Ketika akan berangkat studi tahun 2009, tidak terlalu sulit untuk memutuskan bahwa saya ingin menekuni studi biblika – Perjanjian Baru. Alasannya waktu itu sederhana. Saya sedang tertarik dengan spiritualitas dan karena di TTC tidak ada jurusan spiritualitas maka saya harus memilih apakah mendalami Perjanjian Baru atau bidang Teologi. Saya memilih Perjanjian Baru. Salah satu alasannya adalah saya tidak merasa tertarik “mengutak-atik” teologi, pemikiran para teolog, filsafat di baliknya, dst. Sementara, saya selalu tertarik “mengutak-atik” Alkitab.
Di awal studi dalam program M.Th, saya makin menyadari perbedaan studi Biblika dan Teologi. Studi biblika memang berarti “mengutak-atik” Alkitab. Itu berarti saya berhadapan dengan data berupa tulisan kuno yang disebut Alkitab dan berbagai tulisan kuno lain di sekitarnya. Saya harus mempelajari retorikanya, budayanya, bahasanya, dst, untuk bisa merekonstruksi ulang situasi dan maksud dari tulisan itu. Pusing? Saya sangat pusing!
Waktu pusing itulah, saya mulai “iri” dengan teman-teman di bidang Teologi. Mereka mendalami tema-tema besar yang berkaitan langsung dengan berbagai pertanyaan orang Kristen. Mereka makin mampu berdialog dalam banyak isu. Buku-buku yang dibaca pun topiknya luas, menarik, dan intelektual (menurut saya). Sementara saya “hanya” mendalami hal-hal yang “kecil-kecil”.
Misalnya saja ketika bicara tentang hidup Kristen dan dosa, orang Teologi mungkin akan bicara tentang konsep evil, pemikiran para teolog tentang spiritual warfare, bagaimana dosa bekerja dalam hubungan dengan ordo salutis, dll. Sementara orang Biblika cenderung akan bicara tentang apa data yang diberikan Alkitab – khususnya kitab tertentu – mengenai hidup Kristen, apa yang dikatakan Petrus atau Paulus atau Yohanes tentang dosa, dan apa situasi di balik semua argumen mereka?
Studi Biblika adalah tentang data: apa yang ada di dalam Alkitab. Data itu dicari, dikeluarkan, direkonstruksi. Studi Teologi adalah merangkum data yang ditemukan oleh studi Biblika menjadi tema-tema besar. Orang Biblika akan bertanya apa yang dikatakan Paulus dalam surat Korintus tentang Allah? Apa yang dikatakan oleh Injil Yohanes tentang Allah? Orang Teologi akan bertanya siapa Allah? Bagaimana menjelaskan tentang Allah kepada orang zaman ini? Kira-kira, kasarnya, begitu lah. Mudah-mudahan contoh di atas cukup memberi gambaran.
Maka tidak salah juga kalau ada orang yang mengejek bahwa studi Biblika adalah majoring in minor. Studi kami adalah pada yang kecil-kecil. Dan harus diakui kadang sangaaattt kecil sampai seperti tidak ada artinya.
Tetapi sekian tahun sekarang saya mendalami studi Biblika, saya makin melihat keindahannya. Berkali-kali saya mengerutkan dahi mendengar kalimat-kalimat orang Teologi yang menurut saya salah mengerti data Alkitab. Berkali-kali saya harus tidak setuju, dan agak sebal, membaca buku-buku spiritualitas karena menurut saya salah menggunakan data Alkitab. Seringkali akibatnya sama sekali tidak sederhana!
Seharusnya studi teologi terintegrasi. Orang Biblika harusnya merangkum data penemuannya dan mulai membangunnya menjadi Teologi. Itu berarti perlu waktu untuk mengerti pertanyaan orang zaman ini dan refleksi (day dreaming, if you like) bagaimana menjawabnya. Orang Teologi harusnya memakai penemuan orang Biblika sebelum memulai refleksi teologis mereka. Tapi kenyataannya karena bidang masing-masing sudah sangaaaattt besar dan rumit, maka orang Biblika sering berhenti di data sementara orang Teologi agak “asal-asalan” memakai data Alkitab dan cepat-cepat lompat berpikir secara teologis. Saya kira ini harus menjadi “alarm” bagi kita semua yang belajar teologi.
Saya tidak mengklaim tahu segalanya tentang Alkitab! Siapa lah saya!?? Saya baru belajar sepotong kecil saja dari Alkitab. Tapi saya makin sensitif dengan cara orang merangkum data Alkitab, khususnya bagian yang pernah saya pelajari dengan mendetil. Makin lama… saya makin mengerti bahwa studi Biblika ternyata not-so-minor!