlebihan. Kita selalu cenderung menginginkan dan membeli apa yang kita suka sampai jauh melebihi kebutuhan kita! Baik itu mobil, tas, baju, sepatu, perhiasan, barang koleksi, atau laptop, handphone yang kita ganti lebih sering dari yang kita perlu.
Kembali ke masalah buku, saya berjanji pada diri sendiri untuk membeli buku yang memang perlu dan akan dibaca. Selama di TTC saya juga mendapat banyak kesempatan mendapat buku gratis atau membeli buku dengan harga murah. Saya bisa serakah, ambil sebanyak2nya. Pertanyaannya adalah apakah saya perlu? Saya mencoba melatih diri dengan hanya membeli atau mengambil buku yang saya tahu memang perlu. Kalau setelah saya baca sedikit, ternyata saya salah dan tidak perlu buku itu, atau setelah membaca 1X rasanya saya tidak akan memerlukannya lagi, saya akan berikan kepada orang lain atau saya letakkan di ‘free books corner’ di perpustakaan. Saya juga mencoba menyortir buku2 saya di Jakarta yang tidak terlalu saya perlukan dan saya menemukan cukup banyak, lebih dari 60 yang tidak saya perlukan lagi. Sebagian kecil, buku2 yang mahal saya jual murah, sisanya langsung saya bagikan.
Dengan cara demikian saya melatih diri untuk terus decluttering hidup saya. Mari belajar prinsip ini: Beli seperlunya dan berikan secepatnya. Karena kita cenderung serakah, ada orang yang senang membeli terus (lebih dari yang dia perlu) tapi juga senang membagi, dan dia rasa tidak masalah. Saya yakin itu juga salah! Beli hanya seperlunya! Lalu apa yang tidak kita perlukan, berikan secepatnya kepada yang memerlukan.
Di bawah ini adalah buku2 yang saya ambil waktu itu. Saya akan nikmati dulu sambil berpikir mana yang perlu dan mana yang tidak :-)
Tadinya saya tidak tertarik kesana karena saya terlalu sibuk. Tapi akhirnya saya menghubungi dia dan kemudian pergi ke rumahnya. Saya datang agak ‘terlambat’ karena sudah banyak orang yang ke rumahnya dan mengambil buku2 yang baik. Tapi masih cukup banyak buku yang dia tumpuk begitu saja di ruang depan rumahnya. Dan saya dipersilakan untuk melihat, memilih dan mengambil berapa saja yang saya inginkan. Ada yang dia jual ada yang dia berikan gratis.
Saya sempat bertanya kepada dia apa alasannya. Dia berkata bahwa dia ingin pindah ke rumah yang lebih kecil dan rumahnya tidak akan mampu menampung buku2 yang dia miliki. Dia punya sekitar 8000 buku! Saya kaget, itu jumlah yang sangat besar! Dan dia berkata bahwa dia ingin kurangi sampai sekitar 1000 saja yang dia bawa. Usianya sudah hampir 60 tahun dan dia merasa sudah cukup untuk dia memiliki buku2 itu, tidak banyak lagi kesempatan membaca dan sudah waktunya untuk dia bagikan ke orang lain. Lalu dia berkata, “berpisah dengan buku2 ini, saya merasa sakit.”
Mendengar kalimat dia membuat saya berpikir bahwa suatu kali saya juga akan melakukan yang sama seperti dia. Saya juga pencinta buku – book lover – dan pasti juga sakit bagi saya berpisah dengan buku2 saya (sekarang saja saya kangen dengan buku2 yang saya tinggal di Jakarta). Tapi saya juga jadi berpikir, apakah perlu untuk memiliki buku sebanyak itu? Beberapa buku saya lihat masih baru, tidak ada tanda bekas dibaca. Bahkan ada yang masih dibungkus platik belum dibuka.
Peristiwa ini menjadi reminder bagi saya. Kita manusia selalu cenderung berlebihan. Kita selalu cenderung menginginkan dan membeli apa yang kita suka sampai jauh melebihi kebutuhan kita! Baik itu mobil, tas, baju, sepatu, perhiasan, barang koleksi, atau laptop, handphone yang kita ganti lebih sering dari yang kita perlu.
Kembali ke masalah buku, saya berjanji pada diri sendiri untuk membeli buku yang memang perlu dan akan dibaca. Selama di TTC saya juga mendapat banyak kesempatan mendapat buku gratis atau membeli buku dengan harga murah. Saya bisa serakah, ambil sebanyak2nya. Pertanyaannya adalah apakah saya perlu? Saya mencoba melatih diri dengan hanya membeli atau mengambil buku yang saya tahu memang perlu. Kalau setelah saya baca sedikit, ternyata saya salah dan tidak perlu buku itu, atau setelah membaca 1X rasanya saya tidak akan memerlukannya lagi, saya akan berikan kepada orang lain atau saya letakkan di ‘free books corner’ di perpustakaan. Saya juga mencoba menyortir buku2 saya di Jakarta yang tidak terlalu saya perlukan dan saya menemukan cukup banyak, lebih dari 60 yang tidak saya perlukan lagi. Sebagian kecil, buku2 yang mahal saya jual murah, sisanya langsung saya bagikan.
Dengan cara demikian saya melatih diri untuk terus decluttering hidup saya. Mari belajar prinsip ini: Beli seperlunya dan berikan secepatnya. Karena kita cenderung serakah, ada orang yang senang membeli terus (lebih dari yang dia perlu) tapi juga senang membagi, dan dia rasa tidak masalah. Saya yakin itu juga salah! Beli hanya seperlunya! Lalu apa yang tidak kita perlukan, berikan secepatnya kepada yang memerlukan.
Di bawah ini adalah buku2 yang saya ambil waktu itu. Saya akan nikmati dulu sambil berpikir mana yang perlu dan mana yang tidak :-)
Subscribe to:
Posts (Atom)