Tulisan ini saya temukan di blog ini (dalam versi yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan
diedit). Saya meminta versi bahasa Indonesianya yang ternyata dia temukan dalam
sebuah milis. Dari ciri-ciri tulisannya, saya kira aslinya tulisan ini memang dibuat dalam bahasa Inggris. Entah darimana asalnya. Tapi saya menemukan bahwa tulisan ini menyampaikan pesan yang sangat kuat. Saya hanya mengedit secukupnya. Selamat membaca!
(Dipersembahkan bagi para lajang Kristen)
Pemudi kesayangan Allah, ketika aku memperhatikanmu malam ini, aku
berharap dapat memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap denganmu. Aku
memperhatikan wajahmu yang cantik sementara engkau menyanyi dan
menyembah. Engkau mengingatkanku akan diriku sendiri tujuh tahun yang lalu.
Sehabis kebaktian, aku memperhatikan bagaimana engkau masuk ke dalam mobil dengan
seorang pemuda yang tak mengenal Allah. Memang benar dia berada di gereja malam
ini, dia bahkan maju ke depan dan menitikkan sedikit air mata.
Tujuh tahun silam aku berada di dalam keadaan seperti dirimu. Aku telah
mengenal Allah sejak awal masa remajaku dan bertumbuh di bawah khotbah dan
pengajaran yang diurapi Allah. Aku tak kekurangan teman-teman pemuda maupun
mereka yang mengajakku pergi, seperti yang seringkali terjadi di dalam gereja
dimana para pemudi jumlahnya lebih banyak dari para pemuda. Beberapa pemuda yang
amat baik dan penuh pengabdian mencoba mendekatiku, namun iblis yang tak pernah
lalai memperhatikanku, menunggu dengan sabar untuk menjerat jiwaku, dan ia
melihatku ketika aku sedang suam-suam kuku. Aku memang masih pergi ke gereja dan
memainkan accordionku dan menyanyi dan melakukan semua hal-hal yang tampak benar
secara lahiriah. Namun aku tak pernah lagi punya waktu-waktu khusus dengan Allah
dimana kehendakNya dan kehendakku menjadi satu.
Aku berjumpa dengan pemuda itu di tempat kerjaku. Dan tak lama kemudian,
tanpa ada yang mengetahuinya, aku merasa seakan-akan aku tak dapat hidup tanpa
dia. Dia tahu tentang gerejaku dan ketika ia hadir bersama denganku, ia maju ke
depan, menangis, dan akhirnya aku menikahinya, padahal keluargaku dan mereka
yang mengasihiku menangis dan merasakan kepedihan. Baru enam bulan kemudian aku
menjadi sadar bahwa jiwaku berada di dalam bahaya dan bahwa aku membutuhkan
jamahan Allah. Aku berdoa dan menemukan Allah. Lalu pertikaianpun dimulai. Dia
tak mau ke gereja lagi. Aku dapat menghitung dengan jari-jariku saat-saat
dimana ia pergi ke gereja selama tujuh tahun terakhir ini!
Sebelum menikahinya, pemikiran untuk hidup tanpa dia sungguh tak
tertahankan. "Betapa sepinya!" pikirku. Namun sekarang ini aku baru tahu apa
arti kesepian yang sesungguhnya, dan aku ingin menceritakannya kepadamu.
Kesepian itu adalah ketika aku menerima berkat Allah dan pulang ke rumah
kepada seorang pria yang tak dapat berbagi rasa tentang hal itu denganku. Dia
tak menaruh minat; dia sedang menonton televisi.
Kesepian itu adalah ketika aku pergi ke suatu kegiatan gereja seorang
diri dan memperhatikan pasangan-pasangan muda lainnya menikmati berkat Allah
bersama-sama. Aku boleh memilih, pergi sendiri atau tinggal di rumah sendiri;
sebab dia punya minat yang lain.
Kesepian itu adalah merasakan adanya urgensi akan kedatangan Kristus yang
sudah semakin dekat dan tahu bahwa orang yang paling engkau kasihi di bumi ini
belum siap, bahkan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kepedulian.
Kesepian itu adalah melihat dua anak dilahirkan dan tahu bahwa untuk
dapat memiliki pengaruh atas mereka yang bisa melebihi pengaruhnya merupakan suatu
mujizat.
Kesepian itu adalah pergi menghadiri suatu Konferensi dan melihat
pasangan-pasangan muda yang benar-benar bersatu dan mempunyai
dedikasi terhadap pekerjaan Allah dan kemudian melihat... itu dia pemuda yang dulu
mengasihimu dan berniat menikahimu! Ia sedang berkhotbah dan masih
tetap belum menikah. Oh Tuhan! Tolonglah aku! Aku tak boleh
memikirkannya!
Kesepian itu adalah berbaring di ranjang tanpa dapat memejamkan mata oleh
karena dihantui perasaan bahwa dia telah mengkhianati kesetiaanmu. Dan kemudian
datanglah kepedihan yang tak tertahankan karena mengetahuinya secara pasti.
Ia tak peduli kalau aku mengetahuinya. Wanita itu bahkan meneleponku. Setelah
beberapa lama, ia berusaha memutuskan hubungan dengan wanita itu. Aku bersumpah
bahwa aku akan melakukan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang manusia
untuk mempertahankan pernikahan ini. Aku akan lebih banyak mengasihi dia dan
lebih banyak berdoa baginya.
Kemudian, tujuh tahun telah berlalu! Sekarang ada dua anak kecil:
perempuan dan laki-laki!
Kesepian itu adalah sekarang. Anak-anakku dan aku akan pulang ke
apartemen yang gelap, kosong, yang akan merupakan tempat tinggalku sampai tiba
saatnya pengacara memutuskan bahwa segala sesuatu telah berlalu. Aku, yang
dulunya paling takut hidup sendirian, sekarang ini menyongsong datangnya
ketenangan dan kesunyian itu. Ketika aku bercermin, aku melihat bahwa tujuh
tahun tidaklah terlalu mengubah wajahku namun di dalam diriku aku telah menjadi
tua, dan sesuatu yang dulunya hidup dan indah sekarang sudah mati.
Tentu saja ini bukanlah kisah yang tak lazim. Namun yang istimewa adalah
bahwa aku masih tetap hidup bagi Allah. Aku bersyukur bagi keluargaku dan
doa-doa syafaat mereka bagiku.
Oh, aku berdoa bagimu, pemudi kesayangan Allah! Percayalah kepadaku, sebaik
apapun dia itu, betapapun dia penuh kasih dan kelembutan, engkau takkan dapat
membangun suatu kehidupan yang berbahagia di atas ketidaktaatan kepada Firman
Allah. Engkau lihat, apapun yang tersedia bagiku di masa mendatang, aku telah
kehilangan kehendakNya yang sempurna bagi hidupku. Aku takkan pernah berhenti
membayar harganya oleh karena melanggar perintah Allah! Jangan sampai hal itu
terjadi padamu!
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang
yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan
kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" (II Korintus
6:14)
(Diambil dari majalah Vanguard)