Monday, August 29, 2011

Courageous Leadership - Bill Hybels

Saya membaca buku ini karena ingin belajar tentang leadership. Dan saya menemukan insights, wisdom, mengenai leadership dalam buku ini. Buku ini memberikan beberapa hal berharga yang bisa membantu saya dalam leadership. Apa yang dia sampaikan perlu saya pikirkan ulang dan renungkan bagaimana diterapkan dalam konteks saya.

Tapi di sisi lain, saya juga kecewa dengan buku ini – atau tepatnya, dengan Bill Hybels. Saya menemukan banyak ayat Alkitab yang dia kutip untuk mendukung posisinya justru tidak tepat. Dia mengutip ayat sekenanya dan memakainya juga sekenanya. Saya kecewa karena buku ini ditulis oleh Bill Hybels! Dia seorang gembala dari sebuah gereja yang sangat besar. Dan buku ini juga dimaksudkan untuk para pemimpin gereja.

Saya beri 1 contoh saja. Ketika dia membahas mengenai “The Leader’s Pathway”, dia mengatakan bahwa ada macam2 jalan untuk kita punya hubungan dekat dengan Tuhan dan tiap orang yang berbeda punya jalan kerohanian yang juga berbeda. Sampai disini saya setuju. Berikutnya dia menyebutkan berbagai “pathways” itu. Sampai sini saya juga setuju. Tapi saya sangat kaget ketika dia membahas tentang “The Intellectual Pathway”, dia menyebut Paulus sebagai salah 1 contoh orang dengan tipe ini. Di bawah saya kutip tulisannya:
I think it is quite possible that the apostle Paul had an intellectual pathway. For him, the transformation of the world depended on the “renewing of our minds” (Romans 12:2). Paul was quick to appeal to the rational side of human nature, apparently convinced that once a person’s mind belonged to God, everything else would follow. Win the intellectual argument, and it would be game, set, match. Victory!
Karena Paulus orang dengan “intellectual pathway” maka tidak heran dia berikan nasihat supaya kita jangan menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaruan budi! Kalau Paulus tipenya lain mungkin dia berikan nasihat lain. Implikasinya, nasihat Paulus bukan sesuatu yang otoritatif bagi orang yang tipenya lain bukan? Dan tiap kali kita baca ayat Alkitab lain, kita akan coba nilai si penulisnya orang seperti apa, lalu apakah cocok dengan tipe saya. Kalau tidak cocok, maka nasihat itu bukan untuk saya bukan? Ini penafsiran yang sangat sembarangan! Kalau anda berargumen, “ah bukan itu maksud dia”, coba baca bab itu dan anda akan mengerti maksud saya. Dan karena bukan hanya di bagian itu dia memakai ayat Alkitab sembarangan, saya kira memang itu polanya dia.

Saya tidak mendiskreditkan buku ini dan menganggapnya tidak berguna. Konsep Bill Hybels tentang 3 Cs (Character, Competence, Chemistry) dalam Chapter Four "Building a Kingdom Dream Team" sangat bijaksana. Dan Chapter Seven "Discovering and Developing Your Own Leadership Style" sangat berguna. Bacalah buku ini dan anda akan mendapatkan apa yang anda cari: wisdom dan insights untuk leadership. Ini buku yang bagus untuk itu. Tapi, seperti juga membaca buku lainnya, bacalah dengan kritis.

Saturday, August 27, 2011

Kisah Para Rasul 9:10-18

(Tulisan ini adalah bahan saat teduh untuk Retreat Young Adult Fellowship GKY Sg 7-9 Aug 2011. Sebagian bahan diambil dari artikel dalam www.intouch.org)

 

Anda sedang berjalan di tengah sebuah kota kecil di bawah terik matahari sore. Rasanya anda tidak ingin masuk ke rumah itu, rumah yang pernah anda lihat tapi belum pernah anda masuki. Lutut mulai terasa panas, tenggorokan tercekat, sambil anda memikirkan apa yang menanti anda dalam rumah itu.

Sambil pintu itu terbuka, anda makin tegang, sementara tuan rumah kemudian berkata, “Silakan masuk”. Pada mulanya, semua terlihat seperti bayangan sambil mata anda menyesuaikan diri dengan gelapnya ruangan itu. Perlahan-lahan, ketika mata anda mulai terbiasa, anda melihat seorang pria duduk di situ, seorang dengan pakaian yang bagus dan jenggot yang tipis, dia tidak melihat kepada anda, kepada siapapun atau kemanapun. Matanya tidak melihat apa-apa. Untuk orang inilah anda datang, orang yang telah membunuh teman-teman anda. Inilah orang yang telah datang untuk mengambil nyawa anda.

Cerita imajinasi di atas mungkin bukanlah gambaran yang sebenarnya dari apa yang terjadi dalam Kis 9. Tapi mungkin itu membantu kita mengerti apa yang dialami oleh Ananias. Dia diutus oleh Kristus untuk berdoa bagi seorang musuh gereja terbesar waktu itu: Saulus dari Tarsus, atau seperti yang sekarang kita kenal sebagai rasul Paulus.

Kis 8 memberitahu kita bahwa di Yerusalem, Saulus sudah berusaha membinasakan jemaat, masuk ke rumah demi rumah, menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara (8:3). Ketika penganiayaan itu meluas, banyak jemaat melarikan diri ke kota-kota lain untuk menyelamatkan diri. Tapi Saulus tidak puas dan ia mengejar mereka untuk membinasakan mereka. Di tengah perjalanan itulah, ia bertemu dengan Yesus, sang Terang itu membutakan mata orang yang hatinya buta ini. Tuhan kemudian menyuruh dia menunggu di kota itu untuk instruksi selanjutnya.

Siapa Ananias? Alkitab tidak bercerita banyak tentang dia. Tapi yang pasti Ananias tahu siapa Saulus dan untuk apa dia datang. Perintah Tuhan sederhana: “pergilah ke jalan yang bernama Jalan Lurus, dan carilah di rumah Yudas, seorang dari Tarsus yang bernama Saulus. Ia sekarang berdoa, dan dalam suatu penglihatan ia melihat, bahwa seorang bernama Ananias masuk ke dalam dan menumpangkan tangan atasnya, supaya ia dapat melihat lagi” (9:11). Siapa yang bisa menyalahkan Ananias kalau dia ketakutan? Dia menjawab, “Tuhan, dari banyak orang telah kudengar tentang orang itu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukannya…” Tapi Yesus berkata: “Pergi” dan dia pergi.

Ananias taat kepada Yesus sekalipun sangat besar resikonya. Dan dia tidak hanya melakukan (dengan terpaksa), tapi dia melakukannya dari hati. Pada waktu masuk ke rumah itu, dia memanggil Saulus dengan “saudaraku”, sebutan yang biasa dia pakai untuk sesama orang Kristen. Betapa dia belajar mengasihi orang itu! Ananias kemudian menumpangkan tangan atas Saulus dan menyembuhkannya. Bahkan dia membaptis Saulus, orang itu yang beberapa hari lalu ingin membunuh dia!

Ananias dengan rendah hati membiarkan Tuhan bekerja melalui dia, dan hasilnya Saulus menjadi misionaris terbesar dalam sejarah Kristen. Cerita seperti ini bukan 1 kali terjadi. Coba lihat di Alkitab: Yusuf terus taat walaupun resikonya dipenjara, dan hasilnya adalah Tuhan memakai dia luar biasa. Ester mengambil resiko dengan datang kepada raja untuk bangsanya, dan hasilnya seluruh bangsa Israel selamat. Petrus dan kawan-kawan meninggalkan pekerjaan mereka mengikut Yesus dan hasilnya adalah kekristenan berkembang. Cerita seperti ini terus kita temukan sepanjang sejarah kekristenan.

Kita tidak pernah tahu ketaatan kita akan menghasilkan apa dalam kerajaan Tuhan. Tapi ketaatan walaupun besar resikonya, kemauan untuk ikut perintah Tuhan walaupun tidak mengerti apa yang akan terjadi, kegelisahan dengan hidup yang tidak melakukan apa-apa, dan kesetiaan mengerjakannya dengan rendah hati, akan dipakai Tuhan seperti gelombang yang terus bergulung sampai kekekalan. Pertanyaannya, ketika Yesus berkata “Pergi”, maukah kita pergi?

Fanny Crosby menciptakan sebuah lagu yang sangat indah. Renungkanlah kata-katanya:

Master, Thou callest, I gladly obey;
Only direct me, and I'll find Thy way.
Teach me the mission appointed for me,
What is my labor, and where it shall be?

Master, Thou callest, and this I reply,
"Ready and willing,
Lord, here am I."

Wednesday, August 24, 2011

Mazmur 103:13-18

(Tulisan ini adalah bahan saat teduh untuk Retreat Young Adult Fellowship GKY Sg 7-9 Aug 2011)
 
Membaca Mazmur 103:13-18 ini membuat kita merasa sangat diberkati. Begitu terkenalnya Mazmur ini di kalangan orang Kristen: Allah sayang kepada kita! Tapi tunggu dulu. Membaca Mazmur ini dengan lebih teliti membuat kita melihat ada 3 hal yang diungkapkan kepada kita:

1. Kasih Allah
Dengan sangat indah ia memang menggambarkan kasih Allah kepada kita “seperti bapa sayang kepada anak-anaknya”. Begitu sayangnya Allah kepada kita sehingga ayat-ayat sebelumnya mengatakan kasih itu “setinggi langit di atas bumi” (103:11).

2. Kita ini fana
Tuhan tahu bahwa kita ini fana, hanya hidup sementara dalam dunia. Dia “ingat bahwa kita ini debu” (103:14) dan “hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya maka tidak ada lagi ia” (103:15-16). Kita ini bukan apa-apa, kita ini hanya lewat saja dalam dunia ini, hari-hari kita bagi Allah sangatlah singkat. Bagi kita, hidup yang sementara seringkali berarti menikmati hidup ini sepuasnya. Tapi bagi Allah hidup kita yang sementara ini membuat Dia menaruh belas kasihan kepada kita.

3. Mereka yang takut akan Dia
Ini yang paling sering terlewatkan oleh kita, yaitu Tuhan sangat menyayangi “debu” ini, “rumput dan bunga di padang yang sebentar ditiup angin” ini, bukan sembarang orang. Tapi mereka “yang takut akan Dia” (103:14), mereka “yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya” (103:18).

Dunia yang kita tinggali ini bukanlah surga. Dunia ini juga bukan tempat tinggal kita untuk selamanya. Kita hanya mampir dalam dunia ini. Tapi apa yang kita lakukan selama kita mampir dalam dunia ini? Bersenang-senang? Mengejar maunya kita sendiri? Mencari keuntungan, kenyamanan, kepuasan sendiri? Kalau saya boleh pakai gambaran lain, mungkin seringkali Allah melihat kita dari atas dan geleng-geleng kepala. Waktu Dia lihat kita hidup untuk diri sendiri, waktu Dia lihat kita berbuat dosa, waktu Dia lihat kita tidak peduli akan orang lain, Dia geleng-geleng kepala, mengurut dada dan kasihan pada kita. Dia tahu kita hanya debu dalam dunia ini, sebentar lagi waktu kita akan lewat. Hanya karena kasihan Dia tidak timpakan kepada kita setimpal dengan dosa kita.

Suatu kali ada seseorang yang pernah bertanya kepada Max Lucado: “Ketika anak cucu anda tahu bahwa engkau hidup di dalam zaman dimana 1.75 milyar manusia hidup dalam kemiskinan dan 1 milyar manusia kelaparan, bagaimana mereka akan menilai respons anda?” Pertanyaan itu membuat dia tidak bisa tidur semalaman. Apa respons dia terhadap dunia yang seperti ini? Bagaimana nanti anak cucunya akan menilai respons dia? Apa jawab kita kalau kita juga ditanya pertanyaan yang sama?

Mungkin kita sudah mampir dalam dunia ini selama 20 tahun atau lebih, apa yang sudah kita lakukan selama ini? Apa yang sudah kita lakukan untuk teman kantor kita? Tetangga kita? Saudara kita di gereja? Apa yang sudah kita lakukan untuk kerajaan Tuhan?

Max Lucado menulis sebuah buku dengan judul: Outlive Your Life: You Were Made to Make a Difference. Kita memang sementara, tapi lakukanlah sesuatu melampaui hidupmu itu! Lakukanlah sesuatu yang bernilai. Lakukanlah sesuatu untuk membuat perbedaan selama engkau mampir dalam dunia ini.

Kita tidak harus melakukan yang besar. Small things can make a big difference. Kesulitan dan masalah memang banyak, ada orang kelaparan disana, ada orang tidak bisa sekolah disitu, ada orang dianiaya di tempat lain, ada bencana alam di tempat lain lagi, ada yang menangis di sini, dan seterusnya. I cannot do everything, but I can do my thing. I can do one thing that God has called me to do! Seperti sebuah orkestra, tiap orang memainkan bagiannya dan conductor yang mahir akan menghasilkan musik yang agung. Mainkan bagian kecil kita dan percayalah bahwa Allah akan menghasilkan sesuatu yang agung dari padanya.

Seperti bapa sayang kepada anak-Nya, demikianlah Tuhan menyayangi kita yang adalah debu ini, yang takut akan Dia dan ingat melakukan titah-Nya.

Tuesday, August 23, 2011

As Each Part Does Its Work

Beberapa hari yang lalu dalam KTB di Youth Fellowship, kami membahas Efesus 4:1-16. Saya menemukan bahwa Alkitab terjemahan bahasa Indonesia sangat tidak enak untuk bagian ini. Maka kami memakai terjemahan bahasa Inggris versi NIV.

Beberapa hal saja yang ingin saya bagikan:

Ay. 7-8: “But to each one of us grace has been given as Christ apportioned it. This is why it says: "When he ascended on high, he took many captives and gave gifts to his people.”  Bagi setiap kita Kristus memberikan kasih karunia sebagaimana yang Dia sudah tentukan. Dia memberikan pemberian2 (gifts) kepada umat-Nya. Dan pemberian apa, berapa ukurannya, Kristus tentukan.

Ay. 11: “So Christ himself gave the apostles, the prophets, the evangelists, the pastors and teachers,” Selain pemberian bagi pribadi2 umatNya, Kristus memberikan pemberian melalui para pemimpin gereja. Dan tujuannya bukan supaya mereka mengerjakan semua pelayanan tapi…

Ay. 12: “to equip his people for works of service” Pernahkah anda berpikir bahwa para hamba Tuhan, pastors, teachers, diberikan Tuhan untuk memperlengkapi umatNya untuk pelayanan!? Mereka adalah pemberian Tuhan bagi gereja, supaya tiap orang, TIAP anak Tuhan, bisa melayani!
Saya langsung singkat saja ke ayat terakhir:

Ay.16: “From him the whole body, joined and held together by every supporting ligament, grows and builds itself up in love, as each part does its work” Tubuh Kristus ini, dipersatukan dan diikat oleh “every supporting ligament”. Kalau kita ikuti logika Paulus, maka sangat logis kalau yang dimaksud dengan “every supporting ligament”, adalah “apostles, prophets, evangelists, pastors, teachers”. Tubuh Kristus itu, dipersatukan, diikat, dikuatkan, ditopang, oleh para hamba Tuhan yang Tuhan berikan untuk gereja-Nya. Dan dengan cara demikian, tubuh itu menerima pertumbuhan dari Kristus, membangun dirinya di dalam kasih. DANNN… jangan lupa frase terakhir: as each part does its work! Ini luar biasa. Semua itu terjadi ketika tubuh itu, masing2 bagiannya mengerjakan pekerjaannya. Hamba Tuhan dipakai Tuhan untuk menopang, untuk memperlengkapi. Tapi tujuan akhirnya adalah semua mengerjakan bagiannya, semua mengerjakan pelayanan. Dengan cara itulah, tubuh menerima pertumbuhannya dari Kristus.

Salah satu kelemahan besar orang Kristen adalah menganggap dirinya hanya ‘bantu-bantu dikit’, sementara semuanya tugas hamba Tuhan. Kalaupun dia ‘bantu-bantu banyak’, begitu menyentuh hal-hal yang bersifat mengajar, membimbing, mendoakan, langsung yakin itu bukan bagiannya.

Kadang saya mengurut dada melihat bagaimana orang Kristen bersikap dalam pelayanan. Coba kalau ada keluarga, baik yang dekat maupun superrrrr… jauh, atau teman dari papa punya adik punya teman kebetulan istri bossnya lagi sakit, siapa yang diminta untuk datang dan berdoa? Hamba Tuhan. Coba kalau ada salah satu anggota keluarga yang hampir meninggal dan belum percaya, siapa yang diminta untuk datang dan menginjili? Hamba Tuhan. Pertanyaan saya, lalu apa tugas orang Kristen yang ada di sekitar orang itu? Apakah mereka tidak bisa berdoa? Apakah mereka tidak bisa menyampaikan berita Injil? Biasanya ditambah dengan pesan: “Ini darurat, tolong segera datang, layani” dan tidak ada yang melayani orang itu sebelum Hamba Tuhan tiba.

Pernah ada orang yang menemani salah satu keluarganya yang sakit. Selama orang itu sakit, tidak banyak yang bisa dilakukan. Maka ada ide bagus, bagaimana kalau ada PA untuk orang itu? Bukankah dia perlu Firman Tuhan? Dan karena orang itu banyak waktu (sedang sakit), bagaimana kalau PA tiap hari? Ide sangat bagus! Tapi siapa yang harus memimpin? Hamba Tuhan!!! Pertanyaan saya sederhana, lalu mengapa bukan dia? Berapa tahun dia jadi orang Kristen? Tidak bisakah membuka Alkitab, membacakannya, merenungkannya, atau mencari bahan yang bisa dia bagikan?

Saya tidak mengeluh untuk tugas saya, tapi saya mengeluh melihat banyak orang Kristen tidak melakukan bagiannya. Coba ihat di gereja berapa banyak orang Kristen yang tidak pernah melakukan apapun juga untuk pekerjaan Tuhan! Saya tahu pelayanan bukan hanya di gereja, dimana saja. Tapi silakan deh dihitung pelayanan yang di luar, mendoakan orang, menuntun teman yang sedang membutuhkan bimbingan rohani, bersaksi kepada orang di kantor, apa saja… coba lihat berapa banyak yang tidak pernah mengerjakan “the work of service” itu. Coba lihat juga berapa banyak yang pelayanan hanya ‘bantu-bantu dikit’, hanya ‘sibuk-sibuk dikit’. Maka banyak yang melakukan ‘Christian work’ tapi pasti bukan ‘the work of service’ dan bukan ‘his part’.

Mungkin memang salah hamba Tuhan, lupa bahwa dirinya dipanggil “to equip His people for works of service” sehingga tidak melakukan bagiannya. Dan salah orang Kristen juga yang tidak melihat bahwa dia sudah terima gifts dari Kristus. Dan ketika ada hamba Tuhan, itu juga adalah gifts dari Kristus untuk menolong dia melayani.

Alangkah indahnya ayat ini: “From him the whole body, joined and held together by every supporting ligament, grows and builds itself up in love, as each part does its work” (Eph 4:16).

Friday, August 12, 2011

Life is Beautiful

Salah satu yang saya usahakan tiap kali pulang Indo adalah cari tukang pijat atau pergi ke tempat pijat. Sangat affordable dibanding dengan di Singapore! (ah.. sekarang aja udah kepengen lagi :-))

Beberapa minggu lalu ketika pulang ke Indo, saya dipijat oleh seorang tuna netra bernama pak W. Usianya kira2 sama dengan saya. Waktu yang cukup panjang, 2 jam (beneran 2 jam! hehe..) membuat kami bisa ngobrol lebih dari sekedar basa-basi.

Dulu dia bukan tuna netra. Dia punya penglihatan yang normal hanya ada masalah glaukoma. Suatu hari ketika dia pulang kerja dengan mengendarai motor, ia terjatuh. Tidak ada luka yang serius, jatuhnya tidak membentur tulang ekor, juga tidak membentur kepala. Setelah bangun, dia mengendarai motor lagi untuk pulang mengobati luka. Sampai di rumah kepalanya terasa pusing, maka dia pun pergi tidur. Ketika bangun tidur, dia sudah tidak bisa melihat lagi. Dia tidak tahu persis apa alasannya, tetapi yang pasti sejak saat itu dunianya menjadi gelap.

Dokter mengatakan kebutaannya tidak bisa disembuhkan. Tidak bisa menerima vonis dokter, dia mencari pengobatan alternatif. Waktu berlalu, uang makin habis, dia tidak kunjung sembuh. Selama beberapa tahun berikutnya dia menjadi orang yang pemarah. Dia tidak bisa menerima bahwa sekarang dia harus bergantung pada orang lain, untuk makan, beli rokok, mandi, untuk segala hal. Tiap kali ada orang bertanya, “bagaimana bisa jadi buta?” Jawabannya: “mau apa tanya2? emangnya bisa nyembuhin?” Kemarahannya lama-lama menjadi depresi. Sempat dia mencoba bunuh diri.

Akhirnya setelah 3 tahun berlalu, dengan bantuan keluarga, dia mulai bisa menerima kenyataan. Setelah diberitahu oleh beberapa orang, dia memilih untuk masuk sekolah menjadi tukang pijat untuk tuna netra. Ada 1 pengalaman lucu disana. Ketika dia baru masuk, dia berjalan sambil berpegangan pada tembok. Tiba2 dahinya terbentur dengan dahi orang lain. Orang itu langsung mengomel “dasar orang buta!” Dengan kesakitan dia pegang dahinya dan hatinya juga sakit. Lalu ada temannya yang dia kenal lewat disitu dan bertanya ada apa. Dia bilang baru aja berbenturan dengan orang lain. Lalu iseng2 dia tanya, “emang tadi itu siapa sih? orang awas (orang dengan mata normal) ya?” Temannya menjawab, “oh.. bukan itu si Rully, orang buta juga!” Dhueeennggg.. dia langsung kesal sambil geli sendiri, dikatain buta sama orang buta!?

Ketika saya tanya, “Pak, pernah kangen pengen ngelihat lagi?” Dia bilang “nggak”. Wah saya menjadi tertarik sekali. Lalu saya tanya kenapa. Dia bilang “kadang2 saya pikir lebih enak jadi orang buta”. Saya makin tertarik, “apanya yang enak?” Dia bilang, “hati saya lebih damai, lebih ada kebersamaan dengan teman2, lebih bisa tenang tahan emosi daripada dulu sebelum buta”. Lalu dia berkata bahwa kalau dia tidak buta dia tidak bisa bertemu dengan istrinya yang juga tuna netra. Dia bersyukur untuk keadaannya itu. Dan dia juga bersyukur bahwa dalam kondisi yang buta, dia bia bekerja, menabung, bahkan membantu keluarganya dan keluarga istrinya di kampung.

Lalu dengan nada bercanda dia berkata, “Saya sama istri juga lebih mesra. Coba aja pasti pak Jeffrey sama ibu kalah mesra”. (Dalam hati saya, enak aja, dia mana tau kami mesra apa nggak hehe..) Lalu dia bilang, “saya sama istri kalau jalan gandengan terus. (Saya langsung protes, saya juga gandengan!). Dia bilang, “ini bukan pegangan tangan tapi pegangan pundak. Kami pernah nabrak mobil sama2, nyemplung selokan juga sama2! Coba, mesra mana?”  (Wah, kalau kayak gitu sih menang dia deh hehe..). Lalu dia juga cerita, kalau pergi belanja ke supermarket, mereka selalu hanya beli yang memang dibutuhkan untuk dibeli. Dari rumah udah pikir mau beli apa, lalu minta diantar oleh teman ke supermarket, dan sampai sana mereka hanya beli sesuai rencana. Tidak pernah karena melirik-lirik, lalu jadi kepengen…. tentu aja mau lirik apa!!??

Saya kagum dengan bagaimana dia memandang keadaannya, bahkan bercanda tentang kebutaannya. Masih ingat film Life is Beautiful? Diceritakan tentang bagaimana seorang ayah mencoba membuat kehidupan di kamp konsentrasi seperti permainan bagi anaknya supaya anaknya terus melihat the beauty of the game. Dia lakukan itu supaya anaknya bertahan dengan melihat keindahan di balik kengerian. Hidup itu indah! Walaupun keadaan bisa menghancurkan keindahan itu dari luar tapi mereka yang tetap bisa melihat keindahannya, berpegang pada keindahan itu, mereka akan tetap bisa bertahan bahkan menikmati hidup.

Apalagi jika kita melalui hidup ini bersama Tuhan. Itulah hidup yang paling hidup! Saya berharap suatu kali pak W menemukan Tuhan dan mengalami hidup yang jauh lebih indah lagi.

Thursday, August 11, 2011

Segala Sesuatu Yang Ditugaskan Kepadamu

Lukas 17:10 mengatakan: “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

Ayat ini memang bicara mengenai kerendahan dan keterbatasan kita sebagai seorang hamba. Dengan perumpamaan Yesus menyampaikan bagaimana seorang hamba, kerja berat seharian di ladang, setelah pulang tidak diajak makan tapi disuruh melayani lagi sampai tuannya puas. Baru setelah itu ia boleh makan dan minum. Setelah semua pekerjaan itupun tidak ada tuan yang berterima kasih. Ia sudah melakukan semuanya! Ia sudah bekerja sebisa dia sampai tuannya puas! Tapi tetap ia hanya melakukan “yang harus dia lakukan”, dia hanya “melakukan yang ditugaskan kepadanya”.

Seperti yang saya tulis sebelum ini, pekerjaan Tuhan terlalu luas maka sebetulnya setiap kita hanya chip in sedikit saja. Yesus berkata setelah kamu lakukan “segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu”, kamu tetap harus sadar bahwa kamu hanya melakukan apa yang seharusnya, hanya bagian yang kecil saja dan memang sudah sepantasnya. Tidak ada yang pantas disombongkan. Kita hanya melakukan bagian kita.

Eits…tapi tunggu dulu… itu adalah yang harus dikatakan oleh mereka yang sudah melakukan “segala sesuatu yang ditugaskan.” Lalu apa yang harus dikatakan oleh mereka yang melakukan “sebagian saja dari yang ditugaskan”? Mengambil perumpamaan Yesus, mungkin mereka adalah hamba yang kerjanya di ladang berantakan, atau pulang sebelum waktunya, atau begitu pulang tidak mau disuruh kerja lagi.

Ah.. saya tidak tahu. Yesus juga tidak meneruskan perumpamaannya. Tapi mungkin… mungkin… hanya bisa malu.

Wednesday, August 03, 2011

John Stott

John Stott, seorang teolog, penulis, gembala, pemimpin Kristen yang besar, meninggal pada tgl. 27 Juli yang lalu (waktu Inggris – 28 Juli waktu Indonesia). Saya ‘mengenal’ dia melalui buku2nya. John Stott adalah seorang yang pikirannya sangat tajam dan kemampuannya sangat luas. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai pemimpin dari gerakan Injili seluruh dunia. Dia juga menjadi tokoh pencetus Lausanne Covenant di tahun 1974 yang kemudian menjadi gerakan dan networking penginjilan bagi gereja2 seluruh dunia.

Di bawah ini adalah klip video yang dikeluarkan oleh Langham Partnership. Satu kalimat yang menarik di dalam video ini:
…John Stott travelled extensively. And often he would asked church leaders in majority world countries, what their greatest need was. And they said: “Help our pastors to preach and teach the Bible effectively!”
John Stott mendirikan Langham Partnership untuk menjawab kebutuhan itu. John Stott ingin gereja2 di negara2 berkembang bertumbuh dalam kedewasaan dan kedalaman. Maka Langham Partnership menyediakan buku-buku, training2 dan bahkan beasiswa bagi mereka yang ingin studi doktoral dalam bidang teologi supaya bisa kembali ke negaranya dan mengajar para hamba Tuhan dengan lebih baik.

Saya bertanya2 apakah itu juga yang diserukan oleh gereja2 di Indonesia? Jelas itu sangat dibutuhkan! Tapi apakah itu yang diminta oleh gereja2 di Indonesia? Saya ragu. Tidak banyak gereja di Indonesia yang melihat pentingnya memiliki para hamba Tuhan yang bisa mengajar dengan baik dan mendalam.

Saya sendiri merindukan lebih banyak orang Kristen di Indonesia yang belajar dengan sangat mendalam untuk menjadi para pemimpin yang baik. Ada yang belajar teologi sedalam mungkin untuk berkhotbah dan mengajar dengan baik. Ada yang menjadi ekonom, guru, politikus, apa saja. Orang-orang Kristen dengan iman yang baik perlu didorong untuk belajar. Kita perlu lebih banyak lembaga beasiswa untuk itu di Indonesia.

Kekristenan kehilangan seorang hamba Tuhan yang sangat baik. Tapi seperti yang terjadi sepanjang zaman, manusia datang dan pergi, tapi kerajaan Tuhan kekal selamanya. Manusia datang dan pergi, tapi pekerjaan Tuhan tetap berjalan dalam dunia ini sampai Tuhan datang. Kita datang dan pergi untuk dipakai Tuhan berbagian dalam pekerjaan-Nya. John Stott dengan segala karunia dan perlengkapan yang Tuhan berikan kepadanya, sudah menyediakan diri untuk dipakai Tuhan. Sekarang giliran kita.


Monday, August 01, 2011

Eulogi Untuk Pdt. Kwee Tek Goan

Saya mengenal Pdt. Kwee Tek Goan sejak tahun 2003 waktu saya melayani sebagai dosen di sebuah sekolah teologi di negeri tirai bambu. Karena keterbatasan bahasa, maka setiap kali mengajar saya membutuhkan penerjemah. Pak Tek Goan (demikian kami memanggilnya) adalah salah seorang yang beberapa kali menjadi penterjemah bagi saya.

Tidak sampai 1 bulan lalu saya mendapat kabar bahwa Pak Tek Goan menderita Hepatitis C dan keadaannya sama sekali tidak baik. Saya sempat berkiriman sms dengan dia menanyakan kabarnya dan mendoakan dia. Tgl. 27 Juli saya memang berencana akan pulang ke Jakarta karena ulang tahun mama saya. Saya dan istri berniat untuk menyempatkan diri mengunjungi beliau. Beberapa hari sebelum pulang, kami mendapat kabar bahwa keadaannya makin parah. Malam itu kami berdoa bersama untuk dia. Tgl. 27 Juli itu kami tiba di Jakarta sore hari dan langsung sibuk dengan perayaan ulang tahun mama. Tgl. 28 pagi kami mendengar kabar bahwa Pak Tek Goan sudah dipanggil pulang oleh Tuhan.

Kami tidak terlalu mengenal kehidupan Pak Tek Goan. Tapi beberapa kali pelayanan bersama, beberapa kali pernah tinggal bersama dalam 1 rumah berminggu-minggu, mendengar cerita tentang dia, mengenal anaknya yang pernah menjadi anak KTB saya, membuat kami punya ikatan emosional dengan dia. Pak Tek Goan adalah hamba Tuhan yang baik, dia melayani dan mengerjakan panggilannya dengan setia. Ada 1 masa dalam hidupnya dia sangat berkekurangan, tapi tidak pernah saya mendengar dia mengeluh, marah, atau ingin meninggalkan pelayanan. Saya jadi bertanya2 bisakah saya seperti dia?

Banyak orang mengejar posisi, nama, uang, dll. Tapi bukankah yang Tuhan mau adalah kesetiaan? Dan saya percaya Tuhan menemukan itu di dalam diri Pak Tek Goan. Seperti yang dituliskan oleh anaknya di dalam blognya, hidup pak Tek Goan adalah “Pertandingan Yang Baik”. (silakan click untuk melihat).

Pak Tek Goan pasti bahagia saat ini bersama dengan Tuhan yang sudah dia layani dengan hidupnya. Selamat jalan Pak Tek Goan!



Foto ketika kami melayani bersama